Mohon tunggu...
Marjuni
Marjuni Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Pelaku Pendidikan Islam

Fokus pada Manajemen Pendidikan Islam, Branding Strategy Lembaga Pendidikan Islam, Marketing Lembaga Pendidikan Islam, Kajian Pesantren, Kajian Pemikiran Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Yang Harus Dibanggakan oleh para Wali Santri dari Anaknya yang Sedang Mondok: Pengalaman Berat para Santri dalam Menghadapi Ujian Amaliyah Tadris

23 Januari 2023   02:22 Diperbarui: 23 Januari 2023   23:56 2646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Identitas Pelajaran pada I'dad tadris Ima' (sumber: Foto Marjuni)

Ujian Amaliyah Tadris di beberapa pesantren, telah menjadi "momok menakutkan" bagi sementara kalangan santri. Pasalnya, ujian Amaliyah tadris ini menuntut beberapa penguasaan kognitif, psikomotorik dan afektif santri akhir Kelas VI (kelas akhir pada KMI dan TMI

Amaliyah Tadris berasal dari dua kata: yaitu kata "amaliyah" yang artinya praktik; dan kata "tadris" yang artinya pengajaran atau pembelajaran. Sehingga Amalaiyah tadris dapat dimaknai sebagai Ujian Praktik Mengajar. Kita dapat membayangkan, seorang santri kelas akhir di pesantren, yang nota benenya setara dengan peserta didik kelas XII pada SMA/MA/SMK, telah dituntut kemampuannya dalam "mengajarkan" ilmunya selama "mondok" di hadapan para santri dengan tingkatan kelas yang bervariasi.

Secara filosofis, mengapa para santri akhir (kelas VI) dituntut untuk menguasai keterampilan teknis mengajar melalui Amaliyah Tadris? Jika kita menelisik lebih dalam dari penamaan lembaga pendidikan yang menerapkan ujian amaliyah tadris, yaitu pesantren modern yang menamai lembaga pendidikannya dengan "Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah (disingkat KMI), atau Tarbiyatul Mu'alllimin Al-Islamiyah (disingkat TMI). Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah berasal dari bahasa Arab yang artinya "pendidikan tinggi Guru Islam", dan Tarbiyatul Mu'allimin Al-Islamiyah berasal dari bahasa Arab yang artinya "pendidikan guru Agama Islam". 

Berdasarkan pengamatan, baik KMI maupun TMI, sama-sama memiliki struktur kurikulum yang setara dengan kurikulum PGAN tempo dulu, bahkan lebih berat dengan beberapa kelebihan, antara lain: sistem pondok pesantren yang mewajibkan para santri tinggal di asrama, pondok pesantren melatih beberapa sikap/jiwa yang biasa dikenal dengan Panca Jiwa (lima jiwa). Panca Jiwa ini menjadi dasar dan semangat (spirit) mendidik para santri (Ruh Tarbiyah Thullab). 

Kelima Panca Jiwa tersebut yaitu: 

1). Jiwa  keikhlasan (sincerity); 

Jiwa ini dapat dimaknai sebagai Jiwa  "sepi ing pamrih, Rame ing Gawe", yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Semua perbuatan dilakukan dengan niat ibadah semata, Lillahi ta'ala. Kyai mengabdikan diri untuk santri dengan sepenuh hati, pembantu Kyai dengan ikhlas membantu dalam melaksanakan proses pendidikan, dan santri dengan ikhlas dididik. Semangat ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara Kyai yang dihormati dan murid yang patuh, penuh kasih sayang dan hormat. Jiwa ini selalu menjadikan murid-murid yang siap berjuang di jalan Allah kapanpun dan dimanapun. 

2) Jiwa Kesederhanaan (simplicity); 

Kehidupan di dalam asrama penuh dengan suasana kesederhanaan. Sederhana bukan berarti pasif atau tidak berbuat apa-apa, dan bukan berarti miskin dan melarat. Dalam semangat kesederhanaan terkandung nilai-nilai seperti kekuatan, kesanggupan, keteguhan dan pengendalian diri untuk menghadapi pergumulan hidup. Di balik kesederhanaan ini muncul jiwa besar yang berani maju dan tidak pernah mundur. Padahal, di sinilah tumbuh dan berkembangnya jiwa dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat perjuangan di segala bidang kehidupan. 

3). Jiwa Berdikari (Independent Spirit); 

Dalam jiwa berdikari diajarkan karakter "kemandirian", atau kemampuan menolong diri sendiri (self help), merupakan senjata ampuh yang ditawarkan pesantren kepada santrinya. Kemandirian bukan hanya berarti santri dapat belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan harus mampu mandiri agar tidak pernah berada di bawah pertolongan atau belas kasihan pihak lain. Dalam kemandirian terkandung maksud sistem berdruiping mandiri (menyokong biaya bersama, dan mengambil manfaatbersama). Sementara Pondok tidak kaku, apalagi menolak orang/pihak yang ingin membantu. Semua pekerjaan di pesantren dikelola dan dikerjakan oleh kyai dan santri sendiri, tidak ada pekerja yang digaji oleh pesantren. 

4). Jiwa Ukhuwah Islamiyah (Soul of Islamic Ukhuwwah);

 Kehidupan pesantren dilingkupi oleh suasana persaudaraan dan kekeluargaan. Sehingga segala suka dan duka dalam jalinan ukhuwah saling berbagi. Tak ada tembok yang bisa memisahkan mereka. Persaudaraan itu tidak hanya terjalin selama mereka berada di Pondok, tetapi juga mempengaruhi kesatuan komunitas di dalam komunitas alumni begitu mereka melebur dalam masyakarat.

5). Jiwa Bebas

Santri dididik untuk bebas berpikir dan bertindak, bebas menentukan masa depan, bebas memilih gaya hidup bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, dari masyarakat. Jiwa bebas inilah yang membuat santri menjadi murah hati dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Kebebasan ini hanya seringkali memiliki unsur negatif, yaitu ketika kebebasan tersebut disalahgunakan sedemikian rupa sehingga terlalu bebas (liberal) dan berujung pada hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.

Di sisi lain, ada juga yang terlalu bebas (untuk tidak mau mempengaruhi), yang berpegang teguh pada tradisi yang mereka sendiri anggap bermanfaat untuk zamannya, sehingga tidak mau melihat kembali perubahan zaman. Akhirnya dia tidak lagi bebas, karena dia terikat pada sesuatu yang diketahui. Oleh karena itu kebebasan ini harus dikembalikan ke keadaan semula, bebas dalam arti positif, dengan penuh tanggung jawab; baik dalam kehidupan pesantren itu sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat. Jiwa kebebasan dalam suasana kehidupan di pondok pesantren itulah yang dibawa Santri ke masyarakat sebagai urat nadi kehidupan yang utama. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan sebaik mungkin agar santri menjadi pribadi yang tidak terkooptasi oleh pihak lain.

Kembali pada pembahasan Ujian amaliyah tadris, sebagai pokok persoalan yang sedang kita bahas. Bahwa Amaliyah tadris memuat kelima panca jiwa pondok pesantren tersebut dia atas. Bagaimana tidak? Amaliyah mengajari para santri untuk ikhlas berbahgi ilmu pengetahuan yang telah dimiliknya dengan dengan metode, strategi dan pendekatan yang paling efektif dan efisian berbalut jiwa keikhlasan.  Amaliyah tadris juga mengajarkan pada santri untuk memiliki jiwa mandiri. bagaimana logikanya? pada saat seorang santri kelas akhir diuji untuk melaksakana praktik mengajar di kelas, disini mereka dituntut untuk memiliki sikap mandiri yang sangat tinggi. bagaimana tidak? mereka harus merancang program pembelajaran (i'dad tadris) secara mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Sementara itu, untuk ukuran santri kelas XII SMA/MA/SMK, dengan bekal pengalaman, pengetahuan teknis mengajar (meskipun mereka telah belajar Ushul Tarbiyah dan Tarbiyah Amaliyah. Namun, tantangan ini cukup membuat para santri Akhir kelas VI kewalahan. 

I'dad tadris (yang biasa disebut sebagai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran/RPP atau sekarang disebut sebagai Modul Ajar, memiliki struktur antara lain:

1). Identitas Mata Pelajaran yang memuat Nama Guru Praktik (mudarris), nama pelajaran (al-Dars) atau (Al-maaddah), Materi Pembelajaran (al-maudhu'), Waktu Pembelajaran (al-Hissoh), tempat pembelajaran (al-makaan), Kelas (al-Fashlu), Hari dan tanggal Praktik Pembelajaran (al-Yaum wa at-Tarikh), Nama Pembimbing Praktik Mengajar (al-Musyrif).

2). Tujuan Umum Pembelajaran (al-Gharad al- 'Aam) dan Tujuan Khusus Pembelajaran (al-Gharad al-Khaash)

3).  Media dan Alat Pembelajaran  (Wasail Ii-dhah)

4). Metode dan Strategi Pembelajaran (Thariiqah Tadriis)

5). Langkah-langkah Pembelajaran (Khuthuwath Tadriis)

6). Model  Presentasi pada Papan Tulis (Mulakhos Sabburah)

Untuk lebih jelasnya, saya tampilkan contoh modul ajar untuk mata pelajaran Imla', sebagai berikut:

Identitas Pelajaran pada I'dad tadris Ima' (sumber: Foto Marjuni)
Identitas Pelajaran pada I'dad tadris Ima' (sumber: Foto Marjuni)

Tarbiyah Amaliyah mengajarkan hal-hal berikut:

1.  Mengenalkan kepada santri  akhir kelas VI terhadap aspek proses pendidikan di pesantren dan di kelas.
2. Menyediakan kesempatan kepada santri akhir kelas VI untuk menerjemahkan pengetahuan teoretis, prinsip dan gagasan pendidikan ke dalam metode pengajaran yang sebenarnya.
3. Memberikan kesempatan kepada santri akhir kelas VI untuk memahami sifat pekerjaan yang akan mereka praktikkan setelah lulus.
4. Membantu para santri akhir kelas VI beradaptasi dengan situasi pendidikan, yang membantu menghilangkan banyak ketakutan
yang mereka alami secara bertahap di awal pelatihannya.

5. Memberikan kesempatan kepada santri akhir kelas VI untuk belajar dan berlatih yang terencana dan terukur bagi para santri untuk mengembangkan keterampilan mengajarnya dan membantunya membentuk sikap dan kecenderungan positif terhadap profesi yang sedang dipersiapkan untuk mereka.
6. Memberi kesempatan kepada santri akhir kelas VI untuk belajar tentang kemampuannya sendiri dan kompetensi mengajar dan untuk mengerjakannya
7. Mengembangkan kompetensi santri akhir kelas VI melalui pengalaman langsung, dan mengembangkan sikap profesional mereka.
8. Mendorong para santri akhir kelas VI untuk menghadapi masalah yang mungkin mereka temui selama praktik pembelajaran dan memotivasi mereka untuk berpikir dan mengatasinya secara mandiri.

9. Memberi kesempatan kepada santri akhir kelas VI untuk berkenalan dengan pola, cara berpikir, dan kecenderungan siswa, untuk memperoleh pengetahuan
10. Melatih beberapa keterampilan yang memungkinkan santri akhir kelas VI untuk berurusan dengan murid di dalam kelas.
11. Memberikan kesempatan bagi santri akhir kelas VI  untuk melihat dan menganalisis berbagai model situasi pengajaran yang dilakukan oleh guru yang berkualitas dengan pengalaman panjang.
12. Memungkinkan santri akhir kelas VI untuk berpartisipasi dalam kegiatan pesantren dan terlibat dalam kegiatan pendidikan untuk suatu mata pelajaran spesialisasi dan perolehan kemampuan untuk mengawasinya.

13. Melatih para santri Akhir Kelas VI untuk berbicara, menulis, dan menyimak bahasa Arab dan bahasa Inggris dengan baik dan benar (karena praktik mengajar ini menggunakan bahasa Arab dan Bahasa Inggris)

Demikianlah letak point krusial yang harus dijaga oleh pesantren dengan sistem KMI dan atau TMI yang  tetap eksis bahkan semakin menunjukkan kokohnya sistem pendidikan yang komprehenship di tengah gempuran sistem pendidikan liberal sejak satu abad yang lalu hingga saat ini.

Disinilah letak point krusial yang patut dibanggakan oleh para wali santri atas  model pendidikan pesantren yang sadar atau tidak telah mulai direduksi oleh paradigma kritis pendidikan dalam menghadapi era Industri 4.0 dan Society 5.0.

Semoga bermanfaat....!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun