Hai, gue Tyo Dwi Mahendra, anak kedua yang dilahirkan setelah kakak gue dari seorang wanita hebat di dunia ini yang kami panggil dengan sebutan 'ibu'. Gue merasa jadi anak yang beruntung karena memiliki keluarga yang utuh dan kehidupan yang cukup. Saat gue naik kelas 3 SMP, pekerjaan ayah dipindahkan ke luar kota sehingga mengharuskan ibu ikut untuk menemaninya di sana.
     Semenjak itu, gue hanya tinggal berdua dengan Kak Tyco sampai sekarang gue kelas 2 SMA dan ia mau lulus kuliah. Ibu dan ayah mengirimi kami uang setiap bulannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing melalui kartu ATM yang sudah disiapkan untuk gue dan Kak Tyco. Uang bulanan yang kami terima selalu cukup dan kami pun tidak pernah merasa kurang, karena kami bisa mengatur uang yang akan dikeluarkan dan hanya dibelanjakan untuk yang sesuai dengan kebutuhan kami, bukan keinginan.
    Setiap bulan gue dan Kak Tyco selalu belanja ke supermarket membeli bahan makanan untuk sehari-hari. Yang paling utama kami beli adalah mie instan, karena dimasaknya sangat mudah. Tapi, jangan khawatir, kami juga membeli beras, kok, dan penunjang 4 sehat 5 sempurna lainnya. Lambung ini bisa keriting kalau makan mie setiap hari. Hehehe. Pokoknya, kami tidak pernah kekurangan meskipun tanpa ada orang tua di rumah, karena mereka sudah menjamin akan kehidupan kami.
     Walaupun jauh, kami sering berkomunikasi dengan ayah dan ibu melalui video call. Yang lebih sering menghubungi kami duluan biasanya ibu, sih, ayah hanya ikutan aja. Menanyakan kabar, sudah makan dan makan apa aja, sekolahnya bagaimana dan lain sebagainya yang pasti setiap orangtua tanyakan saat jauh dari buah hatinya.
     Ibu dan ayah belum mengetahui keadaan gue yang sekarang ini, gue dan Kak Tyco sepakat untuk tidak memberitahu masalah ini, karena kami tidak ingin membuat mereka sedih dan mengganggu ketenangan bekerjanya di sana. Gue yakin ibu pasti sangat sedih jika mengetahui anaknya ini kehilangan pengelihatannya. Lagipula, selama ini gue baik-baik aja, kok, karena ada kakak yang selalu siap membantu.
     By the way, kita flash back sebentar tidak apa-apa, kan? Gue pengin sedikit cerita tentang masa kecil dulu bersama kakak gue. Kalau diingat-ingat dan dipikir-pikir, gue jadi malu banget sama Kak Tyco. Bahkan gue pernah tidak berani menampakkan diri di depan dia, karena sangat malunya dan merasa bersalah juga, sih.
     Dulu gue pernah bertanya pada Kak Tyco kenapa ia dipanggil dengan sebutan 'kakak'? Padahal, 'kakak' itu dipakai untuk panggilan kakak perempuan, kan? Dan juga identik dengan perempuan, walau tidak menutup kemungkinan laki-laki pun bisa dipanggil 'kakak'. Gue merasa aneh aja memanggil saudara laki-laki gue dengan sebutan itu, karena teman-teman gue di sekolah tidak ada yang memanggil kakak laki-lakinya dengan sebutan 'kakak'.
     "Kak, kenapa lo dipanggil 'kakak', sih?" tanya gue kala itu saat kami sedang bersantai, ia bermain game dan gue menonton TV. Kami bersebelahan.
     "Karena gue kakak lo, lah," jawab ia yang masih sibuk bermain gamenya.
     "Bukan... kenapa harus dipanggilnya 'kakak'? 'kakak' bukannya panggilan buat kakak perempuan, ya?"
     "Tanya ibu lo sana, kenapa nyuruh lo buat panggil gue 'kakak'?"
     "Ibu kita, Kak, bukan cuma ibu gue."
     "Ya terus, lo mau panggil gue apa? 'Tuan Muda'?"
     "Ya... kan, ada panggilan lain. Teman-teman cowok gue gak ada yang panggil kakak cowoknya pake sebutan 'kakak', tuh. Kebanyakan panggil 'Abang', ada juga yang panggil 'Mas' sama 'Aa'."
     "Terus lo mau panggil gue apa dari ketiga panggilan itu?"
     "Abang?"
     "Emang gue tukang gorengan?"
     "Mas?"
     "Emang gue tukang bakso?"
     "Aa?"
     "Emang gue juga tukang mie ayam yang ada di depan?"
     "Iya juga, sih. Rasanya aneh banget gue panggil lo pake sebutan-sebutan itu. Apa karena gue enggak terbiasa kali, ya?"
      "Bukan enggak terbiasa, emang lo gak pernah panggil gue dengan panggilan selain 'kakak'! Udah, ah! Pertanyaan gak jelas ditanyaiin ke gue. Ganggu gue aja, lo!"
     "Maafkan hamba, Tuan Muda!"
     "Nah, betul. 'Tuan Muda'. Kayaknya gue lebih keren dipanggil itu dibanding 'kakak'. Hahaha,"
     "Idih! Emang lo siapa dipanggil pake sebutan itu?"
     "Hahaha,"
    "Hahaha,"
      Dulu juga gue selalu merasa iri dengan Kak Tyco. Gue merasa ibu lebih sayang dan perhatian dengan dirinya. Pokoknya, ibu pilih kasih! Ayah dan ibu membuat peraturan untuk anak-anaknya, yaitu: kami dilarang memiliki ataupun memainkan handphone sebelum masuk SMP dan dilarang mengendarai sepeda motor juga dilarang berpacaran sebelum lulus SMA. Dalam ingatan gue saat itu, Kak Tyco sudah memiliki handphone, bahkan sebelum dia masuk SMP.
     Tidak tahu ingatan gue yang salah atau keliru, tapi gue ingat betul pernah menonton youtube dan bermain game juga selfie bersama di handphone itu. Gue tidak tahu kala itu Kak Tyco kelas berapa dan gue berumur berapa. Bisa tolong dihitung usia kami berapa, jika sekarang Kak Tyco sudah semester akhir dan gue baru kelas 2 SMA? Soalnya gue sedang tidak bisa berhitung sekarang, hehehe. Maaf, ya.
     "Bu, boleh gak aku mau handphonenya sekarang? Teman-teman aku di sekolah udah pada punya handphone," ucap gue yang kala itu kami sedang makan malam tanpa ayah, karena belum pulang bekerja. Lagipula gue cuma berani minta ke ibu, dibanding ke ayah. Hehehe.
      "Kamu masih kelas 6, sayang. Kan baru diberikan handphone kalau udah masuk SMP. Sedikit lagi. Sabar dulu, ya?" ibu menjawab dengan sangat lembut. Walaupun begitu, gue naik pitam mendengarnya.
     "Kenapa kakak selalu ibu turutin? Aku, kan, baru kali ini minta handphone! Kakak sering gonta-ganti kacamata karena rusak dan harganya mahal ibu gak marahin! Padahal, kalau dihitung-hitung udah bisa beli handphone, Bu! Ibu pilih kasih!" gue meluapkan semua kemarahan yang sedang dirasakan. Gue marah sama ibu, marah sama Kak Tyco. Gue juga marah pada diri sendiri. Kenapa saat itu mengatakan hal-hal bodoh?
      Ya. kakak gue memang pengguna kacamata, gue lupa beritahu kalian. Dalam ingatan gue, sedari kecil ia sudah memakai kacamata. Tidak peduli karena apa, pokoknya matanya sudah dihiasi oleh benda itu. Yang jelas, gue benci ketika kacamatanya rusak, ibu pasti langsung mengajaknya ke optik untuk mengganti kacamata yang baru. Benar, kan, ibu pilih kasih?
     Gue pernah diajak ke optik sewaktu Kak Tyco mengganti kacamatanya yang rusak, sekalian mengecek mata gue. Kata penjaga optiknya, kondisi mata gue bagus, tidak seperti Kak Tyco yang setiap kali periksa minus matanya selalu bertambah. Kami berlangganan di salah satu optik yang berwarna merah tokonya, kalian pasti tahu. Setiap kali ganti, harga kacamatanya bisa sampai satu juta, bahkan bisa lebih tergantung bagusnya frame dan lensa.
    Seperti yang gue bilang tadi, jika mengganti berkali-kali sudah bisa untuk membeli handphone, kan? Tapi, jika dipikir lagi, lebih baik mengganti kacamata Kak Tyco dibanding membeli handphone buat gue. Ini pemikiran gue yang sekarang, ya, bukan yang dulu. Gue yang dulu memang irian sama kakak sendiri. Maaf, Kak.
    "Jangakan handphone, apapun yang kamu mau ibu dan ayah pasti berikan. Kenapa kamu baru diberikan handphone saat masuk SMP? Karena kita gak mau mata kamu juga sakit kayak mata kakak. Dulu kakak terlalu sering main handphone, bahkan bisa seharian tanpa istirahat, karena kita jarang memperhatikan kakak. Ayah sibuk bekerja, ditambah ibu juga sibuk buat kue pesanan orang-orang.
Penghasilan ayah gak mencukupi untuk kebutuhan keluarga, jadi ibu memutuskan untuk berjualan kue. Biar kakak gak mengganggu ibu saat buat kue, dan gak ada anak-anak yang seusia kakak di sini, kakak akhirnya diberikan handphone. Saat itu kita memang salah, makanya kita gak mau mengulangi kesalahan yang sama di kamu. Kamu dan kakak adalah hal paling berharga buat kita. Gak ada apapun yang bisa dibandingkan dengan kalian.
Kamu jangan marah sama kakak, ya. Kakak udah sayang banget, lho, sama kamu bahkan sebelum kamu lahir. Sewaktu kamu masih di dalam kandungan, kakak selalu membuatkan ibu susu dan memotongkan ibu buah biar kamu tumbuh sehat. Kakak selalu mengelus perut ibu sambil mengajak kamu mengobrol, katanya 'kapan kamu lahir?'. Kakak udah gak sabar punya adik.Â
Kakak udah gak sabar mau ketemu dan main bareng kamu. Kakak sayang banget sama kamu, Tyo. Ibu sampai iri. Kita gak membeda-bedakan kamu dan kakak, karena kalian adalah buah cinta ibu dan ayah."
     Air mata gue tumpah mendengarkan ungkapan ibu tersebut. Melihat gue yang menangis, Kak Tyco menggenggam erat tangan kanan gue yang saat itu ia duduk tepat di samping gue. Gue menghempaskan tangannya dengan kasar, lalu memutuskan pergi dari meja makan dan masuk ke kamar, padahal gue baru makan 2 suap dan belum minum. Gue malu sama diri sendiri, malu sama ibu dan Kak Tyco, karena sudah bersikap seperti itu.Â
Gue menutup wajah di bantal untuk melanjutkan menumpahkan air mata di sana, agar ibu dan Kak Tyco tidak bisa mendengar tangisan gue. Jujur, saat itu gue pengin kabur aja dari rumah, biar tidak bertemu Kak Tyco dan ibu. Tapi apa daya, gue masih menjadi pria kecil yang baru kelas 6 SD, mana bisa kabur dari rumah? Sekalipun bisa, gue akan melangkah ke mana? Bisa-bisa gue menjadi gembel karena terlantar dan tidak ada tempat pulang.
       Ceritanya sampai di sini dulu, ya? Gue sepertinya tidak sanggup melanjutkannya. Hati dan pikiran gue kacau. Boleh tidak gue kabur ke rumah kalian? Menginap 1 malam aja. Tidur di lantai juga tidak apa-apa, asalkan gue tidak bertemu ibu dan Kak Tyco dulu. Gue memang pecundang kecil, yang hanya bisa iri sama saudara sendiri dan lari dari masalah tanpa mau bertanggung jawab untuk meminta maaf atas apa yang sudah diperbuat.
Ibu dan kakak, maafkan aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H