Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Buta: Aku yang Tidak Tahu Diri

6 Maret 2024   22:29 Diperbarui: 6 Maret 2024   22:42 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          "Kenapa kakak selalu ibu turutin? Aku, kan, baru kali ini minta handphone! Kakak sering gonta-ganti kacamata karena rusak dan harganya mahal ibu gak marahin! Padahal, kalau dihitung-hitung udah bisa beli handphone, Bu! Ibu pilih kasih!" gue meluapkan semua kemarahan yang sedang dirasakan. Gue marah sama ibu, marah sama Kak Tyco. Gue juga marah pada diri sendiri. Kenapa saat itu mengatakan hal-hal bodoh?

           Ya. kakak gue memang pengguna kacamata, gue lupa beritahu kalian. Dalam ingatan gue, sedari kecil ia sudah memakai kacamata. Tidak peduli karena apa, pokoknya matanya sudah dihiasi oleh benda itu. Yang jelas, gue benci ketika kacamatanya rusak, ibu pasti langsung mengajaknya ke optik untuk mengganti kacamata yang baru. Benar, kan, ibu pilih kasih?

         Gue pernah diajak ke optik sewaktu Kak Tyco mengganti kacamatanya yang rusak, sekalian mengecek mata gue. Kata penjaga optiknya, kondisi mata gue bagus, tidak seperti Kak Tyco yang setiap kali periksa minus matanya selalu bertambah. Kami berlangganan di salah satu optik yang berwarna merah tokonya, kalian pasti tahu. Setiap kali ganti, harga kacamatanya bisa sampai satu juta, bahkan bisa lebih tergantung bagusnya frame dan lensa.

        Seperti yang gue bilang tadi, jika mengganti berkali-kali sudah bisa untuk membeli handphone, kan? Tapi, jika dipikir lagi, lebih baik mengganti kacamata Kak Tyco dibanding membeli handphone buat gue. Ini pemikiran gue yang sekarang, ya, bukan yang dulu. Gue yang dulu memang irian sama kakak sendiri. Maaf, Kak.

       "Jangakan handphone, apapun yang kamu mau ibu dan ayah pasti berikan. Kenapa kamu baru diberikan handphone saat masuk SMP? Karena kita gak mau mata kamu juga sakit kayak mata kakak. Dulu kakak terlalu sering main handphone, bahkan bisa seharian tanpa istirahat, karena kita jarang memperhatikan kakak. Ayah sibuk bekerja, ditambah ibu juga sibuk buat kue pesanan orang-orang.

Penghasilan ayah gak mencukupi untuk kebutuhan keluarga, jadi ibu memutuskan untuk berjualan kue. Biar kakak gak mengganggu ibu saat buat kue, dan gak ada anak-anak yang seusia kakak di sini, kakak akhirnya diberikan handphone. Saat itu kita memang salah, makanya kita gak mau mengulangi kesalahan yang sama di kamu. Kamu dan kakak adalah hal paling berharga buat kita. Gak ada apapun yang bisa dibandingkan dengan kalian.

Kamu jangan marah sama kakak, ya. Kakak udah sayang banget, lho, sama kamu bahkan sebelum kamu lahir. Sewaktu kamu masih di dalam kandungan, kakak selalu membuatkan ibu susu dan memotongkan ibu buah biar kamu tumbuh sehat. Kakak selalu mengelus perut ibu sambil mengajak kamu mengobrol, katanya 'kapan kamu lahir?'. Kakak udah gak sabar punya adik. 

Kakak udah gak sabar mau ketemu dan main bareng kamu. Kakak sayang banget sama kamu, Tyo. Ibu sampai iri. Kita gak membeda-bedakan kamu dan kakak, karena kalian adalah buah cinta ibu dan ayah."

          Air mata gue tumpah mendengarkan ungkapan ibu tersebut. Melihat gue yang menangis, Kak Tyco menggenggam erat tangan kanan gue yang saat itu ia duduk tepat di samping gue. Gue menghempaskan tangannya dengan kasar, lalu memutuskan pergi dari meja makan dan masuk ke kamar, padahal gue baru makan 2 suap dan belum minum. Gue malu sama diri sendiri, malu sama ibu dan Kak Tyco, karena sudah bersikap seperti itu. 

Gue menutup wajah di bantal untuk melanjutkan menumpahkan air mata di sana, agar ibu dan Kak Tyco tidak bisa mendengar tangisan gue. Jujur, saat itu gue pengin kabur aja dari rumah, biar tidak bertemu Kak Tyco dan ibu. Tapi apa daya, gue masih menjadi pria kecil yang baru kelas 6 SD, mana bisa kabur dari rumah? Sekalipun bisa, gue akan melangkah ke mana? Bisa-bisa gue menjadi gembel karena terlantar dan tidak ada tempat pulang.

              Ceritanya sampai di sini dulu, ya? Gue sepertinya tidak sanggup melanjutkannya. Hati dan pikiran gue kacau. Boleh tidak gue kabur ke rumah kalian? Menginap 1 malam aja. Tidur di lantai juga tidak apa-apa, asalkan gue tidak bertemu ibu dan Kak Tyco dulu. Gue memang pecundang kecil, yang hanya bisa iri sama saudara sendiri dan lari dari masalah tanpa mau bertanggung jawab untuk meminta maaf atas apa yang sudah diperbuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun