Ujian Amaliyah Tadris di beberapa pesantren, telah menjadi "momok menakutkan" bagi sementara kalangan santri. Pasalnya, ujian Amaliyah tadris ini menuntut beberapa penguasaan kognitif, psikomotorik dan afektif santri akhir Kelas VI (kelas akhir pada KMI dan TMI
Amaliyah Tadris berasal dari dua kata: yaitu kata "amaliyah" yang artinya praktik; dan kata "tadris" yang artinya pengajaran atau pembelajaran. Sehingga Amalaiyah tadris dapat dimaknai sebagai Ujian Praktik Mengajar. Kita dapat membayangkan, seorang santri kelas akhir di pesantren, yang nota benenya setara dengan peserta didik kelas XII pada SMA/MA/SMK, telah dituntut kemampuannya dalam "mengajarkan" ilmunya selama "mondok" di hadapan para santri dengan tingkatan kelas yang bervariasi.
Secara filosofis, mengapa para santri akhir (kelas VI) dituntut untuk menguasai keterampilan teknis mengajar melalui Amaliyah Tadris? Jika kita menelisik lebih dalam dari penamaan lembaga pendidikan yang menerapkan ujian amaliyah tadris, yaitu pesantren modern yang menamai lembaga pendidikannya dengan "Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah (disingkat KMI), atau Tarbiyatul Mu'alllimin Al-Islamiyah (disingkat TMI). Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah berasal dari bahasa Arab yang artinya "pendidikan tinggi Guru Islam", dan Tarbiyatul Mu'allimin Al-Islamiyah berasal dari bahasa Arab yang artinya "pendidikan guru Agama Islam".Â
Berdasarkan pengamatan, baik KMI maupun TMI, sama-sama memiliki struktur kurikulum yang setara dengan kurikulum PGAN tempo dulu, bahkan lebih berat dengan beberapa kelebihan, antara lain: sistem pondok pesantren yang mewajibkan para santri tinggal di asrama, pondok pesantren melatih beberapa sikap/jiwa yang biasa dikenal dengan Panca Jiwa (lima jiwa). Panca Jiwa ini menjadi dasar dan semangat (spirit) mendidik para santri (Ruh Tarbiyah Thullab).Â
Kelima Panca Jiwa tersebut yaitu:Â
1). Jiwa  keikhlasan (sincerity);Â
Jiwa ini dapat dimaknai sebagai Jiwa  "sepi ing pamrih, Rame ing Gawe", yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Semua perbuatan dilakukan dengan niat ibadah semata, Lillahi ta'ala. Kyai mengabdikan diri untuk santri dengan sepenuh hati, pembantu Kyai dengan ikhlas membantu dalam melaksanakan proses pendidikan, dan santri dengan ikhlas dididik. Semangat ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara Kyai yang dihormati dan murid yang patuh, penuh kasih sayang dan hormat. Jiwa ini selalu menjadikan murid-murid yang siap berjuang di jalan Allah kapanpun dan dimanapun.Â
2) Jiwa Kesederhanaan (simplicity);Â
Kehidupan di dalam asrama penuh dengan suasana kesederhanaan. Sederhana bukan berarti pasif atau tidak berbuat apa-apa, dan bukan berarti miskin dan melarat. Dalam semangat kesederhanaan terkandung nilai-nilai seperti kekuatan, kesanggupan, keteguhan dan pengendalian diri untuk menghadapi pergumulan hidup. Di balik kesederhanaan ini muncul jiwa besar yang berani maju dan tidak pernah mundur. Padahal, di sinilah tumbuh dan berkembangnya jiwa dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat perjuangan di segala bidang kehidupan.Â
3). Jiwa Berdikari (Independent Spirit);Â
Dalam jiwa berdikari diajarkan karakter "kemandirian", atau kemampuan menolong diri sendiri (self help), merupakan senjata ampuh yang ditawarkan pesantren kepada santrinya. Kemandirian bukan hanya berarti santri dapat belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan harus mampu mandiri agar tidak pernah berada di bawah pertolongan atau belas kasihan pihak lain. Dalam kemandirian terkandung maksud sistem berdruiping mandiri (menyokong biaya bersama, dan mengambil manfaatbersama). Sementara Pondok tidak kaku, apalagi menolak orang/pihak yang ingin membantu. Semua pekerjaan di pesantren dikelola dan dikerjakan oleh kyai dan santri sendiri, tidak ada pekerja yang digaji oleh pesantren.Â