Mohon tunggu...
Markus Anugrah. S
Markus Anugrah. S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Financial

Putusan Pengadilan Pajak atas Pemalsuan Dokumen Faktur Pajak PT Kencana Multi Indonesia

15 Januari 2024   17:35 Diperbarui: 16 Januari 2024   21:22 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Indonesia merupakan negara yang masih tergolong dalam negara dengan level Middle Up Country. Dalam pemerintahan, terdapat banyak tujuan dan rencana strategis kerja yang dilakukan pemerintah untuk menaikkan kekuatan kesejahteraan masyarakat khususnya melalui pelayanan dan pemerataan infrastruktur. Infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah memerlukan dana dan modal yang besar. Oleh karena itu, diperlukan sumber penerimaan negara yaitu salah satunya melalui penerimaan pajak.

Pajak merupakan suatu pungutan yang wajib yang sifatnya memaksa dan disahkan berdasarkan peraturan atau regulasi yang ada yaitu Undang-Undang, dengan tidak memberikan imbalan secara langsung dan akan menjadi sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran negara selama 1 tahun berjalan. Hal ini sudah tertera jelas dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 1 ayat 1 mengenai definisi pajak. Oleh karena itu, diperlukan peran masyarakat demi sustainability program perkembangan pembangunan Indonesia. Akan tetapi, dalam pelaksanaan dan pengintegrasian peraturan perpajakan, masih terdapat banyak kasus yang mencoba untuk melanggar dan tidak mengikuti peraturan yang ada.

Pada tulisan ini, kita akan lebih memfokuskan pada pengenaan kasus yang berkaitan dengan Peraturan UU KUP itu sendiri. Menurut Airlangga Executive Education Center, KUP merupakan peraturan perundang-undangan yang mengurus dan Menyusun akan ketentuan umum dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, yang berisikan tentang penjelasan tentang dasar-dasar perpajakan; Hak dan Kewajiban wp, Kewajiban dalam perhitungan Pajak, pembayaran, dan pelaporan pajak serta Upaya hukum atas ketetapan pajak baik keberatan maupun banding; dan tata cara pelaksanaan dalam memenuhi hak dan kewajiban pajak tersebut baik dalam menagih maupun memeriksa.

Salah satu kasus yang pernah terjadi di Indonesia dalam memenuhi kewajiban melaporkan pajak adalah adanya kasus penerbitan faktur pajak fiktif oleh salah satu Wajib Pajak (WP) atau Pengusaha Kena Pajak (PKP). Ketentuan penerbitan faktur pajak atas PPN yang dimuat dalam PER-03/PJ/2022 Tentang Faktur Pajak pada pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa PKP yang menyerahkan BKP dan/atau JKP wajib memungut PPN yang terutang dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pungutan PPN.

Oleh sebab itu, ketika dilakukan penyalahgunaan dalam penerbitan faktur pajak sebagai sarana kredit pajak akan dikenai sanksi pidana. Hal itu sudah dijelaskan dalam UU KUP Pasal 39 A Dimana setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pkp akan diberikan sanksi pidana sebagai konsekuensinya, yaitu pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun serta denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak dalam faktur pajak atau bukti pemungutan pajak ataupun bukti pemotongan pajak dan paling banyak 6 kali dari besaran jumlah pajak dalam faktur pajak atau bukti pemungutan pajak ataupun bukti pemotongan pajak yang ada.

Berdasarkan sumber resmi dari CNBC Indonesia, Kasus yang pernah terjadi adalah wp Badan PT Kencana Multi Indonesia, yaitu Achmad Khadafi alias Vicky Andrean alias Hanafi dengan sengaja menerbitkan dan memberikan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, dan bukti setoran pajak yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Kasus tersebut merupakan salah satu tindak pidana dan bentuk perlawanan pajak secara aktif yang mana memberikan keterangan transaksi berupa faktur yang palsu dan akan diadili dalam pengadilan perpajakan. Oleh karena itu, pada tanggal 27 Maret 2023, Hanafi didakwa oleh Majelis Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 25/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim dan terbukti untuk menjadi tersangka secara sah untuk ditindaklanjuti di bidang perpajakan untuk kurun waktu 2019 sampai dengan 2021. Hal ini juga menjadi salah satu adanya indikasi Perbuatan Melawan Hukum dan Penipuan sehingga wajib untuk diberikan sanksi pidana.

Indonesia menggunakan sistem self assessment dalam pelaporan SPT oleh pihak Wajib Pajak sendiri. Akan tetapi, apabila ditemukan adanya indikasi kesalahan atau temuan oleh pengawas maka akan diminta penjelasan dari pihak DJP. Pada kasus ini, Hanafi selaku wp menerbitkan Faktur Pajak Bersama dengan SPT yang dilaporkan. Setelah itu, akan diteliti dan diawasi oleh Accounting Representative (AR) dari pihak DJP untuk menilai kepatuhan pelaporan wp. Faktur yang diperiksa oleh AR ditemukan adanya indikasi Faktur Pajak Fiktif sehingga AR akan menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK) kepada wp. Apabila wp tersebut tidak mengakui atau tidak memiliki itikad baik dalam pembenaran data dan tidak melakukan pembetulan maka AR akan menaikkan kasus tersebut ke fungsional pemeriksa dimana data-data untuk kasus tersebut telah dimiliki secara konkret oleh Pemeriksa.

Pada kasus tersebut, Hanafi diberi hukuman pidana kurungan pernjara selama 3 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar dua kali jumlah kerugian yaitu sebesar Rp324.998.539.930,00 atau tiga ratus dua puluh empat miliar sembilan ratus sembilan puluh delapan juta lima ratus tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus tiga puluh rupiah. Apabila wp tersebut tidak membayar denda tersebut paling lama 1 bulan setelah putusan pengadilan tersebut diberikan maka harta benda tersebut dapat disita oleh Jaksa Pengadilan dan dilelang untuk membayar denda dan jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang dapat mengganti nilai pembayaran denda tersebut maka akan diberikan hukuman kurungan penjara pengganti denda selama 4 bulan. Hal ini sudah dijelaskan dari UU KUP Pasal 44 C ayat 2 dan 3, Dimana pada ayat kedua dijelaskan bahwa jika terdakwa pidana atas putusan pengadilan yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap maka jaksa dapat melakukan penyitaan dan melelang terhadap harta kekayaan terpidana dalam hal membayar denda pidana sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

Sementara itu, pada ayat ketiga di pasal tersebut, apabila telah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terdakwa tidak mempunyai harta kekayaan yang cukup untuk membayar pidana denda maka dapat diganti dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara yang diputuskan di pengadilan. Pada kasus ini, pidana penjara yang diberikan jika terdakwa tidak  memiliki harta kekayaan yang cukup adalah kurungan penjara selama 4 bulan. Oleh karena itu, melalui adanya penerbitan faktur palsu ini maka akan dilakukan penelitian dan pengembangan khususnya untuk memitigasi kasus yang serupa oleh Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur sebagai tempat pelaporan Wajib Pajak dari PT Multi Indonesia yang pusat tempat usahanya berada di wilayah Jakarta Timur.

Sesuai UU KUP Pasal 43 A mengenai Penyidikan, sebelum adanya penyidikan oleh pihak berwenang, maka akan dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan (BukPer). Informasi serta data/laporan yang diterima akan dianalisis dan dikembangkan oleh Intelijen dari instansi DJP atau Kantor Wilayah  DJP Jakarta Timur yang nantinya hasil analisis tersebut akan menjadi dasar Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau ditindaklanjuti.  Berdasarkan Pasal 43 A ayat 2, Pemeriksaan Bukti Permulaan ini dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal Pajak yang menerima surat perintah pemeriksaan bukti permulaan.

Pada proses penyidikan atas Bukti Permulaan tersebut dilakukan, dalam UU KUP Pasal 44 ayat 3, Penyidik akan memberikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai UU Hukum Acara Pidana, yang mana dalam kasus ini adalah Pejabat Kepolisian Daerah Metro Jaya. Setelah itu, dalam pelaksanaan kewenangan penyidikannya dalam UU KUP Pasal 44 ayat 4, penyidik juga akan meminta bantuan aparat penegak hukum yang lain, yaitu Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur.

Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan diatas kita bisa melihat bahwa dalam pelaporan harus sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam pelaporannya, ketika dilakukan pengujian maka akan diawasi kembali oleh AR dan akan dilakukan pemeriksaan pajak jika masih belum dilakukan pembetulan oleh wp. Apabila terdapat indikasi kasus pidana maka akan dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan dilanjutkan penyidikan. Akan tetapi untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut merupakan kasus pidana atau administrasi, harus diukur dengan apakah kasus tersebut untuk Ultimum remedium, tujuan pada pendapatan negara, ataukah diskresi DJP agar dapat ditindaklanjuti(Waluyo, 2018).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun