Mohon tunggu...
Marlaf Sucipto
Marlaf Sucipto Mohon Tunggu... Penulis -

💼: Lawyer, Advokat, Penasihat Hukum 🏡: Sumenep & Surabaya 🖋: Citizen Journaliz'm 🌷: "Belajar, Bermanfaat & Berdoa"

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Membangun Masjid dan Membangun di Masjid

21 Februari 2016   19:53 Diperbarui: 22 Februari 2016   16:38 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kita tahu -utamanya umat Islam- bahwa sholat adalah perintah yang diturunkan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad tanpa perantara Malaikat Jibril sebagaimana wahyu-wahyu yang lain. Hal ini tergambar jelas di dalam al-Quran surah ke-17, al-Isro’ (1), Nabi Muhammad yang didampingi Malaikat Jibril menghadap langsung kepada Allah, berangkat dari Masjidil Harôm Mekkah, singgah di Masjidil Aqshô, Palestine, kemudian berlanjut dengan perjalanan vertikal (mi’rôj) menghadap Allah di Sidratul Muntaha. Mayoritas ulama’ mufassirun memaknai Sidratul Muntaha sebagai singgasana Allah. Malaikat Jibril yang bertindak sebagai “ajudan” Nabi Muhammad sekali pun, hanya ngantar sampai di pintu Sidratul Muntaha, karena, menurut mayoritas ulama’ mufassirun, hanya Nabi Muhammad yang sanggup menghadap dan bercakap-cakap langsung dengan Allah, sedangkan selainnya, tak ada yang mampu, termasuk nabi-nabi yang lain.

Sebelum Nabi Muhammad menghadap Allah, menurut keterangan yang sama; mayoritas ulama’ mufassirun, beliau “dibersihkan” terlebih dahulu oleh Malaikat Jibril, semacam transformasi massa tubuh dari benda ke cahaya, sebagaimana tubuh Jibril yang terbuat dari cahaya. Beliau dilengkapi kendaraan khusus yang dinamai Burrôq, mahluk dari alam malakut yang terbuat dari cahaya, sedangkan kecepatan cahaya sekitar 300.000/detik, andai diminta untuk mengelilinya bumi, sudah memutar sampai tujuh kali putaran dalam setiap detiknya. (Terpesona di Sidratul Muntaha, Agus Mustofa, 2006: 15). Itu kemudian, perjalanan Nabi Muhammad saat akan menerima perintah sholat cukup ditempuh dalam waktu yang sangat singkat.

Tentang sholat, di dalam al-Quran memang tak memerinci sebagaimana kini kita mengenalnya dengan sebutan Dhuhur, ‘Asar, Maghrib, Isya’, Subuh, dan macam nama sholat sunnah lainnya. Nama-nama sholat ini dijelaskan kemudian melalui perangai langsung Nabi Muhammad yang saat beliau wafat dinamai hadits. Hadits ini pun diperinci oleh hadirnya pendapat mayoritas ilmuan Islam yang disebut Ijma’, sedangkan Ijma’ masih ada lanjutannya yang disebut Qias.

Karena sholat diteladankan langsung oleh Nabi Muhammad, maka daya tangkap orang dalam melaksanakan sholat beragam. Semacam telah terjadi modivikasi ekspresi. Contoh: saat takbirotul ihrom, ada orang yang tangannya diangkat melampaui kepalanya, ada juga setinggi telinganya, ada pula yang lurus dengan bahunya. Inilah yang saya maksud modivikasi ekspresi. Daya tangkap orang saat menangkap ekspresi Nabi Muhammad sungguh beragam. Apakah salah satu di antara mereka ada yang salah? Wallahu A’lam; Allah yang lebih tahu. Yang salah menurut saya, jika saat Takbirotul Ihrom mengangkat tangan sambil pegang tongsis untuk berfoto selvie. hehe

Bagaimana dengan masjid?, apakah masjid adalah tempat hanya untuk sholat? Tidak! Masjid itu adalah tempat bersujud sebagaimana makna kongkritnya dari bahasa Arab. Mengingat dalam serangkaian sholat ada bagian bersujudnya, maka sejak nabi menerima perintah sholat, masjid kemudian dijadikan sebagai salah satu tempat untuk menegakkan sholat, utamanya sholat berjamaah.

Berkaitan dengan tema tulisan ini, banyak orang berlomba-lomba membangun masjid, mempermegah masjid, masjid dipenuhi oleh barbagai simbol kegemerlapan dunia, seakan, saat kita berhasil membangun dan mempermegah masjid, kita telah memiliki kendaraan menuju surga. Padahal, yang tak kalah penting adalah, membangun dan mempermegah diri untuk semakin pandai bersujud kepada sang ilahi robby. Karena masjid secara substansial adalah tempat di mana kita bersujud. Bisa di rumah, mall, atau tanah lapang yang di atasnya tidak berdiri bangunan sekalipun.

Berlomba-lomba membangun masjid secara fisik memang tidak salah, menjadi salah saat masjid hanya megah dan kesadaran sholat berjamaah-nya rendah. Kesalahan semakin mantap saat dana membangun masjid didapat dengan menjarah dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) seperti tabiat umum politisi Indonesia misalnya. Mereka jor-joran membantu pembangunan masjid, tapi dana yang mereka sumbangkan adalah hasil jarahan. Dengan begitu mereka merasa bersih dan semakin dekat dengan Tuhan. menjadi semakin lengkap saat mereka jelas-jelas menganggarkan pembangunan masjid dari APBN, APBD, maupun sumber lain, tapi kemudian dilakukan penyunatan anggaran. Politisi model begini bararti sujud-nya kepada Allah belum mantap dan sholat-nya belum bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar sebagaimana telah dijelaskan al-Quran.

“Jika ada orang melakukan ketidakbaikan, dan semakin menjadi-jadi ketidakbaikannya, bararti sholat yang ditegakkanya masih eror”, (Komaruddin Hidayat).

Kemudian, masih soal membangun masjid. Untuk mempermegah masjid, masyarakat di pedesaan kerap membuka pos amal di jalan-jalan. Pos amal maksudnya, mereka memasang plang di jalan, bahkan di tengah jalan mereka pasangi umbul-umbul supaya setiap kendaran yang lewat bergerak pelan. Mereka berharap uang yang rata-rata receh dari pengendara yang lewat sambil memohon-mohon supaya para pengendara berkenan melemparkan uangnya kepada mereka. Apakah ini salah? Tidak!, Cuma menurut saya tidak terhormat. Tidak terhormatnya di mana?, ya, membangun masjid dengan meminta-minta. Padahal meminta, sebagaimana ajaran Islam, adalah tindakan yang kalah baik ketimbang memberi. Hal itu pula, mengesankan bahwa orang Islam di mana masjid itu akan dibangun, kondisinya miskin-miskin dan barangkali juga pelit, sehingga tempat pribadatan bersama mereka sekalipun harus dibangun dari hasil mengemis.

Yang Baik Bagaimana?

Pantang bagi orang Islam untuk mengemis kerena miskin itu bukan semata persoalan harta tapi pola pikir yang cenderung kemeruk atas harta. Apakah Nabi Muhammad kaya raya dari sisi harta? Tidak! Apa juga Nabi Muhammad mengemis? Tidak!, bahkan dalam sebuah riwayat, Nabi mengharamkan dirinya dan anak turunya meminta-minta dan menerima pemberian orang secara cuma-cuma. Nabi sendiri meneladangkan pantang mengemis. Kenapa kita ummat-nya malah bangga menjadi pengemis?! Dari tingkat yang compang-camping sampai yang berbaju klimis. Sekali lagi, miskin bukan semata soal harta benda, tapi sudah soal pola pikir dari masing-masing orang itu sendiri.

Kembali ke soal membangun masjid, karena masjid adalah kebutuhan bersama kita sebagai tempat untuk menegakkah sholat secara berjamaah utamanya, maka, tema lanjutan dari tulisan ini; membangun di masjid, penting untuk benar-benar diperhatikan. Membangun di masjid maksudnya, mari kita jadikan masjid sebagai pusat peradaban, pusat ilmu pengetahuan tanpa dikotomisasi antara pengetahuan umum dan agama. Operasionalisasi dari segala program agenda yang akan dihelat di masjid, mari mulai dari sumbangan suka rela kemudian kelolalah hasil sumbangan tersebut berdasarkan prinsip-prinsip yang baik sebagaimana telah digariskan agama. Pengelolaan tersebut harus professional dan jangan turut dikorup sebagaimana tabiat umum orang Indonesia yang mengaku beragama Islam sekalipun. Sumbangan suka rela itu sebagai bukti sederhana yang kongkrit bahwa kita umat Islam memiliki kesadaran akan pentingnya syiar Islam yang perlu terus digiangkan dari generasi ke generasi. Selain itu, barawal dari sumbangan suka rela yang kemudian kudu dikembangakan secara baik itu, segala operasionalisasi dari kebutuhan dan kepentingan dakwah, termasuk juga pembangunan-perawatan masjid di dalamnya, cukup diambilkan dari dana bersama yang telah dikembangkan tersebut. Dalam hal ini, bentuk pengembangannya sudah fenomenal dengan sebutan, bank, pembiayaan, koperasi, dan unit usaha berbasis syariah.

Kenapa saya mengajak agar peradaban itu dibangun dimulai dari masjid? Karena masjid yang fungsi utamanya sebagai pusat sujud saat menegakkan sholat secara kolektif adalah simbol sederhana sebagai pusat kebersamaan dan persatuan umat Islam dari sekian perbedaan-perbedaan yang biasa terjadi pada setiap manusia.

Siapa Yang Akan Mengerakkan dan Menyuarakan?

Ya, kita kaula muda, kaum intelektual muslim harus menjadi pelopor utama akan Islam dan syiar Islam secara baik dan terhormat, setalah lama kita mengalami stagnasi dan terjebak dalam politik adu domba yang sengaja dihembuskan untuk memecah belah sesama saudara se-iman, sebangsa, dan se-tanah air. Umat Islam menjadi tidak produktif dan tak mampu berprestasi setelah mayoritas di antara kita tak mampu memerangi hawa nafsu negatif yang sebagian lahir dari diri kita sendiri setelah dipermantap oleh konstruksi struktural dari kelompok pemuja kapital sebagai pemenang dari pertarungan ide kini.

Allahu A’lam

Ellak-Laok, 31 Januari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun