Mohon tunggu...
Marni Apriliani
Marni Apriliani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. - Pramoedya Ananta Toer

Selanjutnya

Tutup

Film

Atas Nama Daun (2022): Marijuana Bukan Hanya Soal Kenikmatan tapi Juga Kemanusiaan

21 Juni 2024   22:02 Diperbarui: 21 Juni 2024   22:19 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: https://www.anatmanpictures.com/atasnamadaun

Sebuah film dokumenter karya Mahatma Putra dengan judul "Atas Nama Daun" dirilis secara perdana di platform Youtube pada 24 Maret 2022 merupakan film yang memaparkan secara nyata mengenai perspektif yang berbeda dari tanaman tabu ditelinga masyarakat yaitu Marijuana atau yang lebih akrab disebut dengan ganja, dengan menampilkan lima babak film yang berbeda: Bab 1 Atas Nama Riset, Bab 2 Atas Nama Daun, Bab 3 Atas Nama Hukum, Bab 4 Atas Nama Cinta, dan Bab 5 Atas Nama Hak Asasi. Tulisan karya ilmiah yang ditulis oleh Aristo Pangaribuan seorang dosen fakultas hukum Universitas Indonesia dengan judul "CAUSES AND CONSEQUENCES OF THE WAR ON MARIJUANA IN INDONESIA" menjadi landasan dasar dari pembuatan karya film ini.

Berawal dari Mahatma Putra yang mengetahui hasil riset dan penulisan karya ilmiah  Aristo, mengenani penegakan dan kebijakan hukum yang ditetapkan pemerintah tentang penggunaan ganja yang kemudian mengakibatkan pembludakan kapasistas lapas di Indonesia, menimbulkan perasaan yang miris dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana hukum narkotika berlaku di Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara lain yang sudah melegalisir penggunaan ganja. 

Tidak hanya itu, banyak pula pertanyaan tentang mengapa ganja menjadi hal yang sangat ditakuti masyarakat bahkan pemerintah, apakah ganja merupakan barang "jahat" yang hanya digunakan sebagai sebuah sarana rekreasi dan kenikmatan semata, atau terdapat manfaat lain yang sayangnya terkubur dalam-dalam karena terlalu melekatnya stigma buruk soal tanaman ganja dimasyarakat. Dari isu-isu tersebut akhirnya menyatukan para narasumber di film ini yang memiliki peran masing masing dari penggunaan ganja, dan membuka mata hati orang-orang yang peduli bahwa persoalan ganja bukan melulu soal kenikmatan. Ada pula aspek sejarah, politik, hukum, medis dan kemanusiaan yang krusial (Mahatma Putra, 2022).

Marijuana yang memiliki nama latin Cannabis Sativa merupakan tanaman yang mengandung zat psikoaktif dimana penggunanya dapat merasakan kegembiraan yang berlebih atau euphoria, halusinasi, ketenangan, kepekaan pancaindra, persepsi emosional, dan bahkan nafsu makan meningkat. Dari segi sejarah, tanaman ganja merupakan tanaman yang terus berjalan mengikuti beradaban manusia. Pada zaman dahulu banyak suku-suku yang menggunakan ganja untuk kepentingan ritual keagamaan, bahkan mereka percaya dengan mengkonsumsi ganja mereka akan dapat berkomunikasi dengan Tuhan yang mereka sembah. Dikutip dari buku Hikayat Pohon Ganja yang ditulis oleh komunitas Lingkar Ganja Nusantara, menyatakan bahwa ratusan tahun lalu tanaman pohon ganja dalam peradaban Romawi merupakan tanaman yang ampuh untuk mengobati rasa sakit pada situasi perang. 

Lalu di benua Eropa sendiri Cannabis merupakan bahan serat utama dalam membuat kain, tali-temali dan kertas yang hingga saat ini masih sering terdengan dengan istilah "Canvas" yang kita gunakan umumnya untuk melukis tapi tanpa banyak yang mengetahuinya bahwa bahan utama pembuatan Canvas sebelum abad ke-21 adalah serat tanaman ganja. Tapi sangat disayangkan dari banyaknya manfaat tanaman ganja, masyarakat khususnya di Indonesia sudah sangat terpengaruh dengan stigma yang melekat bahwa ganja merupakan hal yang buruk, haram, memabukkan, hanya untuk kenikmatan sesaat, merugikan diri sendiri, bahkan kriminal yang kasusnya terlihat sangat memalukan dipandang sebagai sampah masyarakat dan pemerintah pun menindak tegas akan kasus penggunaan tanaman ganja ini.

Memang, secara hukum ganja merupakan narkotika golongan 1 dimana penggunanya akan mendapatkan sanksi pidana sesuai dengan hukum yang hingga saat ini masih berlaku. Penetapan ganja menjadi ilegal di dunia dan termasuk ke dalam narkotika golongan 1 merupakan kesepakatan PBB pada tahun 1961 yang digolongkan oleh Amerika Serikat. Kemudian Pemerintah Indonesia mengcopy dan meratifikasi kesepakatan tersebut sehingga menjadi undang-undang narkotika Republik Indonesia. Saat ini, beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah meninjau ulang hukum tentang ganja, mereka akhirnya melegalisir ganja dalam kepentingan medis bahkan untuk kepentingan rekreasional dan bukan lagi menjadi perbuatan yang kriminal. 

Namun di Indonesia undang-undang tersebut masih digunakan, kriminalisasi tentang penggunaan ganja masih akan terus terjadi karena tidak adanya perubahan dari undang-undang narkotika itu sendiri, hal itulah yang menyebabkan mengapa terjadinya overcapacity di lapas Indonesia yang kebanyakan dari kasus narkoba. Apakah bisa para penghuni lapas mendapatkan hak kemanusiaanya dari lapas yang padat tersebut, bahkan tidak sedikit kasus yang menyatakan bahwa banyak penghuni lapas yang meninggal dunia karena fasilitas lapas yang tidak memadai akibat kepadatan narapidana di lapas itu sendiri.

Kembali pada film "Atas Nama Daun" seluruh narasumber yang terlibat dalam karya ini merupakan orang-orang yang pernah bersinggungan langsung dengan ganja. Dimulai dari Angki Purbandono, seorang seniman visual Indonesia yang namanya sudah terkenal diranah kesenian, beliau pun pernah berada di balik jeruji besi di tahun 2013 karena kepemilikan ganja. Dikutip langsung dari cuplikan film "Atas Nama Daun" Angki menyatakan bahwa pemakaian ganja bagi beliau bukanlah untuk memantik imajinasi sebagai seorang seniman, karena imajinasi memang sudah dimilikinya sebagai bakat, sedangkan beliau menggunakan ganja hanya untuk sarana meditasi diri. Angki pun tidak pernah merasa bahwa perbuatannya dalam mengkonsumsi ganja adalah sesuatu yang jahat, namun hukum tetap berlaku. Angki dipenjara satu tahun lamanya meninggalkan istri dirumah. 

Namun, seniman tetaplah akan memandang seluruh pengalamannya menjadi seni. Angki masih terus berkarya walau berada didalam jeruji besi, ia mengumpulkan plastik-plastik kecil yang berserakan dilantai penjaranya dan menatanya kembali menjadi sebuah seni yang ia beri nama Prison Art. Kebebasan pada setiap individu seharusnya bukan lagi campur tangan pemerintah, kepemilikan Angki terhadap ganja merupakan konsumsi pribadi dan tidak membahayakan orang lain. Namun dari pengalaman atas penggunaan ganja ini, menjadikan beliau seorang seniman yang namanya terus tinggi karena karya yang ia buat didalam penjara. Karena kecintaannya dengan ganja, Angki pun sampai menamai anaknya Daun Bumi dan bergabung dengan komunitas Lingkar Ganja Nusantara untuk terus membantu memperjuangkan legalisasi ganja di Indonesia.

Siapa yang tidak tahu kisah Fidelis? Seorang pegawai negara sipil yang memperjuangkan segalanya demi kesembuhan istinya tercinta, Yeni. Istri Fidelis mengidap penyakit langka yang bernama Syringomyelia pada saat ia sedang mengandung anaknya yang kedua. Banyak rumah sakit yang telah Fidelis datangi demi kesembuhan istrinya dan sudah banyak pengobatan yang ia lakukan namun hasilnya penyakit yang diidap oleh istrinya tidaklah berangsur membaik. Tanpa putus asa Fidelis terus mencari dan mencari pengobatan yang ampuh untuk mengobati istrinya. Ternyata obat yang mampu meredakan nyeri yang dirasakan Yeni adalah zat Cannabinoid yang hanya terdapat pada tanaman ganja. Setelah Fidelis memberikan ekstrak ganja pada istrinya, kondisinya pun semakin membaik dan nyeri yang ia rasakan tidak pernah kembali lagi. 

Alhasil Fidelis mengupayakan menanam tanaman ganja sendiri demi keberlangsungan hidup istrinya. Fidelis meminta dispensasi kepada BNN setempat untuk dapat menanan tanaman ganja demi keberlangsungan hidup istrinya, namun sayang izin tersebut tidak diberikan dan Fidelis akhirnya dipenjara. Saat Fidelis berada dibalik jeruji besi, kondisi istrinya semakin melemah karena tidak adanya perawatan dan tidak lagi bisa mendapatkan ekstrak ganja untuk pereda rasa nyerinya. Akhirnya pun saat Fidelis masih berada di dalam jeruji besi, sang istri tercinta meninggal dunia karena kondisinya yang semakin memburuk. Dari kisah Fidelis tersebut sangat disayangkan bahwa Fidelis yang sedang memperjuangkan hak hidup istrinya diberhentikan begitu saja akibat dari penggunaan ganja yang tujuannya untuk penyembuhan dan keberlangsungan hidup seseorang. Ini masalah nyawa, tapi pemerintah masih saja bersikukuh menerapkan hukuman atas dasar penggunaan ganja. Lalu bagaimana dengan hak-hak kemanusiaan yang seharusnya didapatkan oleh istri Fidelis dengan mengkonsumsi ekstrak ganja demi kesembuhannya, apakah nyawa seseorang dapat dibayar oleh pemerintah?

Dalam segi sejarah medis, ganja sudah digunakan sejak zaman dahulu sebagai obat yang ampuh untuk penghilang rasa sakit, obat nafsu makan, pencegah insomnia dan banyak manfaat medis lainnya. Dwi Pertiwi seorang ibu dari anaknya Musa yang mengidap penyakit cerebral palsy, melakukan terapi untuk anak tersayangnya di Australia pada tahun 2016 menggunakan ganja medis untuk mencegah gejala kejang yang dapat membahayakan seorang pengidap cerebral palsy, karena ditahun yang sama pula Australia telah melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis dan riset. Dengan terapi penggunaan ganja yang di lakukan untuk Musa, banyak sekali perubahan signifikan yang dialami Musa mulai dari kejang yang jarang timbul, tidur Musa yang lebih nyenyak, dan dahak yang mengendap di tenggorokan menjadi mudah keluar. 

Namun sayang, Musa meninggal dunia pada 20 Desember 2020 akibat kondisi fisiknya yang terus menurun karena setelah kembali ke Indonesia Musa tidak dapat melanjutkan pengobatannya dengan ganja karena undang-undang yang melarang keras penggunaan narkotika golongan 1 termasuk ganja tanpa alasan apapun. Akhirnya Dwi Periwi dan ibu-ibu lain yang memiliki anak pengidap cerebral palsy berjuang dan memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk melegalkan ganja medis, diluar dari aspek rekresional dan kenikmatan semata, ganja merupakan secercah harapan bagi mereka yang memiliki anak pengidap cerebral palsy dan orang-orang yang mengidap penyakit lain yang hanya dapat disembuhkan oleh tanaman ganja.

Dimata masyarakat luas, ganja menjadi momok yang menakutkan, buruk, haram, kriminal, namun sebagian orang menyatakan bahwa penggunaan ganja dalam lingkup pribadi bukanlah suatu hal yang perlu dikriminalisasikan, ganja memiliki manfaat untuk mereka masing-masing tanpa harus merasa menjadi orang jahat dan buruk pada saat mereka mengkonsumsi ganja. Manusia, tumbuhan dan alam adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan, Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia dan tanpa tujuan yang baik (Prof. Dr. Komaruddin Hidayat,2011:5) . Segudang manfaat yang dimiliki tanaman ganja sirna begitu saja akibat stigma masyarakat yang terus meluas tentang begitu buruknya ganja, padahal dibalik itu semua banyak orang yang membutuhkannya untuk memperjuangkan hak-hak hidup mereka. Namun Mahkamah Konstitusi masih belum melegalisir tanaman ganja untuk kepentingan medis di Indonesia, karena mereka berpendapat bahwa kepentingan legalisir ganja untuk kepentingan medis berbeda disetiap negara, dan mereka juga menyatakan bahwa penggunaan tanaman ganja di Indonesia masih banyak bersifat merugikan daripada terlihat manfaatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun