Mohon tunggu...
Martha Siahaan
Martha Siahaan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) Perawat, Sulit dan Tidak Efisien?

11 Desember 2017   22:27 Diperbarui: 11 Desember 2017   22:50 24283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Menurut Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, penerbitan STR adalah merupakan wewenang Konsil Keperawatan. Konsil keperawatan menurut Perpres No.90 tahun 2017 merupakan bagian dari Konsil Kesehatan yang berkedudukan di ibukota propinsi. Namun saat ini, Konsil Keperawatan belum terbentuk, sehingga penerbitan STR bagi perawat masih merupakan tanggung jawab Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), yang pengajuannya dapat dilakukan melalui Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP) daerah domisili perawat. Dengan adanya prosedur demikian, yaitu melalui Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi, penerbitan STR menjadi terkesan lambat, dimana MTKP harus menginput data dan memverifikasi, kemudian mengirimkan softcopy dan pas foto ke MTKI, kemudian menunggu persetujuan dari MTKI yaitu dengan dikirimkannya Surat Tanda Registrasi tersebut ke propinsi untuk dapat diambil yang bersangkutan. Bila ada kesalahan penulisan dalam STR, maka prosedurnya sama dan tentunya semakin lama.

Waktu yang dibutuhkan Perawat sebelum akhirnya bekerja

Adapun syarat pengurusan STR adalah (1) memiliki ijazah pendidikan tinggi Keperawatan, (2) memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi, (3) Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental, (4) memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi, (5) membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali. Dengan adanya syarat memiliki sertifikat kompetensi, maka pengajuan penerbitan STR tidak dapat segera diurus dikarenakan harus terlebih dahulu mengikuti uji kompetensi, menunggu diterbitkannya sertifikat kompetensi yang sering sekali juga memerlukan waktu yang cukup lama. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya keadaan dimana perawat, setelah lulus harus menunggu waktu yang panjang (bahkan sampai setahun) baru bisa melamar bekerja. Belum lagi perawat harus mengikuti ujian melamar pekerjaan yang juga memerlukan waktu yang relatif lama, maka dapat dibayangkan berapa lama waktu yang dialami seorang lulusan perawat menjadi pengangguran, dan seberapa banyak pengangguran yang dihasilkan setiap tahunnya setelah seorang perawat menyelesaikan studinya.

 

Kinerja Petugas MTKI

Beberapa perawat daerah mengeluhkan sulitnya pengurusan STR terutama hal ini terkait dengan kinerja petugas. Petugas yang mengeluh tidak fokus dikarenakan harus melakukan registrasi baik perawat, dokter, serta farmasi. Petugas MTKP juga sering sekali melakukan proses kumulatif sebelum akhirnya softcopy data tersebut dikirimkan. Beberapa perawat juga mengeluhkan adanya kejadian dimana berkas mereka hilang, sehingga ketika melakukan pengecekan kepada petugas, perawat diminta untuk menyerahkan kembali berkasnya. Hal ini tentu memberatkan perawat, dikarenakan perawat tidak punya banyak waktu yang sesuai jam kantor untuk melakukan pengurusan sebagai akibat jam kerja yang memakai shift.

 

Isu Persyaratan Pencapaian SKP

Untuk perpanjangan STR, pemerintah menetapkan kebijakan harus mencapai 25 skp, dengan asumsi 5 skp setiap tahun. Hal ini terkait dengan keinginan pemerintah agar perawat selalu melakukan update ilmu, melalui partisipasi perawat dalam kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugasnya atau profesinya. 

Sulitnya waktu yang bagi perawat, terutama perawat baru untuk mengatur jadwal shift kiranya telah menjadi kendala dalam melakukan update ilmu. Terutama bagi perawat daerah yang harus melakukan perjalanan jauh dan berjam-jam untuk mencapai tempat seminar/workshop, sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa dikalangan perawat ada kecenderungan titip sertifikat (menjadi lahan bisnis), dan tentu saja dengan keadaan ini keinginan melakukan update ilmu tidak terpenuhi. Perawat hanya mengumpulkan sertifikat sebagai syarat, tanpa adanya keinginan untuk update ilmu. 

Biaya seminar juga cenderung mahal, dan hal ini tidak sebanding dengan gaji perawat secara umum, sehingga kebijakan pencapaian 25 skp menjadi sangat memberatkan para perawat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun