Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Resmi Dipecat PDI-P, Siapa yang Rugi?

16 Desember 2024   21:46 Diperbarui: 16 Desember 2024   21:46 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megawati Soekarnoputri dan Jokowi (detik.com)


Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi dipecat dari keanggotaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sebuah langkah yang telah diprediksi sejak lama. Dalam Surat Keputusan (SK) pemecatan, PDI-P mencantumkan dua alasan utama: pertama, Jokowi dianggap menyalahgunakan kekuasaannya dengan dituduh mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan batas usia calon wakil presiden demi meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres. Kedua, Jokowi dianggap melawan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P dengan mendukung capres di luar pilihan resmi partai.

Namun, kedua alasan ini menuai banyak kritik. Tuduhan intervensi Jokowi terhadap MK misalnya, tidak terbukti dalam hasil investigasi Mahkamah Konstitusi Mahkamah Kehormatan (MKMK). MKMK menyatakan tidak ada pelanggaran prosedur atau intervensi yang melibatkan Jokowi. Sedangkan terkait tuduhan mendukung calon presiden di luar PDI-P, Jokowi sebenarnya pernah memberikan sinyal dukungan kepada Ganjar Pranowo, capres pilihan PDI-P. Tetapi hubungan yang semakin tegang antara dirinya dan partai membuat dukungan itu berubah arah kepada Prabowo Subianto.

Benarkah Pemecatan Jokowi Merugikan PDI-P?


Jika dianalisis, keputusan ini tampaknya justru lebih merugikan PDI-P daripada Jokowi. Berikut adalah beberapa dampaknya:

1. Pilpres 2024: Dukungan Jokowi yang kuat kepada Prabowo membuat Ganjar, capres dari PDI-P, kesulitan bersaing.  Terbukti bahwa Prabowo Subianto memenangkan kontestasi pilpres tersebut. Hal itu menunjukkan elektabilitas Prabowo meningkat signifikan setelah mendapatkan dukungan Jokowi, yang masih memiliki basis massa besar.

2. Pemilu Legislatif: Konflik ini telah terbukti menggerus suara PDI-P dalam Pemilu Legislatif. Pendukung Jokowi yang merasa kecewa dengan keputusan partai diduga banyak yang beralih ke partai lain atau mendukung koalisi yang didukung Jokowi.

3. Pilkada: Dalam Pilkada 2024, pengaruh Jokowi tetap besar, terutama di daerah strategis seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera. Tanpa dukungan Jokowi, banyak calon kepala daerah dari PDI-P telah terbukti kalah dalam  kompetisi.

Kekuatan Politik Jokowi Tetap Kokoh


Bagi Jokowi, pemecatan ini tidak serta-merta melemahkan posisinya di panggung politik. Sejak awal, Jokowi dikenal sebagai pemimpin dengan basis dukungan kuat, baik dari rakyat maupun partai-partai lain. Bahkan setelah pemecatan, partai-partai besar seperti Golkar, Gerindra, dan PAN  menyatakan siap menerima Jokowi sebagai kader jika ia menginginkan.

Sebagai presiden dua periode, Jokowi telah membangun kekuatan politik yang independen. Posisi ini diperkuat dengan langkahnya mendukung Prabowo, yang menunjukkan bahwa ia mampu menggerakkan mesin politik di luar pengaruh PDI-P.

Kesalahan Strategis PDI-P


Pemecatan ini juga menyoroti kesalahan strategi PDI-P dalam menyikapi hubungan dengan Jokowi. Sebagai salah satu kader terbaik yang pernah dimiliki partai, Jokowi telah memberikan kontribusi besar, termasuk kemenangan dalam dua Pemilu Presiden. Sayangnya, alih-alih merangkulnya, PDI-P memilih memutus hubungan, yang justru dapat merugikan partai di masa depan.

Seharusnya, PDI-P bisa memanfaatkan pengaruh Jokowi untuk memperkuat posisi partai. Dengan mempertahankan Jokowi, PDI-P berpeluang mengonsolidasikan kekuatan politiknya di semua lini, baik dalam Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.

Pelajaran untuk PDI-P


Dari kasus ini, PDI-P seharusnya belajar pentingnya menjaga hubungan baik dengan kader berprestasi. Pemecatan Jokowi menunjukkan bahwa konflik internal partai dapat berdampak negatif tidak hanya pada kader yang bersangkutan, tetapi juga pada citra dan kekuatan partai di mata publik.

PDI-P juga perlu introspeksi atas cara mereka menentukan capres. Proses pencalonan Ganjar, misalnya dianggap ada intrik untuk menyudutkan Jokowi. Jika partai ingin tetap relevan, mereka harus membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan elit partai semata.

Siapa yang Lebih Rugi?


Dalam pertikaian ini, tampaknya PDI-P yang paling dirugikan. Pemecatan Jokowi menciptakan celah besar dalam tubuh partai, menggerus suara, dan memperlemah peluang di berbagai arena pemilu. Sementara itu, Jokowi tetap menjadi tokoh berpengaruh dengan jaringan politik yang solid.

Ke depan, PDI-P harus berhati-hati dalam mengambil langkah politik. Jika konflik internal terus dibiarkan, bukan tidak mungkin partai ini akan kehilangan relevansinya sebagai salah satu kekuatan utama di Indonesia. Di sisi lain, Jokowi tampaknya akan terus melangkah dengan kekuatan politik yang ia bangun sendiri, tanpa perlu bergantung pada PDI-P.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun