Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Keputusan MK Batalkan Presidential Threshold: Antara Penguji atau Pembuat Undang-Undang

3 Januari 2025   18:04 Diperbarui: 3 Januari 2025   19:16 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang MK (Kompas.com)

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan presidential threshold sebesar 20% dalam Undang-Undang Pemilu memicu perdebatan hangat. Sebagian pihak menyambut baik putusan ini sebagai langkah demokratis yang memperluas peluang kandidat potensial untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres). Namun, tak sedikit pula yang menganggap bahwa MK telah melampaui kewenangannya sebagai penguji undang-undang (judicial review) dan bertindak layaknya pembuat undang-undang (legislatif).

Wewenang MK: Menguji, Bukan Membuat

MK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, yaitu menguji undang-undang terhadap konstitusi (constitutional review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara, membubarkan partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden/Wakil Presiden. Dalam tugasnya sebagai penguji undang-undang, MK seharusnya hanya menentukan apakah suatu pasal atau ketentuan dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.

Namun, keputusan membatalkan presidential threshold dianggap melampaui peran itu. Ketentuan ini telah diuji 36 kali di MK sejak 2004, dan dalam setiap putusan sebelumnya, MK menolak gugatan dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan open legal policy (OPL), yaitu kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang, yakni DPR dan Presiden.

Presidential Threshold: Kontroversi yang Berulang

Presidential threshold sebesar 20% menjadi syarat partai politik atau gabungan partai untuk mengajukan calon presiden. Ketentuan ini diterapkan sejak Pemilu 2004 dengan tujuan menyederhanakan jumlah kandidat dan memperkuat sistem presidensial. Namun, kritik terhadap threshold ini sudah lama muncul, terutama karena dianggap membatasi kompetisi dan menghambat partai-partai kecil untuk mencalonkan kandidat mereka.

Putusan MK kali ini menghapus ketentuan tersebut dengan alasan bahwa threshold menghalangi hak warga negara untuk dipilih dan mencalonkan diri, yang dijamin oleh UUD 1945. Namun, putusan ini menuai kritik karena dianggap menyerupai tindakan legislatif yang mengubah substansi undang-undang, bukan sekadar menguji konstitusionalitasnya.

Keputusan MK yang Kontroversial

Ini bukan pertama kalinya putusan MK memicu perdebatan. Beberapa keputusan lain yang dianggap "progresif" juga menuai kontroversi, di antaranya:

1. Usia Minimal Pilpres: MK sebelumnya memutuskan menambah syarat dalam batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden, yang dianggap melonggarkan syarat pencalonan dan membuka peluang kandidat muda.

2. Batas Prosentase Pilkada: MK menurunkan ambang batas prosentase minimal untuk mencalonkan kepala daerah, yang dinilai dapat mengubah dinamika politik lokal.

Dalam setiap kasus ini, kritik yang muncul serupa: apakah MK melangkahi batas wewenangnya sebagai penguji undang-undang?

Menggugat Peran MK

Peran MK sebagai pengawal konstitusi memang penting, tetapi dalam konteks demokrasi, batasan kewenangan lembaga negara harus jelas. Para ahli hukum mulai mempertanyakan apakah MK telah berubah menjadi pseudo-legislatif dengan berbagai putusannya yang mengubah kebijakan hukum.

Beberapa pakar hukum menyarankan agar UU Mahkamah Konstitusi direvisi untuk mempertegas batasan wewenang MK. Jika dibiarkan, putusan-putusan yang kontroversial ini dapat merusak keseimbangan hubungan antar lembaga negara dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pentingnya Keseimbangan Demokrasi

MK memegang peran vital sebagai penjaga demokrasi dan pelindung konstitusi. Namun, perannya harus tetap berada dalam koridor yang jelas: menguji undang-undang, bukan menciptakan kebijakan. Dalam sistem trias politika, fungsi legislatif sepenuhnya berada di tangan DPR dan Presiden. Jika MK terlalu sering melampaui batas, hal ini dapat melemahkan legitimasi institusi itu sendiri dan merusak kepercayaan publik.

Masyarakat perlu terus mengawasi putusan MK dan mendesak pemerintah serta DPR untuk mengevaluasi UU yang mengatur MK. Pada akhirnya, demokrasi yang sehat membutuhkan lembaga-lembaga negara yang saling menghormati batas wewenangnya demi keadilan dan kepastian hukum.

Keputusan MK membatalkan presidential threshold adalah pengingat bahwa kebijakan hukum tidak hanya soal isi, tetapi juga proses. Apakah MK menguji atau membuat undang-undang? Jawabannya akan menentukan arah demokrasi Indonesia di masa depan.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun