Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benarkah Anak Abah dan Ahokers Bisa Bersatu?

5 Desember 2024   10:02 Diperbarui: 5 Desember 2024   10:15 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Baru-baru ini, sebuah peristiwa politik menarik perhatian publik: Anak Abah---sebutan bagi pendukung Anies Baswedan---dan Ahokers---pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)---menyatakan bersatu untuk mendukung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno dalam Pilkada 2024. 

Klaim ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat sejarah kelam hubungan kedua kelompok ini yang sempat berhadap-hadapan secara tajam pada Pilkada DKI Jakarta 2017. 

Apakah ini benar-benar sebuah persatuan yang kokoh, atau hanya aliansi sementara demi kepentingan politik tertentu?

Sejarah Kelam Polarisasi Pilkada Jakarta

Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu babak paling kontroversial dalam demokrasi Indonesia. Isu agama dan ras digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan Ahok, yang saat itu menjadi calon petahana. 

Pendukung Anies kerap menonjolkan narasi berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang memecah belah masyarakat, sementara Ahokers bertahan dengan argumen kinerja dan profesionalisme. Ketegangan di akar rumput memuncak, bahkan merusak hubungan sosial antarwarga.

Polarisasi ini menciptakan luka mendalam yang bertahan lama. Namun kini, dua kelompok yang dulu berseteru tersebut menyatakan bersatu di belakang pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang sama. 

Fenomena ini menunjukkan bagaimana politik dapat mengubah lanskap persahabatan maupun permusuhan.

Politik dan Adagium "Musuh Bersama"

Persatuan antara Anak Abah dan Ahokers tak lepas dari adagium abadi dalam politik: Musuh bersama membuat lawan menjadi teman. Dalam hal ini, musuh bersama yang dimaksud bisa jadi adalah pihak-pihak yang mereka anggap sebagai ancaman politik dalam Pilkada 2024. 

Namun, persatuan semacam ini kerap bersifat pragmatis dan sementara, tergantung pada kepentingan yang melatari aliansi tersebut.

Jika kepentingan politik berubah, bukan tidak mungkin konflik lama akan muncul kembali. Sejarah membuktikan bahwa aliansi dalam politik sering kali rapuh dan mudah goyah ketika dihadapkan pada perbedaan pandangan strategis atau perebutan kekuasaan.

Haruskah Perbedaan Politik Berujung Polarisasi?

Dalam demokrasi ideal, perbedaan politik seharusnya tidak memecah belah masyarakat. Demokrasi justru mengajarkan kita untuk menghargai keberagaman pandangan dan tetap menjunjung tinggi persatuan. 

Sayangnya, di Indonesia, hal ini sulit tercapai. Polarisasi yang terjadi bukan hanya dipicu oleh isu-isu SARA di akar rumput, tetapi juga oleh perilaku elit politik yang kerap memberi contoh buruk.

Ketika kalah atau berbeda pandangan, para elit politik sering kali memilih saling serang, bahkan enggan untuk bertemu atau berdialog. 

Hal ini menciptakan atmosfer yang semakin memperuncing perpecahan, baik di kalangan pendukung maupun masyarakat luas.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk membangun dunia politik yang lebih dewasa, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak:

1. Pendidikan Politik untuk Masyarakat:
Masyarakat perlu dididik tentang pentingnya menghargai perbedaan dalam demokrasi. Media dan lembaga pendidikan memiliki peran besar dalam memberikan pemahaman yang benar tentang politik sehat.

2. Keteladanan dari Elit Politik:
Para politisi harus menunjukkan sikap dewasa dalam menerima kekalahan atau perbedaan pandangan. Saling menghormati di antara elit politik akan menjadi teladan bagi masyarakat.

3. Pengawasan terhadap Isu SARA:
Penggunaan isu SARA dalam kampanye harus diawasi dengan ketat oleh lembaga berwenang. Peraturan yang melarang kampanye berbasis SARA perlu ditegakkan secara konsisten.

4. Dialog dan Rekonsiliasi:
Membangun dialog lintas kubu politik, baik di level elit maupun masyarakat, penting untuk meredakan ketegangan dan memulihkan persatuan. Rekonsiliasi harus menjadi agenda utama pasca pemilu atau pilkada.

5. Penguatan Peran Media:
Media harus bersikap objektif dan tidak memprovokasi polarisasi. Berita yang disajikan seharusnya mendidik, bukan memperkeruh suasana.

Masa Depan Persatuan Anak Abah dan Ahokers

Apakah persatuan antara Anak Abah dan Ahokers akan bertahan lama? Jawabannya terletak pada kemampuan kedua kelompok untuk melihat kepentingan yang lebih besar daripada sekadar pragmatisme politik. 

Jika persatuan ini hanya didasarkan pada musuh bersama, maka besar kemungkinan aliansi ini akan bubar ketika musuh tersebut tidak lagi relevan.

Namun, jika persatuan ini didasari oleh semangat demokrasi yang tulus, maka ada harapan bagi Anak Abah dan Ahokers untuk benar-benar melupakan konflik lama dan membangun masa depan politik yang lebih sehat dan inklusif.

Pada akhirnya, kedewasaan politik bukan hanya tugas elit, tetapi juga tanggung jawab kita semua. Semoga momentum ini dapat menjadi langkah awal menuju demokrasi yang lebih matang dan masyarakat yang lebih bersatu.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun