Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dio Maaf, Aku Mencintaimu

21 Maret 2024   03:21 Diperbarui: 21 Maret 2024   03:25 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by Bing.com & Canva

         

         Bibirku terus mengukir senyum saat kaki ini melangkah dengan semangat menuju tempat pemberhentian bus di sepulang sekolah hari ini untuk menemui seseorang. Seseorang yang akan kutemui itu sudah berhasil membuatku jatuh cinta padanya tanpa peduli bagaimana keadaannya. Seseorang yang juga sudah membuatku seperti orang gila karena suka tersenyum sendiri bila mengingat wajahnya.

          Seminggu lalu, masih dipulang sekolah, tidak sengaja aku menabrak seseorang yang sedang berdiri di tepi jalan dekat minimarket. Seorang laki-laki berseragam putih abu-abu sama sepertiku yang kelihatan juga baru pulang dari sekolahnya. Aku tidak terlalu memperhatikan jalan yang ada di sekeliling saat itu, karena terus menunduk sambil mendengus kesal mengingat kejadian di sekolah. Ya, ada insiden yang membuatku geram.

         Laki-laki itu jatuh tersungkur akibat tabrakan tersebut. Aku langsung meminta maaf karena sudah menabraknya. Namun, ia tidak mengindahkanku, ia terus meraba-raba jalan seperti mencari sesuatu. Aku tak tahu ia mencari apa. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling agar mengetahui apa yang ia cari. Sampai akhirnya mataku terbelalak melihat sebatang benda panjang yang memiliki 3 warna yaitu hitam, putih dan merah yang berada tidak jauh dari depannya. Ternyata dia...?

          Dengan secepat mungkin aku bersegera mengambil tongkat itu untuk diberikan padanya yang sedang kesulitan mencari. Namun, langkahku terhenti ketika melihat anak perempuan yang datangnya entah dari mana langsung mengambil tongkat tersebut dan membantunya berdiri.

         "Kakak gak apa-apa, kan?" Gadis berseragam putih biru dengan rambut terurai panjang berkata sambil memberikan tongkat tersebut.
        "Gak apa-apa, kok." Jawab laki-laki yang kutabrak itu yang ternyata merupakan kakak darinya.

          Mataku kembali terbelalak dengan mulut menganga karena melihat matanya hanya memandang lurus ke depan tanpa melihat sang adik yang ada di samping kanannya. Ternyata ia tidak bisa melihat, dan dengan menggunakan tongkat itu dapat membantunya melangkah untuk mengetahui arah yang akan ia lalui. Maaf, untuk reaksiku yang berlebihan ini.

         Seusai kakak beradik itu bercakap-cakap, aku berjalan perlahan menghampiri mereka untuk kembali meminta maaf. Anak perempuan itu menoleh ke arahku ketika sadar akan adanya diri ini.
        "Maaf, ya? Aku gak tahu kalau ada kamu di depan. Maaf banget karna udah nabrak  kamu sampai jatuh," aku berkata dengan penuh penyesalan.
       "Gak apa-apa. Saya juga minta maaf, ya? Kayaknya saya berdirinya kurang ke pinggir, deh?" Ia menjawab sambil tersenyum lebar. Senyumnya manis sekali dengan bibirnya terlihat sangat sehat karena berwarna merah muda dan lembab. Tidak. Tidak. Aku yang salah. Aku yang berjalan tidak memperhatikan sekeliling.

        Aku terus memandanginya tanpa mengedipkan mata. Selain senyumnya yang manis, wajahnya juga tampan, sampai-sampai bibirku mengukir senyum melihatnya. Selama beberapa saat memandanginya, aku pun tersadar ketika mendengar suaranya yang berkata untuk meminta izin pulang terlebih dahulu.
      "Kita duluan, ya?"
      "Iya, hati-hati. Sekali lagi maaf, ya?"

Ia tersenyum sambil menganggukkan kepala menjawabnya.

        Kemudian, sang adik menggandeng tangannya dengan maksud untuk menuntunnya berjalan agar tidak terjatuh karena sesuatu yang menghalangi langkahnya di jalan. Sebelum itu, ia juga memberikan senyum yang sama seperti sang kakak kepadaku sambil melambaikan tangan.
       Aku belum meneruskan jalan. Aku masih memperhatikan mereka dari belakang, sampai akhirnya kakak beradik itu masuk ke bus yang akan mengantarkannya pulang ke rumah.

         Semenjak saat itu, laki-laki bertongkat tersebut membuatku gelisah di setiap malam karena dirinya selalu terbayang di pikiranku. Berharap aku bertemunya lagi agar bisa melihat senyum dan wajahnya yang tampan. Sampai akhirnya Tuhan mempertemukan kami kembali, masih sama seperti waktu itu, dipulang sekolah bersama adiknya.
          Aku merasakan sesuatu hal yang berbeda di pertemuan kedua itu. Sesuatu rasa yang membuat jantungku berdebar-debar bila dekat dengannya. Rasa itu semakin kuat ketika kami bertemu, bertemu, dan bertemu hingga benih-benih cinta itu tumbuh di dalam hatiku. Jadi, rasanya jatuh cinta seperti ini?

        Sekarang, setelah sekian lama menyimpannya, aku akan mengungkapkan rasa yang mengganjal di dalam hati ini padanya. Tinggal beberapa langkah lagi aku tiba di pemberhentian bus, tempat biasa kami bertemu sepulang sekolah. Hingga akhirnya senyum yang sedang terukir di bibirku berubah setelah melihat seorang lelaki yang tidak lain adalah dirinya sedang duduk bersama gadis yang tidak kukenal yang sebaya dengan kami.

          Surat yang berisi ungkapan cinta itu terlepas begitu saja dari genggamanku. Surat yang semalam kutulis hampir enam puluh menit lamanya dalam aksara Braille, aksara yang diperuntukkan seseorang yang tidak bisa melihat sepertinya. Sejak mengenal dirinya aku mulai belajar aksara tersebut agar bisa mengatakan sesuatu padanya ketika mulut ini tidak bisa mengatakan langsung karena rasa malu yang melekat pada diriku.

          Pandanganku yang sedang melihat mereka seketika kabur karena air mata sudah membendung di kelopak ini. Aku tidak melanjutkan langkah menuju sana dan memutar balik untuk segera pulang dikarenakan hatiku sakit melihat seseorang yang sudah kutaruh cinta padanya berdua dengan perempuan lain.

           Aku menumpahkan tangis yang sedari tadi kutahan di dalam kamar. Kenapa cinta rasanya menyakitkan seperti ini? Kenapa tidak seperti saat pertama kali aku merasakan jatuh cinta yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga? Kenapa cinta tidak seperti yang aku lihat pada kebanyakan orang lain yang bisa tertawa bahagia, bukan malah mengundang air mata seperti yang aku alami ini? Jadi, di dalam cinta juga ada rasa sakit?

          Aku menghentikan tangis ketika ponsel yang ada di atas meja belajarku berbunyi. Aku mengernyitkan alis setelah tahu ada satu panggilan masuk dari Diva, adik lelaki tersebut.
          "Kak Angel, kakak sakit. Kakak terus memanggil Kak Angel. Kak Angel datang ke sini, ya? Aku takut terjadi sesuatu sama kakak." Diva langsung berkata sebelum kumengatakan sesuatu yang membuat mata ini terbelalak. Aku sedikit panik. Apa? Ia sakit? Kenapa? Tadi siang bukannya terlihat baik-baik saja?
         "Kakak kamu sakit? Maksudnya bagaimana? Tadi siang aku lihat dia baik-baik aja, tuh, sama 'PACARNYA'?" Tanpa sadar aku berkata demikian karena masih kesal dengan apa yang kulihat sepulang sekolah tadi.
        "Enggak, Kak. Kak Angel salah. Perempuan itu sepupu kami. Ia menemani kakak untuk bertemu Kak Angel. Aku gak bisa menemani seperti biasa karena ada tugas. Kakak sukanya sama Kak Angel, bukan yang lain. Kakak mau mengatakannya, tapi kakak terlalu takut Kak Angel menolak karena keadaannya yang seperti itu. Kak Angel harus tahu, tadi siang kakak terus menunggu Kak Angel datang seperti biasanya sampai langit mulai mendung dan turun hujan. Sepupu kami udah mencoba mengajak kakak pulang, tapi kakak gak mau karena ia yakin Kak Angel akan datang. Sayangnya, Kak Angel gak kunjung datang. Kakak kehujanan dan menjadi sakit. Kak Angel cepat ke sini, ya. Tolong kakak. Di rumah hanya ada aku, ibu sedang pergi. Aku gak mau terjadi sesuatu pada kakak, aku sayang dia." Diva menjawab sambil menangis menjelaskan semuanya yang membuat air mata turun dengan deras di pipiku, karena merasa bersalah sudah berpikiran buruk padanya.
         Aku menutup telepon tanpa menjawab lagi dan langsung bersegera menuju rumahnya sambil terus menangis. Ternyata gadis itu adalah sepupunya, bukan seseorang yang harus kucemburui. Oh, tidak.

         Setiba di rumahnya, aku langsung masuk ke salah satu ruangan yang tidak tertutup pintunya yang merupakan kamarnya. Terlihat Diva sedang menggenggam tangan sang kakak yang tengah berbaring di kasur dengan selimut tebal sambil mulutnya memanggil namaku meski matanya terpejam. Melihat itu, air mata kembali turun dengan deras di pipi ini.

       "Iya Dio, aku di sini. Maafkan aku, aku mencintaimu." Dengan parau aku berkata di telinganya. Ia masih memejamkan mata, tidak merespon ucapanku. Jika saja aku tidak langsung berburuk sangka padanya, pasti ini tidak akan terjadi.
Aku kembali berkata dan berkata sambil menyandarkan kepala di dadanya, hingga akhirnya ia membuka mata.

        "Angel?" Ia berkata sambil meraba wajahku. Memegang hidung, bibir, dan daguku seperti biasa ketika ia mengenaliku.
       "Jangan menangis!" Katanya kemudian. Bukannya berhenti, tangisku semakin menjadi-jadi. Dio memelukku setelah tahu aku begitu.
       "Dio maaf, karena aku kamu menjadi seperti ini. Sebenarnya tadi siang aku datang, tapi aku kembali lagi ketika melihat kamu berdua dengan gadis itu. Aku cemburu, Dio. Aku gak suka kamu dengan perempuan selain aku. Dio maaf, aku mencintaimu." Kataku yang mengungkapkan perasaan ini padanya.
      "Enggak Angel, ini bukan salah kamu. Aku mengerti mengapa kamu begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena gak langsung mengungkapkan rasa ini ke kamu. Angel, aku cinta kamu." Dio berkata sambil mengelus lembut rambutku.
     "Iya Dio, aku juga cinta kamu." Aku menjawab dengan mengeratkan pelukkan tubuhku hingga dingin yang sedang ia rasakan perlahan-lahan hangat.

***

"Angel, kamu percaya cinta itu buta?"

"Percaya! Eh, maksudnya- gak gitu,"

"Bukan cintanya, tapi yang buta aku. Hehehe,"

"Kamu, nih.."

"Hahaha,"

"Hehehe,"

***

Note:
Cerita ini pernah terbit di website:
https://cerpenmu.com/cerpen-cinta/dio-maaf-aku-mencintaimu.html
Ada perubahan isi dan penambahan kata yang bertujuan agar cerita menjadi lebih sempurna dan fresh.
Dan gambar dalam sampul cerita ini dibuat melalui Bing.com & Canva

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun