korupsi. Dalam beberapa bulan pertama pemerintahannya, sejumlah koruptor telah dijatuhi hukuman. Namun, apakah ini cukup menjadi indikator bahwa komitmen antikorupsi Prabowo benar-benar dapat terwujud? Di tengah tekadnya tersebut, pernyataan kontroversial muncul: jika koruptor mengembalikan hasil korupsinya, mereka tidak akan dihukum dan akan diampuni. Pernyataan ini, meskipun terdengar seperti terobosan, menimbulkan polemik besar.
Salah satu janji politik yang kerap digaungkan Presiden Prabowo Subianto adalah pemberantasanAntara Harapan dan Kontroversi
Pernyataan Prabowo seolah memberikan angin segar bagi pelaku korupsi, terutama mereka yang memiliki aset besar hasil dari praktik haram tersebut. Di satu sisi, tawaran ini tampak pragmatis: negara mendapatkan kembali uang yang dikorupsi tanpa harus melalui proses hukum yang panjang dan melelahkan. Di sisi lain, pernyataan ini bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan jelas menyatakan bahwa pelaku korupsi harus dihukum meskipun telah mengembalikan hasil korupsinya. Pengembalian tersebut hanya dihitung sebagai faktor yang meringankan hukuman, bukan alasan pembebasan.
Jika koruptor bebas hanya dengan mengembalikan hasil korupsinya, hampir dipastikan akan muncul moral hazard. Koruptor dan calon koruptor akan merasa bahwa risiko mereka rendah: uang dapat dikembalikan, sementara kebebasan tetap terjaga. Alih-alih menjadi terobosan, kebijakan ini justru membuka celah baru bagi suburnya korupsi.
Mentalitas Koruptor dan Hukuman yang Efektif
Mentalitas dasar seorang koruptor adalah memperkaya diri. Oleh karena itu, hukuman yang paling efektif untuk membuat mereka jera adalah dengan memiskinkan mereka. Dalam konteks ini, gagasan mengenai penyitaan aset menjadi sangat relevan.
Sayangnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset yang diusulkan sejak lama masih mandek di DPR. Padahal, RUU ini menjadi kunci penting untuk mengubah paradigma pemberantasan korupsi. Penyitaan aset tidak hanya membuat koruptor kehilangan hasil kejahatannya tetapi juga memberikan efek gentar bagi calon pelaku.
Hukuman berat seperti penjara, meskipun penting, tidak selalu efektif. Banyak koruptor yang tetap hidup nyaman meskipun berada di balik jeruji besi, terutama karena mereka masih memiliki akses terhadap kekayaan yang disembunyikan. Sebaliknya, jika mereka dimiskinkan, mereka akan kehilangan tujuan utama dari tindakan korupsi itu sendiri.
Pragmatismenya Prabowo: Antara Utopia dan Realita
Membebaskan koruptor dengan syarat mengembalikan hasil korupsi, seperti yang diusulkan Prabowo, lebih mirip utopia daripada solusi nyata. Korupsi bukan hanya masalah finansial; ia adalah persoalan moral dan keadilan. Mengampuni koruptor berarti mengkhianati prinsip-prinsip dasar hukum dan rasa keadilan publik.
Prabowo seharusnya mengarahkan energinya untuk memastikan RUU Perampasan Aset segera disahkan. Dengan dukungan politiknya yang besar di DPR, langkah ini bukanlah hal yang mustahil. Jika RUU ini diberlakukan, ia akan menciptakan era baru pemberantasan korupsi yang lebih efektif.
Solusi Nyata: Memiskinkan Koruptor
Memiskinkan koruptor adalah langkah paling logis dan efektif. Tidak hanya memberikan hukuman yang menjerakan, tetapi juga memulihkan kerugian negara secara maksimal. Beberapa poin yang perlu diperhatikan untuk pemberantasan korupsi yang lebih efektif adalah:
1. Percepatan Pengesahan RUU Perampasan Aset
Presiden Prabowo harus menggunakan kekuatannya untuk mendorong DPR agar segera mengesahkan RUU ini. Dengan dasar hukum yang kuat, negara memiliki legitimasi untuk menyita aset koruptor tanpa hambatan.
2. Perbaikan Sistem Pengawasan dan Pencegahan
Korupsi tidak akan berhenti hanya dengan hukuman berat. Perlu ada reformasi sistem pengawasan, terutama dalam sektor-sektor yang rawan korupsi seperti pengadaan barang dan jasa serta perizinan.
3. Menciptakan Efek Gentar melalui Penegakan Hukum yang Konsisten
Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu. Ini penting untuk menciptakan efek gentar yang nyata bagi calon pelaku.
4. Kampanye Antikorupsi yang Masif
Edukasi publik tentang bahaya korupsi dan pentingnya integritas harus dilakukan secara terus-menerus. Mentalitas antikorupsi harus ditanamkan sejak dini.
Tegas, Bukan Lunak
Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan luar biasa pula. Kebijakan yang terlalu lunak, seperti mengampuni koruptor, hanya akan membuat pemberantasan korupsi semakin jauh dari harapan. Jika Prabowo ingin dikenang sebagai presiden yang berhasil memberantas korupsi, ia harus memilih langkah yang tegas dan strategis, bukan pendekatan pragmatis yang mengorbankan rasa keadilan.
Langkah nyata seperti pengesahan RUU Perampasan Aset adalah jawaban yang tepat. Dengan begitu, koruptor tidak hanya dipaksa mengembalikan hasil kejahatan mereka, tetapi juga kehilangan sumber daya yang menjadi motivasi utama korupsi. Realita ini, bukan utopia, yang akan membawa Indonesia menuju masa depan tanpa korupsi.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H