Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

I Love You My Brother (Part 4)

27 November 2022   00:00 Diperbarui: 28 Februari 2024   10:00 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Sampai pada akhirnya hari ujian nasional pun tiba. Di saat-saat seperti itu yang membuat hubungan kami semakin menjauh. Aku menjadi sendiri dan kesepian, juga kini melakukan sesuatu dengan sendiri, karena kakak tidak ada lagi untuk membantuku. Sebenarnya masih ada ibu yang siap membantuku, tapi entah kenapa aku tidak mau dibantu oleh ibu, hanya mau dibantu olehnya.

           Selagi kakak menghadapi ujian nasional, aku hanya bisa berdoa untuknya setiap malam agar ia bisa dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku yakin ia bisa menjawab dengan baik, meski kondisinya terbatas, tapi pikirannya tidak. Contohnya ia selalu membantuku dalam mengerjakan PR di saat aku kesulitan mengerjakannya, saat kami melaksanakan ujian semester pun ia membantuku. Bukan membantu memberi jawaban ya. Aku tidak menyangka akan seruang, bahkan duduk semeja dengannya.

          Setiap kali guru yang datang mengawasi ruang kami, pasti perhatiannya tertuju pada kami, melihat wajah kami yang hampir mirip dan nama belakang kami yang sama. Ia juga selalu masuk tiga besar di kelas, terkadang menjadi juara di kelasnya, mengalahkan teman-temannya yang suka mengganggunya. Sebab itulah yang membuatku yakin ia akan bisa mengerjakan ujiannya.

          Aku memilih tidak ke luar kamar selama kakak tidak ada di rumah, sampai-sampai aku tidak minum dan makan. Sebenarnya ibu menawarkan minum dan makan padaku, tapi aku selalu bilang untuk menunggu kakak pulang dari sekolah. Pernah aku mencoba mengambil minum sendiri, tapi belum sampai dapur aku sudah terjatuh karena menabrak sekeliling.

          Mulai saat itu aku tidak lagi melakukan apa-apa sendiri, karena takut akan terjatuh lagi. Tapi jika aku terus menerus mengasumsi akan terjatuh, sampai kapanpun aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan sendiri. Kapan aku mandirinya kalau masih mengharapkan dibantu orang lain?

                                                                                                                                   ***

         Hingga ujian kakak yang memasuki hari kedua, aku tetap menahan rasa haus di tenggorokan. Jika menunggu ia pulang aku pasti kehausan. Aku memutuskan untuk mengambil minum sendiri tanpa bantuannya. Perlahan-lahan aku membuka pintu kamar dan mengeluarinya. Aku mengarahkan tongkat penunjuk jalan yang memudahkanku melangkah ke depan. Sesekali tanganku meraba-raba di sekeliling agar aku bisa lebih tahu sudah sampai mana aku berjalan.

          Dengan usahaku sendiri, akhirnya aku sampai di dapur tanpa terjatuh. Aku kembali meraba-raba sekeliling untuk mencari gelas. Sampai akhirnya..

          "Prrraaannnggg!"

            Tidak sengaja aku menjatuhkan gelas yang seharusnya dipakai untuk mengambil air minum. Aku langsung mencoba membersihkan pecahan gelas itu karena takut ibu akan mengetahuinya.

          Di saat aku meraba-raba lantai untuk mencari pecahan gelasnya, tidak sengaja tanganku terkena pecahan itu. Aku berteriak kesakitan, dan menutupi luka yang ada di jari tanganku dengan baju. Mendengar teriakkanku yang kesakitan, ibu datang menghampiriku.

          "Vita, ada apa?" ucap ibu sambil membantuku berdiri. Juga melihat pecahan gelas itu berserakan di mana-mana, dan melihat jari tanganku yang berdarah.

          "Maaf Bu, tadi aku mau minum. Engggak sengaja gelasnya jatuh, dan enggak sengaja pecahan gelasnya kena tangan aku saat aku mau membersihkannya." jawabku yang menjelaskan semuanya.

          "Ibu, kan, udah bilang ke kamu, kalau mau apa-apa bilang ke ibu. Lihat, tuh, tangan kamu jadi luka, kan?"

          "Maaf, Bu. Aku gak mau buat repot ibu,"

         "Kamu ini bicara apa, sih? Ibu gak pernah merasa direpotkan sama anak-anakiIbu, termasuk kamu. Jangan pernah bicara kaya gitu lagi, ya."

          "Maafin aku, Bu, maafin aku."

           Aku hanya bisa bilang maaf pada ibu, karena keadaanku yang seperti ini pasti menambah repot dirinya. Selain mengurus pekerjaan rumah, ibu juga harus mengurus aku yang tidak bisa melihat ini. Aku jadi benci dengan keadaan ini, aku jadi tidak bisa melakukan banyak hal yang seharusnya bisa kulakukan sendiri. Aku juga jadi merasa tidak berguna jika harus dibantu dengan orang lain ketika mau sesuatu.

          Aku kembali ke luar kamar ketika perutku terasa lapar. Jika menunggu kakak pulang juga aku tidak kuat lagi menahan rasa lapar ini. Masalah minum aku sudah bisa mengambilnya sendiri, tapi tidak dengan makan karena selama ini kakak yang membantuku. Aku memanggil Ibu agar bisa membantuku mengambilkan makan. Sebenarnya aku tidak mau meminta bantuan ibu, tapi mau bagaimana lagi, kakak belum pulang sekolah.

          "Ibu!" panggilku sambil berjalan perlahan dengan tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri meraba-raba sekitar.

          "Iya, ibu di luar." sahut ibu sedikit meninggikan suaranya karena sedang berada di luar. Aku langsung menuju luar setelah tahu ibu ada di sana.

          Kakak bilang, aku harus berjalan sebanyak 20 langkah dari kamar untuk bisa sampai keluar. Aku menjalankan ucapannya itu. Ketika sudah 20 langkah, tongkatku membentur sesuatu yang tidak lain adalah pintu untuk bisa keluar rumah. Akhirnya aku bisa keluar tanpa ada rasa takut akan terjatuh lagi.

            "Ibu!" Aku kembali memanggilnya, namun tidak ada jawaban.

            "Bu!" lagi-lagi tidak ada jawaban.

            'Ibu ke mana?' hatiku bertanya-tanya.

          Aku terus berjalan mencari ibu, tanpa sadar aku sudah tidak lagi berada di halaman rumah. Panas matahari menerpa tubuhku. Suara kendaraan yang sedang dikendarai manusia terdengar selanjutnya. Aku di mana? Ini di jalan raya. Aku panik. Suara kendaraan yang sedang berlalu semakin jelas terdengar. Aku menghentikan jalan ketika salah seorang pengendara memarahiku, dia hampir saja menabrakku karena aku tidak berjalan dengan baik. Bagaimana aku bisa berjalan dengan baik kalau aku tidak bisa melihat di sekelilingku?

Berlanjut...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun