Dalam tulisan ini, penulis akan membandingkan ketentuan tentang restitusi korban tindak pidana Perdagangan Orang  dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Kemudian, penulis akan akhiri dengan seruan  bahwa demi perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang, negara harus mengambil alih kewajiban pemberian restitusi  kepada korban TPPO.
Secara yuridis, Pasal 1 ayat 1 UU PTPPO merumuskan bahwa:
"Peradangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Secara historis, Perdagangan  manusia (orang), yang saat ini dikenal di seluruh sistem hukum pidana di dunia sebagai perbudakan modern, memiliki sejarah panjang dan kelam dalam perjalanan sejarah umat manusia. Sejarah dunia mencatat pula bahwa objek peradangan orang pada mulanya adalah perempuan. Dalam konteks Yunani kuno, misalnya,  perempuan tidak memiliki harga/martabat sama sekali.
Perempuan dianggap sebagai objek  yang hanya memiliki martabak, bukan martabat. Itu sebabnya, perempuan dijadikan sebagai objek transaksi (jual beli) di pasar-pasar, tapi bukan Pasar Minggu Jaksel, tentunya......., yang selanjutnya dijadikan sebagai objek pelampiasan nafsu semata.
Adapun Korban Tindak Pidana perdagangan orang secara yuridis adalah orang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Sedangkan konsep restitusi menurut Pasal 1 ayat 13 UU PTPPO adalah:
Pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya."
Ketentuan tentang Restitusi diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50. Adapun restitusi dalam konteks ini merupakan ganti kerugian yang timbul dari 4 hal sebagai akibat perbuatan pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang, yakni:
1. Â Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
2. Penderitaan;
3. Biaya medis, termasuk psikologis;
4. Kerugian lain sebagai akibat perdagangan orang.
Sebetulnya, restitusi ini merupakan paradigma sistem peradilan pidana modern. Hal mana yang dianggap sebagai korban adalah masyarakat, bukan institusi yang disebut negara. Oleh karena itu, dalam konteks ini, jika terjadi tindak pidana perdangangan orang terhadap masyarakat/individu (person to person), maka negara melalui pengadilan  menyatakan  dalam amar putusannya bahwa pelaku selain dihukum badan (penjara), diwajibkan pula untuk membayar kerugian  kepada korban TPPO.
Namun, bagaimana jika pelaku TPPO tidak melaksanakan perintah pembayaran restitusi kepada korban TPPO Â sebagaimana dalam amar putusan pengadilan a quo?
Menjawab pertanyaan ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi pelaku tindak pidana TPPO. Jika pelaku tidak melaksanakan secara sukarela pemenuhan restitusi kepada korban TPPO, maka penuntut umum atas perintah pengadilan dapat melakukan upaya paksa berupa penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku untuk selanjutnya ditentukan (lelang) sebagai pembayaran restitusi kepada korban TPPO.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika pelaku tidak mempunyai harta kekayaan dimaksud? Restitusi tersebut dibayar oleh pelaku dengan cara hukuman kurungan paling lama 1 tahun (pada umumnya, pelaku dalam konteks ini dipidana 3-6 bulan saja).
Kedua, dari sudut korban TPPO. Bagaimana jika pelaku tidak mampu (tidak punya harta) untuk dikonversi sebagai pembayaran restitusi kepada korban yang sedang membutuhkan pertolongan atau bantuan? Ya, korban tetap mendapat restitusi/ganti kerugian dalam 3 bentuk, yakni:Â
1. Gigit jari;
2. Gigit jari; dan;
3. Gigit jari.Â
Korban TPPO tidak mendapat ganti kerugian dalam bentuk apapun dan dari siapapun!
Uraian di atas adalah ketentuan tentang restitusi dalam UU PTPPO, bagaimana dengan ketentuan restitusi dalam UU tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS?
Dalam UU TPKS, ketentuan tentang kewajiban dan mekanisme pemberian restitusi antara lain diatur dalam Pasal 16, 30, 31, 33 dan 35. Secara garis besar, formulasinya hampir sama dengan formulasi ketentuan restitusi dalam UU PTPPO. Namun, terdapat satu hal sangat menarik dalam UU TPKS, yaitu jawaban terhadap pertanyaan, bagaimana jika pelaku tidak mampu (tidak punya harta) untuk dikonversi sebagai pembayaran restitusi kepada korban TPPO yang sedang membutuhkan pertolongan atau bantuan.
UU TPKS menjawab pertanyaan ini secara jelas dan tegas bahwa apabila  pelaku TPKS tidak mempunyai harta kekayaan untuk dikonversi sebagai pembayaran restitusi kepada korban TPKS, negara hadir dan mengambil alih kewajiban restitusi  tersebut dalam bentuk kompensasi.  Jadi, meskipun pelaku tidak mempunyai harta kekayaan yang dapat disita guna pembayaran restitusi kepada korban, korban tetap mendapatkan ganti kerugian. Hanya saya pihak yang memberikan ganti kerugian bukan pelaku tindak pidana, melainkan negara.  Negara memberikan ganti kerugian dalam bentuk kompensasi sejumlah restitusi yang dinyatakan dalam amar putusan pidana a quo.
Sampai di sini, Penulis secara tegas tanpa keraguan menyatakan, Rezim saat ini harus segera melakukan revisi terhadap ketentuan restitusi dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO, setidaknya mengikuti logika UU TPKS di atas, yakni apabila pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak memiliki harta kekayaan (yang cukup) untuk bertanggung jawab membayar restitusi kepada korban Tindak pidana perdagangan orang, maka demi perlindungan dan pemulihan hak korban TPPO, negara harus hadir mengambil tanggung jawab restitusi dalam bentuk kompensasi sejumlah restitusi yang dinyatakan dalam amar putusan a quo.
Pengambilalihan restitusi oleh negara tersebut tidak membebaskan pelaku dari hukuman kurungan. Artinya, pelaku tindak pidana dalam UU PTPPO aquo tetap dihukum kurungan sebagaimana  ketentuan UU TPKS.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penting diingat bahwa restitusi dalam konteks ini bukan restitusi murni, yakni membebaskan pelaku dari hukuman. Namun, restitusi di sini diposisikan sebagai pelengkap hukuman. Artinya, pelaku bertanggung jawab memberikan restitusi (ganti kerugian) atau tidak, itu tidak menghapus atau meniadakan hukuman badan (penjara) bagi pelaku TPPO.
Penulis: Markus Lettang
Asisten Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H