Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

I Love You My Brother (Part 2)

25 November 2022   12:18 Diperbarui: 28 Februari 2024   09:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

         Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa usiaku 12 tahun dan sudah masuk SMP. Aku bersekolah di sekolah yang sama dengan kakak. Di mana sekolah itu memiliki dua tingkatan, SMP dan SMA. Aku kelas 1 SMP, sedangkan kakak kelas 3 SMA. Setiap hari kami diantar oleh ayah ke sekolahnya, karena arah tempat kami menuntut ilmu satu arah dengan tempat kerja ayah. Aku selalu mengantarkan kakak sampai ke dalam kelas. Ketika ia belum pulang pun aku menunggunya, sebab jam pulangku lebih cepat dibandingkan jam pulangnya.

           Aku juga selalu membelanya di saat yang lain mengganggunya. Ternyata ia suka diganggu oleh teman-temannya, alias dibully. Sakit hatiku melihat kakakku dibully seperti itu. Yang lebih sakit ketika dia didorong sampai terjatuh dari kursi rodanya. Membiarkan ia berjalan dengan cara menyeret kedua kakinya yang tak berdaya itu di jalan, karena mereka mengambil alat bantu berjalannya.

Mereka juga mengambil tasnya dan menghamburkan semua buku-buku yang ada di dalamnya, lalu membuang jauh tasnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa di saat yang lain melakukan itu padanya. Rasanya aku ingin membalas semua perbuatan mereka yang sudah pernah dilakukannya pada kakak.

          Aku pernah mencoba untuk membalasnya atau melawan mereka di saat melakukan perbuatan itu lagi, tapi kakak selalu melarangku, dia tidak mau aku menjadi seseorang yang pedendam, yang suka membalas kejahatan dengan kejahatan. Walaupun ia selalu mendapatkan perilaku yang tidak baik seperti itu dari teman-temannya, ia tidak pernah cerita kepadaku ataupun kepada ibu. Setiap kali pulang sekolah pun wajahnya terlihat biasa saja. Padahal, ia begitu tersiksa di sekolah selama ini.

          Sayangnya kebiasaan itu tidak berlangsung lama, hanya berlangsung selama tiga bulan. Aku memutuskan untuk tidak lagi mengantarkannya sampai ke dalam kelas, tidak lagi menunggunya ketika ia belum pulang, dan tidak lagi membelanya ketika dia diganggu oleh teman-temannya setelah teman-temanku tahu dia adalah kakakku.

Mereka suka mengejek-ejekku, berkata bahwa aku mempunyai seorang kakak yang cacat. Saat itu aku malu, sangat malu. Setiap kali tiba di kelas aku selalu mendapat ejekkan itu, ejekkan yang selalu membuat semua anak di dalam kelas tertawa mendengarnya.

          Hubunganku dengannya pun jadi tidak baik akibat ejekkan teman-temanku yang mengejekku tentang kondisinya. Di rumah kami tidak saling bicara, walau sebenarnya dia sudah mencoba untuk berbicara lebih dulu denganku, tapi aku selalu menghindar jika setiap kali dia mendekatiku. Aku juga sudah tidak lagi membantunya di setiap kali ia meminta bantuan.

          Aku memang benar-benar menjadi adik yang jahat, sudah tega membiarkan kakakku menghadapi semuanya sendiri karena kegengsianku pada yang lain. Tapi, ketika waktu berselang seminggu aku memutuskan untuk meminta maaf padanya. Aku sadar, seharusnya aku tidak berlaku seperti itu dengannya. Meski semarah, segengsi, dan semalu apapun aku tidak bisa merubah keadaannya dan tidak bisa menentang kehendak-Nya.

          Aku bukan anak kecil lagi yang masih suka memikirkan diri sendiri dan memikirkan kesenangan sendiri. Tapi, aku sudah remaja yang pemikiranku sudah mulai dewasa, sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak. Jika aku masih begitu, berarti sama saja aku seperti anak kecil.

          "Kak, aku minta maaf udah bersikap yang gak baik sama kakak. Aku minta maaf, Kak." ucapku sambil bersimpuh di depannya dan menggenggam erat kedua tangannya.

          Kakak tersenyum lebar mendengarnya, ia lalu mengusap lembut kepalaku dan berkata. "Gak apa-apa, Dek. Kamu gak perlu minta maaf kayak gini, kakak gak marah dan gak akan pernah marah sama kamu."

          Air mataku seketika mengalir deras di pipi ini. Hatiku sakit mendengar pernyataannya itu. Kakak masih begitu baik meski aku telah menyakiti hati dan dirinya.

          "Udah... Jangan nangis! Kakak mengerti perasaan kamu. Udah, ya, jangan nangis lagi," kakak menghapuskan air mata yang sedang mengalir deras di kedua pipiku. Aku berusaha memberikan senyum untuknya. Karena malu mengingat perbuatan burukku, aku lalu membenamkan wajah ke pahanya yang sedang terduduk di kursi roda. Kakak lalu mengangkat kepalaku dan langsung memeluk erat diri ini.

          "Maaf, Kak."

Berlanjut...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun