“Andai kakak bisa, kakak pasti gendong kamu biar gak kecapekan kayak gini.”
“Kak, selagi aku mampu, aku akan melalukan apapun itu buat kakak. Jadi kakak jangan menyalahkan diri sendiri kayak gini, ya."
“Makasih, ya, Dek.”
“Aku yang makasih udah dipijatin gini, hehehe.”
“Hehehe,”
Aku mau mendorong kakak ke manapun yang ia mau, sejauh dan selama apapun asalkan itu bisa buat ia bahagia. Aku rela jika harus bertukar posisi dengannya walau hanya sehari. Jangankan sehari, selamanya pun aku rela, asalkan tadi, ia bisa Bahagia dan tumbuh menjadi seperti anak seusianya pada umumnya yang bisa melakukan banyak hal yang ia mau tanpa harus ada yang menghalangi.
Aku pernah bertanya, apakah ia bahagia dengan hidupnya yang seperti itu? Kakak menjawab hidupnya bahagia karena sudah memiliki adik sepertiku. Bagiku itu hal yang wajar jika seseorang bahagia karena telah memiliki adik. Tapi maksud dari pertanyaanku ini berbeda, bukan bahagia karena telah memiliki adik. Bahagia memang tidak selalu senang, dan senang tidak selalu bahagia. Mungkin itu yang bisa aku simpulkan saat bertanya tentang kebahagiaannya.
"Kak, kakak bahagia sama hidup kakak?"
"Bahagia banget, dong! Bahagia karena punya adik yang baik dan imut kayak kamu!"
Ia menyubit pipiku dan mengusap-usap kepalaku kala itu.
Tapi walaupun begitu, kakak tidak pernah mengeluh dalam menjalani hidupnya, dia begitu semangat melakukan aktivitas sehari-harinya meski kondisinya seperti itu. Aku bangga bisa memiliki kakak, meski ia tidak sesempurna dengan kakak-kakak yang lain. Bagiku kakak yang sempurna tidak harus memiliki fisik yang sempurna juga, kakak yang sempurna adalah kakak yang bisa mengajarkan semua hal tentang kebaikan kepada adiknya.