“AlhamduliLLAH….” Aku berbisik memuji-NYA. Perlahan ada embun di mataku, embun itu semakin menebal, lalu berubah menjadi hujan, hujan yang deras.
Entah berapa lama aku lalui lorong gelap ini.
Sejak kecelakaan yang merusak retina mataku, hari hari datang dan pergi tak ada arti.
Waktu serasa berhenti, hampir saja aku menyerah, masa depan seperti apa yang bisa diharapkan dari orang buta sepertiku.
Tapi dekapan dan kecupan hangat Tora, selalu membuatku teguh kembali. Dia menuntunku melewati hari hari tanpa cahaya.
Membimbingku melalui tebing depresi. Menyuapiku dengan semangat setiap hari.
Lalu, suatu hari dia datang memelukku, dan berbisik “Bika..ada kabar gembira nih. Sudah ada pendonor yang cocok. Kamu akan bisa melihat lagi, beib.”
Aku terdiam, nyaris tak percaya. Kurasakan ada cairan menetes dipundakku, Tora menangis, memancing tangisku.
Lalu ... kami berpelukan dengan penuh haru dan menangis tanpa suara.
***
Hari hari selanjutnya akupun disibukkan oleh serangkaian tes dari tim dokter yang dipimpin dokter Marla. Hingga tak kusadari, semakin mendekati hari H, Tora semakin jarang menjengukku.