Pesta akbar demokrasi lima tahunan akan mencapai puncaknya dalam  beberapa hari lagi. Di pemilu kali ini pemilihan anggota dewan legislatif dan pemilihan presiden diselenggarakan secara bersamaan. Dari keduanya pemilihan presidenlah yang menyita atensi masyarakat paling banyak; hingga terlihat membelah sebagian besar masyarakat menjadi 2 kubu pendukung. Tensi panas pilpres sudah terjadi jauh hari sebelum kedua kubu capres memulai kampanye resminya, bahkan sebelum kedua paslon presiden dan wapres mendaftarkan diri ke KPU. Pemilu 2019 kali ini seperti pertandingan ulang dari pemilu 2014 lalu.Â
Tanggal 17 April 2019 nanti, sebagian besar masyarakat akan mendatangi TPS untuk memilih wakil mereka di DPR dan presiden yang akan bertugas untuk periode 5 tahun kedepan. Kenapa sebagian besar? Karena diharapkan hanya sebagian kecil saja yang tidak ikut mencoblos atau golput (golongan putih).Â
Ada candaan yang mengatakan bahwa sebutan golput ini dirasa kurang cocok lagi untuk dipakai saat ini, karena kecenderungan sebagian masyarakat saat ini yang melihat segala sesuatu dengan kacamata salah benar atau hitam putih. Bila kita melihat kedua kubu capres dan cawapres yang bertarung, baik elite politik maupun pendukungnya juga memposisikan kubu masing-masing sebagai yang benar dan kubu lawannya sebagai yang salah, maka yang tidak memilih kedua kubu seharusnya disebut golbu atau golongan abu-abu.Â
Isu golput ini sebenarnya bukan barang baru lagi, karena sudah berlangsung lama, sejak pemilu pertama kali diadakan di republik ini di tahun 1955. Berikut data partisipasi pemilu dari masa ke masa:
 1. Pemilu 1955: partisipasi 91,40 persen; golput 8,60 persen. Â
2. Pemilu 1971: partisipasi 96,60 persen; golput 3,40 persen.
3. Pemilu 1977: partisipasi  96,50 persen ; golput 3,50 persen.
4. Pemilu 1982: partisipasi  96,50 persen ; golput 3,50 persen.
5. Pemilu 1987: partisipasi  96,40 persen ; golput 3,60 persen.
6. Pemilu 1992: partisipasi  95,10 persen ; golput 4,90 persen.
7. Pemilu 1997: partisipasi  93,60 persen ; golput 6,40 persen.
8. Pemilu 1999: partisipasi  92,70  persen ; golput 7,30 persen.
9. Pemilu legislatif 2004: partisipasi  84,10  persen ; golput 15,90 persen.
10. Pemilu presiden 2004 putaran 1: partisipasi  78,20  persen ; golput 21,80 persen.
11. Pemilu presiden 2004 putaran 2: partisipasi  77,60  persen ; golput 23,40 persen.
12. Pemilu legislatif 2009: partisipasi  70,90  persen ; golput 29,10 persen.
13. Pemilu presiden 2009: partisipasi  71,70  persen ; golput 28,30 persen.
14. Pemilu legislatif 2014: partisipasi  75,11  persen ; golput 24,89 persen.
15. Pemilu presiden 2014: partisipasi  70,99  persen ; golput 29,01 persen.
(sumber: tirto.id)
Pemilu kali ini KPU menargetkan partisipan sebesar 77,50 persen, yang berarti menyisakan non partisipan sebesar 22,50 persen; partisipasi tertinggi sejak pemilu 2004. Apabila target ini tercapai, dapat diasumsikan bahwa harapan rakyat Indonesia untuk mendapati bangsanya maju dengan pemilu 2019 ini telah meningkat.Â
Kembali fokus pada isu golput di pemilu 2019 ini. Panasnya tensi persaingan kedua kubu capres dan cawapres membuat kaum golput mendapatkan stigma negatif dari sebagian elite politik dan sebagian masyarakat awam pendukung kedua kubu paslon tersebut. Karena opini kaum golput ini cenderung bertentangan dengan opini dari kedua kubu paslon. Kaum golput seakan-akan menjadi kubu ketiga pada perhelatan pemilu 2019 ini.Â
Pada beberapa momen yang bisa kita pantau sendiri di sosial media milik kita masing-masing; terlihat ada tekanan-tekanan pada kaum ini. Sejatinya golput di pemilu 2019 ini tidak ada sampai hari pencoblosan berlalu. Karena sampai saat itu tiba, yang ada sekarang adalah orang-orang yang belum menetapkan pilihannya. Jadi peluang mereka untuk berpartisipasi masih ada. Â
Jadi mari kita melihat lebih jernih kenapa mereka belum sanggup menetapkan pilihannya, apa alasan mereka? Pemilu 2019 kali ini memang unik suasananya, tensinya cukup tinggi diantara kedua kubu, walaupun belum sepanas pilkada DKI 2017 lalu. Ada asumsi bahwa sebagian besar pendukung kedua kubu sudah menentukan pilihannya jauh hari sebelum kedua paslon mengumumkan rencana programnya; jauh hari sebelum kedua paslon berkampanye; jauh hari sebelum kedua paslon mendaftarkan diri ke KPU; bahkan jauh hari sebelum Jan Ethes lahir ke dunia mereka sudah menentukan pilihannya. Jadi alasan apa yang mendasari fenomena tersebut?Â
Sebelum kita memahami lebih lanjut tentang kaum golput, kita lihat dulu latar belakang memilih sebagian besar pendukung kedua kubu. Faktor simpati disinyalir menjadi latar belakang terbesar yang mendasari keputusan awal para pendukung kedua kubu memilih paslon presiden dan wapres mereka, kemudian baru mereka merasionalisasi rasa simpati itu melalui perilaku dan tindakan yang dipandang baik dari masing-masing pribadi capres dan cawapres tersebut. Tidak ada yang salah dengan pola perilaku memilih seperti itu, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang memang cenderung mengedepankan "rasa" atau perasaan. terbukti dari seringnya kita memakai kalimat pembuka "saya rasa" sebelum mengeluarkan suatu opini.Â
Sebaliknya kaum golput di pemilu 2019 ini disinyalir memakai pola perilaku yang berkebalikan dalam menentukan pilihan mereka. Sehingga mereka memerlukan alasan-alasan yang jauh dari area emosional. Kaum golput bisa dikatakan tidak teryakinkan dengan pola-pola kampanye kedua kubu yang bertarung.Â
Kubu petahana tidak sanggup meyakinkan kaum golput akan kesanggupan melanjutkan pemerintahan dengan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya, sedangkan kubu opisisi juga dianggap belum sanggup membuat perubahan lebih baik; salah satunya karena dianggap belum memiliki track record yang meyakinkan dalam memegang posisi pejabat pemerintahan sipil. Lalu bagaimana cara bagi kedua kubu yang bertarung untuk menarik hati para kaum golput ini, karena persentase kaum golput cukup menggiurkan untuk menambah perolehan suara masing-masing kubu.Â
Pemaparan rencana program kerja yang detail dari masing-masing paslon lebih menarik bagi kaum golput dibanding isu-isu irasional seperti isu komunis maupun isu kilafah. Diskusi tentang progress realisasi janji-janji kubu petahana dalam pemilu sebelumnya bisa menjadi penentu pertaubatan kaum golput. Akan membesar pula peluang  kaum golput untuk mengambil posisi ke kubu petahana apabila mampu memaparkan nilai lebih dari hasil kerja kubu petahana dibanding rezim sebelumnya dan mampu memberikan alasan-alasan rasional akan janji-janji kampanye yang belum terealisir. Sedangkan bagi kubu oposisi akan lebih mudah menarik dukungan kaum golput bila mampu memberikan solusi yang efektif dan realistis dari kelemahan program-program kerja kubu petahana.
Tentu lebih banyak solusi-solusi lain yang dapat diangkat sesuai dari karakter dari pemilih, tapi solusi-solusi tersebut akan tereksekusi dengan lebih baik apabila dibalut oleh rasa persaudaraan dan rasa toleransi yang tinggi terhadap lawan dari masing-masing kubu, otomatis akan mendapatkan simpati dari kaum golput.Â
Karakter bangsa  yang saling menghormati sudah seharusnya dipraktekkan sebaik-baiknya dalam perhelatan akbar ini. Hal seperti ini seharusnya tidak hanya menjadi basa-basi politik saja, karena ini merupakan warisan dari leluhur kita yang penting untuk menjaga keutuhan bangsa. Pemimpin adalah cermin dari rakyat yang dipimpinnya, dan rakyat adalah cerminan dari pemimpinnya. Bila kita lebih sering melihat ke dalam diri masing-masing maka peluang memperbaiki nasib bangsa ini akan lebih besar.Â
Suka tidak suka, golput adalah bagian dari demokrasi. Baiknya kita berhenti menuduh bahwa mereka mencoba melukai demokrasi, kemudian membuat opini mereka harus bertanggung jawab andaikata kemalangan menimpa demokrasi kita. Selalu akan ada konsekuensi dari setiap pilihan yang kita ambil.Â
Memilih atau tidak memilih, masing-masing orang punya kewajiban untuk menjaga keutuhan bangsa ini dengan cara yang baik. Merangkul kaum golput dengan rasa cinta dan persaudaraan akan membantu mereka untuk dapat melihat apa yang kita lihat dari jagoan capres kita masing-masing. Lagipula rasa cinta dan persaudaraan bangsa kita jauh lebih penting dibandingkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing kubu terhadap capres dan cawapres jagoannya. Apa gunanya memiliki perabot canggih tanpa rumah yang menaunginya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI