Kemudian, sang adik menggandeng tangannya dengan maksud untuk menuntunnya berjalan agar tidak terjatuh karena sesuatu yang menghalangi langkahnya di jalan. Sebelum itu, ia juga memberikan senyum yang sama seperti sang kakak kepadaku sambil melambaikan tangan.
    Aku belum meneruskan jalan. Aku masih memperhatikan mereka dari belakang, sampai akhirnya kakak beradik itu masuk ke bus yang akan mengantarkannya pulang ke rumah.
     Semenjak saat itu, laki-laki bertongkat tersebut membuatku gelisah di setiap malam karena dirinya selalu terbayang di pikiranku. Berharap aku bertemunya lagi agar bisa melihat senyum dan wajahnya yang tampan. Sampai akhirnya Tuhan mempertemukan kami kembali, masih sama seperti waktu itu, dipulang sekolah bersama adiknya.
     Aku merasakan sesuatu hal yang berbeda di pertemuan kedua itu. Sesuatu rasa yang membuat jantungku berdebar-debar bila dekat dengannya. Rasa itu semakin kuat ketika kami bertemu, bertemu, dan bertemu hingga benih-benih cinta itu tumbuh di dalam hatiku. Jadi, rasanya jatuh cinta seperti ini?
    Sekarang, setelah sekian lama menyimpannya, aku akan mengungkapkan rasa yang mengganjal di dalam hati ini padanya. Tinggal beberapa langkah lagi aku tiba di pemberhentian bus, tempat biasa kami bertemu sepulang sekolah. Hingga akhirnya senyum yang sedang terukir di bibirku berubah setelah melihat seorang lelaki yang tidak lain adalah dirinya sedang duduk bersama gadis yang tidak kukenal yang sebaya dengan kami.
     Surat yang berisi ungkapan cinta itu terlepas begitu saja dari genggamanku. Surat yang semalam kutulis hampir enam puluh menit lamanya dalam aksara Braille, aksara yang diperuntukkan seseorang yang tidak bisa melihat sepertinya. Sejak mengenal dirinya aku mulai belajar aksara tersebut agar bisa mengatakan sesuatu padanya ketika mulut ini tidak bisa mengatakan langsung karena rasa malu yang melekat pada diriku.
     Pandanganku yang sedang melihat mereka seketika kabur karena air mata sudah membendung di kelopak ini. Aku tidak melanjutkan langkah menuju sana dan memutar balik untuk segera pulang dikarenakan hatiku sakit melihat seseorang yang sudah kutaruh cinta padanya berdua dengan perempuan lain.
      Aku menumpahkan tangis yang sedari tadi kutahan di dalam kamar. Kenapa cinta rasanya menyakitkan seperti ini? Kenapa tidak seperti saat pertama kali aku merasakan jatuh cinta yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga? Kenapa cinta tidak seperti yang aku lihat pada kebanyakan orang lain yang bisa tertawa bahagia, bukan malah mengundang air mata seperti yang aku alami ini? Jadi, di dalam cinta juga ada rasa sakit?
     Aku menghentikan tangis ketika ponsel yang ada di atas meja belajarku berbunyi. Aku mengernyitkan alis setelah tahu ada satu panggilan masuk dari Diva, adik lelaki tersebut.
     "Kak Angel, kakak sakit. Kakak terus memanggil Kak Angel. Kak Angel datang ke sini, ya? Aku takut terjadi sesuatu sama kakak." Diva langsung berkata sebelum kumengatakan sesuatu yang membuat mata ini terbelalak. Aku sedikit panik. Apa? Ia sakit? Kenapa? Tadi siang bukannya terlihat baik-baik saja?
     "Kakak kamu sakit? Maksudnya bagaimana? Tadi siang aku lihat dia baik-baik aja, tuh, sama 'PACARNYA'?" Tanpa sadar aku berkata demikian karena masih kesal dengan apa yang kulihat sepulang sekolah tadi.
    "Enggak, Kak. Kak Angel salah. Perempuan itu sepupu kami. Ia menemani kakak untuk bertemu Kak Angel. Aku gak bisa menemani seperti biasa karena ada tugas. Kakak sukanya sama Kak Angel, bukan yang lain. Kakak mau mengatakannya, tapi kakak terlalu takut Kak Angel menolak karena keadaannya yang seperti itu. Kak Angel harus tahu, tadi siang kakak terus menunggu Kak Angel datang seperti biasanya sampai langit mulai mendung dan turun hujan. Sepupu kami udah mencoba mengajak kakak pulang, tapi kakak gak mau karena ia yakin Kak Angel akan datang. Sayangnya, Kak Angel gak kunjung datang. Kakak kehujanan dan menjadi sakit. Kak Angel cepat ke sini, ya. Tolong kakak. Di rumah hanya ada aku, ibu sedang pergi. Aku gak mau terjadi sesuatu pada kakak, aku sayang dia." Diva menjawab sambil menangis menjelaskan semuanya yang membuat air mata turun dengan deras di pipiku, karena merasa bersalah sudah berpikiran buruk padanya.
     Aku menutup telepon tanpa menjawab lagi dan langsung bersegera menuju rumahnya sambil terus menangis. Ternyata gadis itu adalah sepupunya, bukan seseorang yang harus kucemburui. Oh, tidak.
     Setiba di rumahnya, aku langsung masuk ke salah satu ruangan yang tidak tertutup pintunya yang merupakan kamarnya. Terlihat Diva sedang menggenggam tangan sang kakak yang tengah berbaring di kasur dengan selimut tebal sambil mulutnya memanggil namaku meski matanya terpejam. Melihat itu, air mata kembali turun dengan deras di pipi ini.
    "Iya Dio, aku di sini. Maafkan aku, aku mencintaimu." Dengan parau aku berkata di telinganya. Ia masih memejamkan mata, tidak merespon ucapanku. Jika saja aku tidak langsung berburuk sangka padanya, pasti ini tidak akan terjadi.
Aku kembali berkata dan berkata sambil menyandarkan kepala di dadanya, hingga akhirnya ia membuka mata.
    "Angel?" Ia berkata sambil meraba wajahku. Memegang hidung, bibir, dan daguku seperti biasa ketika ia mengenaliku.
    "Jangan menangis!" Katanya kemudian. Bukannya berhenti, tangisku semakin menjadi-jadi. Dio memelukku setelah tahu aku begitu.
    "Dio maaf, karena aku kamu menjadi seperti ini. Sebenarnya tadi siang aku datang, tapi aku kembali lagi ketika melihat kamu berdua dengan gadis itu. Aku cemburu, Dio. Aku gak suka kamu dengan perempuan selain aku. Dio maaf, aku mencintaimu." Kataku yang mengungkapkan perasaan ini padanya.
   "Enggak Angel, ini bukan salah kamu. Aku mengerti mengapa kamu begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena gak langsung mengungkapkan rasa ini ke kamu. Angel, aku cinta kamu." Dio berkata sambil mengelus lembut rambutku.
   "Iya Dio, aku juga cinta kamu." Aku menjawab dengan mengeratkan pelukkan tubuhku hingga dingin yang sedang ia rasakan perlahan-lahan hangat.
***