Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pembatalan Pameran Lukisan: Antara Seni dan Caci Maki

23 Desember 2024   09:26 Diperbarui: 23 Desember 2024   14:36 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siaran pers pelukis Yos Suprapto (Kumparan)

Pembatalan pameran seni tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia dengan tema "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan" menjadi perbincangan hangat di penghujung tahun 2024. Keputusan ini menuai kritik luas dari masyarakat, aktivis seni yang menyebut kasus ini sebagai bentuk "pembredelan seni," istilah yang pernah populer di masa Orde Baru.


Seni dan Kritik Sosial: Dimana Batasnya?

Kurator pameran menyebut alasan pembatalan adalah karena lima lukisan dalam pameran tersebut dinilai tidak sesuai tema. Kelima karya itu menggambarkan wajah tokoh yang menyerupai Presiden Jokowi dengan nuansa kritik sosial yang dianggap berlebihan. Kritik melalui seni bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam sejarahnya, seni sering menjadi medium perlawanan terhadap kekuasaan, mulai dari poster perjuangan hingga puisi-puisi protes.

Namun, kritik melalui seni juga memiliki batasan. Dalam hal ini perlu  menggarisbawahi pentingnya membedakan kritik yang membangun dengan ujaran kebencian. Jangan sampai kritik menjadi caci maki, fitnah, atau ujaran kebencian. Menurut banyak orang bahwa di era Presiden Jokowi, kritik sering kebablasan, seperti dalam patung Butet Kartaredjasa yang menggambarkan Jokowi sebagai Pinokio. Jokowi sendiri cenderung membiarkan ekspresi semacam itu berkembang, memberikan ruang yang luas bagi kebebasan berpendapat.

Era Prabowo: Mengembalikan Makna Kritik?

Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tampaknya ada upaya untuk mengembalikan kritik pada esensinya---sebagai refleksi yang beradab, bukan sekadar ejekan atau fitnah. Langkah ini disambut baik oleh sebagian kalangan yang merasa kebebasan berpendapat di era sebelumnya sering disalahgunakan.

Namun, pembatalan pameran ini memicu kekhawatiran bahwa langkah tersebut bisa berujung pada praktik sensor yang menyerupai Orde Baru. Saat itu, karya seni yang dinilai tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah seringkali dilarang tanpa pertimbangan yang adil. Kekhawatiran ini menjadi relevan ketika kasus pembatalan pameran Yos Suprapto dinilai kurang transparan dan memberikan kesan bahwa kebebasan seni kembali terancam.

Seni: Kritik atau Caci Maki?

Perdebatan mengenai karya seni sebagai kritik atau penghinaan bukanlah hal baru. Para seniman sering berpendapat bahwa seni adalah ruang bebas yang memungkinkan mereka menyampaikan pesan tanpa harus terikat oleh aturan yang terlalu kaku. Di sisi lain, masyarakat juga harus memahami bahwa kebebasan ini bukan berarti bebas dari tanggung jawab.

Lukisan, puisi, atau karya seni lainnya dapat menjadi kritik yang tajam namun tetap elegan. Sebaliknya, jika seni hanya menjadi medium untuk menebar kebencian, maka fungsi seni sebagai refleksi peradaban justru terdegradasi.

Sikap Pemerintah dan Masyarakat

Pembatalan pameran Yos Suprapto menjadi momen refleksi bagi pemerintah dan masyarakat dalam menyikapi seni dan kritik. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap etika adalah:

1. Standar Kuratorial yang Jelas
Kurator seni harus memiliki panduan yang jelas dalam menilai sebuah karya, baik dari segi tema maupun konten. Panduan ini harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

2. Dialog Sebelum Tindakan
Sebelum memutuskan pembatalan, pihak kurator, seniman, dan lembaga terkait perlu berdialog untuk mencari solusi bersama. Keputusan sepihak hanya akan memicu polemik.

3. Pendidikan Seni dan Kritik yang Beradab
Pemerintah dan institusi pendidikan perlu mendorong masyarakat untuk memahami perbedaan antara kritik dan penghinaan. Hal ini dapat dilakukan melalui workshop seni, seminar, dan kurikulum pendidikan.

4. Jaminan Kebebasan Berpendapat dengan Batasan Hukum
Pemerintah harus memastikan bahwa kebebasan berekspresi tetap dijamin, tetapi di sisi lain, penghinaan dan ujaran kebencian harus ditindak sesuai hukum.

Pembatalan pameran seni Yos Suprapto seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak. Seni adalah medium penting untuk menyuarakan kritik, tetapi kritik juga harus tetap dalam koridor etika dan budaya. Di sisi lain, pemerintah harus berhati-hati agar upaya mengatur ekspresi seni tidak kembali menjadi alat pembungkaman seperti di masa lalu.

Semoga polemik ini menjadi momentum untuk menguatkan demokrasi yang berbudaya, di mana kritik dapat berkembang tanpa kehilangan nilai keadaban. Karena pada akhirnya, seni bukan hanya soal estetika, tetapi juga cerminan dari jiwa bangsa.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun