Beberapa jam berlalu, operasi selesai dan berjalan dengan lancar. Namun, perban yang ada di mataku belum bisa dibuka, harus menunggu beberapa saat lagi. Aku sudah tidak sabar melihat ayah, ibu dan kakak. Sudah lama aku tidak melihat mereka.
Pada akhirnya perban yang ada di mataku pun dibuka. Dokter menyuruhku membuka dengan perlahan mataku setelah perbannya dibuka. Pandangan mataku masih belum jelas, tapi aku bisa melihat orang-orang yang ada di depanku. Tidak seperti saatku benar-benar tidak bisa melihat, yang pandanganku semuanya gelap.
Aku menutup mata dan kembali membukanya, namun masih sama, tapi lebih baik dari yang sebelumnya. Sampai yang ketiga kalinya aku mencoba menutup mata dan membukanya, aku sudah bisa melihat dengan jelas orang-orang yang ada di depanku.
"Ayah! Ibu!" aku berkata dengan bahagia, lalu disambut dengan senyum bahagia mereka juga.
"Vita, akhirnya kamu bisa melihat ibu sama ayah lagi," ucap ibu yang juga sama bahagianya sepertiku. Tapi ada seseorang yang belum kulihat. Kakak? Di mana dia? Kenapa dia tidak ada di sini, sedangkan ayah ada di sini? Aku pun langsung menanyakannya pada ibu.
"Bu, kakak mana?"
Ibu tidak menjawabku, ia hanya memandangku sedih. Aku tidak mengerti mengapa ibu begitu. Aku kembali bertanya padanya, namun ibu tetap tidak menjawabku, ia malah menangis. Ada apa ini? Aku samakin tidak mengerti. Karena ibu tidak menjawabku, aku pun bertanya pada ayah.
"Yah, kakak mana? Kenapa ayah gak mengajak kakak? Katanya ayah sedang menemani kakak di rumah?"
Namun, lagi dan lagi pertanyaanku tidak dijawab. Sebenarnya apa yang terjadi? Ada apa dengan kakak? Apa sakitnya semakin parah?
"Kakak ada, kok. Kamu mau lihat kakak?" Akhirnya ayah menjawab pertanyaanku.
"Iya, Yah, aku mau lihat kakak!"
Ayah dan ibu langsung mengajakku untuk menemui kakak. Langkah kami terhenti ketika sampai di ruang yang menakutkan, ruangan untuk orang yang sudah meninggal, atau yang disebut dengan ruang jenazah. Hatiku bertanya-tanya. Kenapa ayah dan ibu mengajakku ke sini? Lalu, di mana kakak?
"Yah, kenapa kita ke sini?" tanyaku yang kebingungan diajak mereka ke sini.
"Katanya kamu mau lihat kakak, kakak ada di dalam." jawab ayah.
Mataku terbelalak dan seketika jantungku berdebar kencang setelah mendengar jawaban ayah yang mengatakan hal demikian. Apa maksud ayah? Sebenarnya kakak di mana? Bukannya kakak sedang sakit? Kalau dia dirawat pun bukan di ruangan itu!
"Ayah becanda, kan? Maksud ayah apa?" Aku kembali bertanya dengan perasaan panik, namun ayah tidak menjawab. Di sisi lain tangis ibu semakin menjadi-jadi. Apa maksud semua ini? Jangan-jangan kakak? Tidak! Tidak mungkin!
Aku langsung membuka pintu ruangan itu dan masuk karena penasaran dengan orang yang ada di dalamnya. Jantungku kembali berdebar setelah mendapati seseorang sedang terbaring dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar, perlahan-lahan aku membuka kain putih yang menutupi wajahnya untuk memastikan orang itu bukan kakak.
Ketika baru terlihat rambutnya, aku kembali menutupnya karena takut pikiranku benar terjadi bahwa orang ini adalah kakak. Tapi aku membuang jauh-jauh pikiran itu dan kembali membukanya. Berharap orang ini bukan kakak, melainkan orang lain. Namun, ketika sudah terbuka semua, ternyata benar orang itu adalah kakak. Hancur hatiku, tangisku pecah ketika melihatnya sedang tertidur dengan tenang.
"Kakak bangun! Ini aku, Kak, Vita adik kakak. Buka mata kakak! Lihat, aku uudah bisa melihat lagi! Bangun, Kak, bangun!" aku berkata sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya yang kaku dan dingin. Berharap ia bangun dan membuka matanya, berharap semua ini hanya tindak leluconnya saja.
Namun, sudah berkali-kali aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, ia tetap tidak bergerak dan tetap tidak bangun untuk membuka matanya. Tubuhku lemas, kakiku tidak mampu menahan tubuhku. Aku terjatuh dan menangis sejadi-jadinya. Melihatku yang menangis seperti itu, ibu dan ayah menghampiriku, menenangkanku di dalam pelukannya.
"Sabar sayang, sabar." ucap ibu yang menenangkanku sambil menangis sepertiku. ibu pasti lebih terpukul dariku.
Anak laki-laki yang ia banggakan, yang sudah ia kandung selama sembilan bulan, dan sudah merawatnya sampai besar pergi meninggalkannya. Tapi ibu punya kesempatan untuk berbicara dengan kakak sebelum ia pergi, sedangkan aku, aku sama sekali tidak punya kesempatan itu.
"Kakak, Bu, kakak." ucapku dengan parau. Aku tidak bisa tenang meski ibu sudah memeluk dan menenangkanku. Entah apa yang merasukiku, aku melepas pelukkan ibu dan kembali melihat kakak.
"Bu, kasihan kakak kedinginan. Ayo kita ajak kakak pulang!" tanpa sadar aku mengatakan itu. aku benar-benar sudah seperti kehilangan akal. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa kakak telah tiada.
"Ayah, bantu aku angkat kakak ke kursi roda. Kasihan kakak tidur sendirian di sini, biar kakak tidurnya sama aku aja di rumah." Bicaraku semakin melantur. Ayah dan ibu hanya memperhatikanku yang bertingkah seperti itu.
"Ayah kok gak mau bantu aku? Ayah udah gak sayang sama kakak? Yaudah, kalau ayah gak mau bantu aku, biar aku sendiri yang bawa kakak pulang. Ayah jahat!" aku berusaha memindahkan tubuh kakak yang sudah kaku dan dingin itu ke kursi roda. Namun, tubuhku yang kecil ini tak mampu mengangkat tubuh kakak yang besarnya 2 kali dari tubuhku.
"Kakak!" tangisku semakin menjadi-jadi karena sadar bahwa ia sudah tidak bernyawa, tidak hidup di dunia dan tidak lagi menjadi kakakku. Aku memeluk tubuhnya dan menunpahkan tangis di dadanya. Aku menangis tersedu-sedu hingga kesulitan bernapas dan akhirnya pingsan.
Berlanjut...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H