"Kakak, Bu, kakak." ucapku dengan parau. Aku tidak bisa tenang meski ibu sudah memeluk dan menenangkanku. Entah apa yang merasukiku, aku melepas pelukkan ibu dan kembali melihat kakak.
"Bu, kasihan kakak kedinginan. Ayo kita ajak kakak pulang!" tanpa sadar aku mengatakan itu. aku benar-benar sudah seperti kehilangan akal. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa kakak telah tiada.
"Ayah, bantu aku angkat kakak ke kursi roda. Kasihan kakak tidur sendirian di sini, biar kakak tidurnya sama aku aja di rumah." Bicaraku semakin melantur. Ayah dan ibu hanya memperhatikanku yang bertingkah seperti itu.
"Ayah kok gak mau bantu aku? Ayah udah gak sayang sama kakak? Yaudah, kalau ayah gak mau bantu aku, biar aku sendiri yang bawa kakak pulang. Ayah jahat!" aku berusaha memindahkan tubuh kakak yang sudah kaku dan dingin itu ke kursi roda. Namun, tubuhku yang kecil ini tak mampu mengangkat tubuh kakak yang besarnya 2 kali dari tubuhku.
"Kakak!" tangisku semakin menjadi-jadi karena sadar bahwa ia sudah tidak bernyawa, tidak hidup di dunia dan tidak lagi menjadi kakakku. Aku memeluk tubuhnya dan menunpahkan tangis di dadanya. Aku menangis tersedu-sedu hingga kesulitan bernapas dan akhirnya pingsan.
Berlanjut...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H