threshold sebesar 20% dalam Undang-Undang Pemilu memicu perdebatan hangat. Sebagian pihak menyambut baik putusan ini sebagai langkah demokratis yang memperluas peluang kandidat potensial untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres). Namun, tak sedikit pula yang menganggap bahwa MK telah melampaui kewenangannya sebagai penguji undang-undang (judicial review) dan bertindak layaknya pembuat undang-undang (legislatif).
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan presidentialWewenang MK: Menguji, Bukan Membuat
MK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, yaitu menguji undang-undang terhadap konstitusi (constitutional review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara, membubarkan partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden/Wakil Presiden. Dalam tugasnya sebagai penguji undang-undang, MK seharusnya hanya menentukan apakah suatu pasal atau ketentuan dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, keputusan membatalkan presidential threshold dianggap melampaui peran itu. Ketentuan ini telah diuji 36 kali di MK sejak 2004, dan dalam setiap putusan sebelumnya, MK menolak gugatan dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan open legal policy (OPL), yaitu kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang, yakni DPR dan Presiden.
Presidential Threshold: Kontroversi yang Berulang
Presidential threshold sebesar 20% menjadi syarat partai politik atau gabungan partai untuk mengajukan calon presiden. Ketentuan ini diterapkan sejak Pemilu 2004 dengan tujuan menyederhanakan jumlah kandidat dan memperkuat sistem presidensial. Namun, kritik terhadap threshold ini sudah lama muncul, terutama karena dianggap membatasi kompetisi dan menghambat partai-partai kecil untuk mencalonkan kandidat mereka.
Putusan MK kali ini menghapus ketentuan tersebut dengan alasan bahwa threshold menghalangi hak warga negara untuk dipilih dan mencalonkan diri, yang dijamin oleh UUD 1945. Namun, putusan ini menuai kritik karena dianggap menyerupai tindakan legislatif yang mengubah substansi undang-undang, bukan sekadar menguji konstitusionalitasnya.
Keputusan MK yang Kontroversial
Ini bukan pertama kalinya putusan MK memicu perdebatan. Beberapa keputusan lain yang dianggap "progresif" juga menuai kontroversi, di antaranya:
1. Usia Minimal Pilpres: MK sebelumnya memutuskan menambah syarat dalam batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden, yang dianggap melonggarkan syarat pencalonan dan membuka peluang kandidat muda.
2. Batas Prosentase Pilkada: MK menurunkan ambang batas prosentase minimal untuk mencalonkan kepala daerah, yang dinilai dapat mengubah dinamika politik lokal.