Tantangan ketiga adaalah membuat satu paragraph berdasarkan gambar penjepit jemuran. Tantangan ini sebenarnya hanyalah simulasi untuk membantu penulis agar terhindar dari WB.
 Bila kita terserang virus WB kita dapat melihat sekeliling sejenak, fokus di satu benda, lalu menjadikannya sebagai sebuah tulisan. Kita juga bisa bertanya pada diri, apa yang saat ini terjadi? Apa yang kita inginkan, saat buntu takt ahu menulis apa, curhat saja dulu lewat tulisan. Atau kembali kenajamkan indera untuk melihat hal-hal sederhana agar bisa menjadi ide tulisan.Â
Satu hal paling penting sebagai penulis adalah niat. Untuk menjadi penulis sebainya harus sudah siap untuk konsisten, siap untuk belajar dan dikritik karena karya kita bisa jadi buah bibir orang lain, mendapat kritikan, masukan atau saran dan lain-lain yang mendorong kita untuk terus belajar dan belajar lagi ilmu kepenulisan. Menjadi penulis pun siap ditolak.
 Ditolak penerbit, ditolak panitia lomba/seleksi, ditolak redaksi dan lain-lain. Dan tentu saja untuk penulis harus siap untuk menjadi unik, karena tak aka nada Ahmad Tohari kedua. Tak kan ada Andrea Hirata kedua. Tak kan ada Omjay kedua. Masing-masing kita punya keunikan. Kita pasti punya.
Setelah memaparkan materinya, narasumber mengembalikan waktu kepada moderator dan siap untuk masuk sesi tanya jawab. Ada banyak pertanyaan dari Pak Antoro yang larut dalam menulis sampai lupa waktu, ada pertanyaan dari Pak Asep yang bertanya tentang bagaimana trik praktis mengalahkan WB. Jawabalah yang diberikan oleh narasumber sangat memuaskan para peserta.
Akhirnya setelah sesi tanya jawab, pertemuan kedua puluh tiga pun ditutup. Para perserta merasa sangat puas karena mendapatkan ilmu yang sangat berarti.
Terima kasih
Berkah Dalem
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H