Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Buta: Apakah Rasa Peduli Itu Masih Ada?

29 Februari 2024   23:55 Diperbarui: 1 Maret 2024   00:13 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by Bing.com & Canva

          "Permisi, Mas. Masih ada yang bisa dibantu?"

Gue terkesiap mendengar suara itu yang tiba-tiba masuk ke telinga ini. Sekarang, gue hanya bisa mendengar suara orang-orang di sekitar tanpa bisa melihat wajahnya. Iya, gue buta. Belum lama, baru sebulan yang lalu. Penyebabnya apa, gue tidak bisa cerita karena itu membuat gue jadi 'cengeng' lagi. Yang pasti ada penyebabnya. Tidak mungkin gue buta secara tiba-tiba, kan? Hehehe.

"E-eng-enggak ada, Mbak. Saya cuma lagi nunggu kakak saya aja, dia lagi ke toilet." Jawab gue. Gue sedang berada di caffe, dan perempuan yang tadi pasti pelayan di sini. Gue yakin, dia mau mengusir gue dari sini karena sudah terlalu lama menongkrong di tempat kerjanya.

"Kakaknya Mas yang bareng Mas tadi, ya? Saya lihat tadi dia udah keluar, Mas, 10 menit yang lalu,"

"Udah keluar, Mbak? Beneran?"

"Iya, Mas."

Kakak si*lan! Ninggalin adiknya yang buta ini sendirian di sini.

"Kalau gitu saya pulang aja, Mbak."

"Tapi, maaf, Mas. Makanan sama minumannya belum dibayar,"

Deg. Jantung gue seketika berdetak kencang mendengar ucapan pelayan itu. Walau dia bicaranya ramah, namun bisa membuat gue terkejut setengah mati. Astaga. Kakak k*rang *jar!

"Belum dibayar, Mbak?"

"Iya, Mas."

Gue langsung merogoh saku celana dan mengambil dompet. Tapi, tunggu. Masih ada tidak ya isinya dompet gue? Kalau tidak ada bisa mati gue. Awas lo, Kak. Sudah buat gue kesulitan kayak gini.

"Ini. Mbak ambil aja uangnya di dalam," gue menyodorkan dompetnya kepada pelayan itu.

"Gak apa-apa, Mas, saya ambil sendiri?" tanyanya.

"Gak apa-apa, kok. Lagi juga saya gak tahu ada berapa uangnya,"

"Saya ambil ya, Mas. Uang yang di dompetnya Mas ada Rp200.000, makanan dan minumannya semua Rp195.000. Jadi masih ada kembalian Rp5.000 ya, Mas. Mas tunggu sebentar di sini. Ini dompetnya disimpan lagi,"

Gue hanya mengangguk menjawab ucapan panjang kali lebar pelayan itu, lalu memasukkan kembali dompet ke saku celana. Akhirnya, gue bisa bernapas lega. Untung aja dompet gue ada isinya. Coba kalau tidak ada? Bisa-bisa disuruh menyuci piring dulu gue sebelum pulang seperti di sinetron-sinetron. Hahaha.

Tidak lama, pelayan itu datang dan memberikan gue kembalian uang Rp5.000 seperti yang sudah dia bilang tadi.

"Mas mau saya antar keluar?" ia menawarkan bantuan ke gue setelahnya.

"Boleh, Mbak." jawab gue. Ia lalu menuntun gue perlahan berjalan menuju luar.

"Makasih banyak, Mbak, udah bantuin saya."

"Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan, ya, Mas."

Gue senyum-senyum sendiri karena sudah mendapat pelayanan yang sangat baik dari pelayan caffe itu. Coba aja gua bisa melihat, pasti pelayan tadi sangat cantik. Bicaranya lembut, bikin hati gue tenang.

Cukup. Sekarang gue harus pulang ke rumah dan memberi pelajaran pada Kak Tyco, kakak d*rj*na gue. Tapi, gue harus melangkah ke mana? Ke kanan, kiri atau depan ya? Argh, s*al. Gue pun memutuskan melangkah ke depan, sesuai dengan posisi gue sekarang. Walau gue tidak tahu, itu benar ke depan atau tidak.

"Maaf, Mas, di sini zebra cross ya? Maksudnya tempat penyebrangan jalan?" gue berkata pada orang yang ada di samping gue, setelah tahu ada dia di situ sedang bercakap-cakap dengan yang lain dan mendengar banyak kendaraan yang melintas.

"Iya, Mas. Tapi masih belum bisa lewat," jawabnya.

Gue mengangguk.

Gak lama, si Mas itu berkata, "ayo, Mas,"

"Udah bisa lewat, Mas?" tanya gue.

Tidak ada jawaban.

"Mas, udah bisa lewat?"

Tetap tidak ada jawaban.

"Mas?"

'Krik... Krik... Krik...'

S*al! Bukan mengajak gue menyebrang bersamanya, malah ditinggal. Terus gue harus bagaimana ini? Argh.

Gue akhirnya memukul-mukulkan tongkat yang sedang gue pegang ke jalan, untuk memastikan tidak ada sesuatu yang menghalangi jalan gue. Setelah yakin di depan aman, gue lalu melangkahkan kaki secara perlahan, bahkan sangat pelan. Maklum, ini kali pertamanya, jadi gue masih takut buat turun ke jalan sendirian. Hehehe.

          Bugh!

         "Awww!"

Baru dua langkah, gue sudah jatuh tersungkur di jalan, setelah melewati jalanan yang ternyata itu trotoar. Kalian tahu, kan, di setiap zebra cross pasti ada trotoarnya? (tidak semua zebra cross, sih, tapi rata-rata ada). Iya, trotoar itu adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi daripada jalan tersebut dan digunakan untuk pejalan kaki. Argh, pake acara jatuh segala lagi. Gak becus banget gue jalan doang. Ternyata, jadi orang buta begini, ya?

           'Tin... Tin... Tin...'

Gue membelalakkan mata setelah mendengar klaskon para pengendara yang menandakan lampu lalu lintas berwarna hijau. Gue panik. Itu artinya waktu buat mereka melanjutkan perjalanannya yang sempat terhenti karena lampu merah. Perasaan baru tadi lampunya berwarna merah, kok sudah hijau aja?

"Woi, minggir! Gue mau lewat!"

"B*ta lo ya?"

Setelah klakson dari kendaraannya, kini mulut-mulut pengendara itu mulai berkoar buat mencemooh gue. Apa-apaan, sih? Dia masih bertanya gue buta? Sebenarnya yang buta itu gue atau dia? Jelas-jelas gue memang buta!

Gue harus segera pergi dari zebra cross ini sekarang! Tapi, tunggu, gue seperti kehilangan sesuatu? Tongkat gue? Astaga. Gue lupa kalau sekarang harus pake tongkat jalannya. Tongkat gue mana?

Gue meraba-raba jalan mencari tongkat penunjuk jalan itu. Ke sana ke sini tidak ketemu. Jalan aspalnya panas banget, tangan gue bisa melepuh kalau lama-lama begini. Argh.

"Woi, cepetan minggir! Gue mau lewat!"

"Dasar b*ta!"

"Kalau gak bisa lihat jangan sok-sok-an jalan sendirian!"

"Mau m*ti lo?"

Kalimat-kalimat itu kembali dilontarkan oleh para pengendara. Mendengar itu, seketika gue ingin berteriak, "BAC*T LO SEMUA! BUKANNYA BANTUIN GUE, MALAH MAKI-MAKI GUE KAYAK GINI!"

Tidak, tidak. Gue bukan manusia yang sepert itu. Tuhan memberikan gue mulut untuk berbicara yang baik, bukan bicara kasar seperti yang gua pikirkan.

Cukup. Gue menyerah buat mencari tongkat itu. Gue beneran tidak tahu di mana tongkat gue berada. Tangan gue sudah panas banget meraba-raba jalan sedari tadi, ditambah sama olokkan orang-orang sekitar yang membuat gue pengin meledak rasanya. Dasar manusia!

"Mari saya bantu, Mas."

Gue mendengar suara seseorang yang tidak lama kemudian memegang tangan ini. Perempuan. Iya, dia perempuan.

"Ini tongkatnya Mas, tadi ada di sana. Mas mau nyebrang? Biar saya bantu, ya?" orang itu berkata sambil membantu gue berdiri dan memberikan tongkat yang sedang gue cari-cari itu, lalu membawa gue ke tempat yang lebih aman. Ternyata masih ada orang baik di dunia ini, gue mengira sudah tidak ada setelah mengetahui sikap orang-orang tadi ke gue.

"Iya, Mbak. Makasih banyak, ya, udah mau bantuin saya." jawab gue.

"Telapak tangan Mas merah, sakit gak?"

"Eng-nggak terlalu kok, Mbak. Cuma panas aja,"

"Mas lain kali hati-hati, ya, jalannya. Tadi jalan yang Mas lewatin itu trotoar, terus juga di sini jalannya agak sedikit berlubang. Takutnya nanti Mas jatuh lagi,"

"Iya, Mbak. Sekali lagi makasih banyak, ya."

"Yaudah, yuk, saya antar pulang. Rumahnya Mas di mana?"

"Rumah saya di Permata Bintaro, Mbak."

"Oh, di sana. Gak terlalu jauh dari sini,"

"Iya, tadi sebenarnya saya sama kakak saya. Cuma tadi dia pulang duluan, ada urusan kayaknya."

Si Mbak itu hanya menjawab 'oh' dengan panjang sambil menganggukkan kepalanya. Sepertinya menganggukkan kepala, soalnya gue tidak tahu. Tapi, biasanya orang jawab 'oh' gitu sambil menganggukkan kepala, kan? Hehehe. Sok tahu banget gue!

 Ia lalu mengantarkan gue pulang sampai depan rumah dengan selamat tanpa ada luka sedikit pun. Ia benar-benar melindungi gue selama perjalanan, memberitahu jika ada batu atau jalannya berlubang yang bisa buat gue jatuh dan celaka. Selamat gue. Untuk Mbak tadi, terima kasih banyak sudah membantu gue. Sebenarnya gue hapal jalannya, karena itu merupakan jalanan utama yang setiap hari dilalui untuk berangkat dan pulang kerja maupun sekolah. Tapi, rasanya beda banget sekarang, seperti baru pertama kali melewatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun