Kembali fokus pada isu golput di pemilu 2019 ini. Panasnya tensi persaingan kedua kubu capres dan cawapres membuat kaum golput mendapatkan stigma negatif dari sebagian elite politik dan sebagian masyarakat awam pendukung kedua kubu paslon tersebut. Karena opini kaum golput ini cenderung bertentangan dengan opini dari kedua kubu paslon. Kaum golput seakan-akan menjadi kubu ketiga pada perhelatan pemilu 2019 ini.Â
Pada beberapa momen yang bisa kita pantau sendiri di sosial media milik kita masing-masing; terlihat ada tekanan-tekanan pada kaum ini. Sejatinya golput di pemilu 2019 ini tidak ada sampai hari pencoblosan berlalu. Karena sampai saat itu tiba, yang ada sekarang adalah orang-orang yang belum menetapkan pilihannya. Jadi peluang mereka untuk berpartisipasi masih ada. Â
Jadi mari kita melihat lebih jernih kenapa mereka belum sanggup menetapkan pilihannya, apa alasan mereka? Pemilu 2019 kali ini memang unik suasananya, tensinya cukup tinggi diantara kedua kubu, walaupun belum sepanas pilkada DKI 2017 lalu. Ada asumsi bahwa sebagian besar pendukung kedua kubu sudah menentukan pilihannya jauh hari sebelum kedua paslon mengumumkan rencana programnya; jauh hari sebelum kedua paslon berkampanye; jauh hari sebelum kedua paslon mendaftarkan diri ke KPU; bahkan jauh hari sebelum Jan Ethes lahir ke dunia mereka sudah menentukan pilihannya. Jadi alasan apa yang mendasari fenomena tersebut?Â
Sebelum kita memahami lebih lanjut tentang kaum golput, kita lihat dulu latar belakang memilih sebagian besar pendukung kedua kubu. Faktor simpati disinyalir menjadi latar belakang terbesar yang mendasari keputusan awal para pendukung kedua kubu memilih paslon presiden dan wapres mereka, kemudian baru mereka merasionalisasi rasa simpati itu melalui perilaku dan tindakan yang dipandang baik dari masing-masing pribadi capres dan cawapres tersebut. Tidak ada yang salah dengan pola perilaku memilih seperti itu, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang memang cenderung mengedepankan "rasa" atau perasaan. terbukti dari seringnya kita memakai kalimat pembuka "saya rasa" sebelum mengeluarkan suatu opini.Â
Sebaliknya kaum golput di pemilu 2019 ini disinyalir memakai pola perilaku yang berkebalikan dalam menentukan pilihan mereka. Sehingga mereka memerlukan alasan-alasan yang jauh dari area emosional. Kaum golput bisa dikatakan tidak teryakinkan dengan pola-pola kampanye kedua kubu yang bertarung.Â
Kubu petahana tidak sanggup meyakinkan kaum golput akan kesanggupan melanjutkan pemerintahan dengan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya, sedangkan kubu opisisi juga dianggap belum sanggup membuat perubahan lebih baik; salah satunya karena dianggap belum memiliki track record yang meyakinkan dalam memegang posisi pejabat pemerintahan sipil. Lalu bagaimana cara bagi kedua kubu yang bertarung untuk menarik hati para kaum golput ini, karena persentase kaum golput cukup menggiurkan untuk menambah perolehan suara masing-masing kubu.Â
Pemaparan rencana program kerja yang detail dari masing-masing paslon lebih menarik bagi kaum golput dibanding isu-isu irasional seperti isu komunis maupun isu kilafah. Diskusi tentang progress realisasi janji-janji kubu petahana dalam pemilu sebelumnya bisa menjadi penentu pertaubatan kaum golput. Akan membesar pula peluang  kaum golput untuk mengambil posisi ke kubu petahana apabila mampu memaparkan nilai lebih dari hasil kerja kubu petahana dibanding rezim sebelumnya dan mampu memberikan alasan-alasan rasional akan janji-janji kampanye yang belum terealisir. Sedangkan bagi kubu oposisi akan lebih mudah menarik dukungan kaum golput bila mampu memberikan solusi yang efektif dan realistis dari kelemahan program-program kerja kubu petahana.
Tentu lebih banyak solusi-solusi lain yang dapat diangkat sesuai dari karakter dari pemilih, tapi solusi-solusi tersebut akan tereksekusi dengan lebih baik apabila dibalut oleh rasa persaudaraan dan rasa toleransi yang tinggi terhadap lawan dari masing-masing kubu, otomatis akan mendapatkan simpati dari kaum golput.Â
Karakter bangsa  yang saling menghormati sudah seharusnya dipraktekkan sebaik-baiknya dalam perhelatan akbar ini. Hal seperti ini seharusnya tidak hanya menjadi basa-basi politik saja, karena ini merupakan warisan dari leluhur kita yang penting untuk menjaga keutuhan bangsa. Pemimpin adalah cermin dari rakyat yang dipimpinnya, dan rakyat adalah cerminan dari pemimpinnya. Bila kita lebih sering melihat ke dalam diri masing-masing maka peluang memperbaiki nasib bangsa ini akan lebih besar.Â
Suka tidak suka, golput adalah bagian dari demokrasi. Baiknya kita berhenti menuduh bahwa mereka mencoba melukai demokrasi, kemudian membuat opini mereka harus bertanggung jawab andaikata kemalangan menimpa demokrasi kita. Selalu akan ada konsekuensi dari setiap pilihan yang kita ambil.Â
Memilih atau tidak memilih, masing-masing orang punya kewajiban untuk menjaga keutuhan bangsa ini dengan cara yang baik. Merangkul kaum golput dengan rasa cinta dan persaudaraan akan membantu mereka untuk dapat melihat apa yang kita lihat dari jagoan capres kita masing-masing. Lagipula rasa cinta dan persaudaraan bangsa kita jauh lebih penting dibandingkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing kubu terhadap capres dan cawapres jagoannya. Apa gunanya memiliki perabot canggih tanpa rumah yang menaunginya.