media sosial dan ruang publik ramai membahas insiden seorang tokoh nasional yang dianggap menghina penjaja keliling.Â
Dalam beberapa hari terakhir,Peristiwa ini sebenarnya berawal dari candaan, yang dalam konteks tertentu, mungkin tidak dimaksudkan untuk menyakiti.Â
Namun, karena melibatkan seorang tokoh pemerintahan, perbincangan ini meledak secara nasional, menjadi viral, dan memicu berbagai reaksi, baik yang membela maupun yang mengkritik.
Fenomena ini bukan hal baru. Kita hidup di zaman di mana caci maki, fitnah, ujaran kebencian, dan penghinaan sudah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, terutama di dunia maya.Â
Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi positif, kini sering kali berubah menjadi arena konflik verbal tanpa batas. Apa yang sebenarnya terjadi dengan cara kita berkomunikasi?
Bahasa yang Membelah
Tidak dapat disangkal, ujaran negatif sering diarahkan ke semua kalangan---masyarakat biasa, tokoh publik, bahkan presiden. Namun, ketika unsur politik terlibat, dampaknya menjadi lebih besar.Â
Jika lawan politik yang dihina, hal itu dianggap "wajar" oleh sebagian pihak. Sebaliknya, ketika penghinaan menyentuh kelompok sendiri, pembelaan mati-matian sering muncul, bahkan untuk tindakan yang melampaui batas kesopanan.
Polarisasi ini memperparah situasi. Dalam banyak kasus, penghinaan tidak lagi dinilai berdasarkan esensinya, tetapi dari siapa yang mengatakannya dan kepada siapa itu diarahkan.Â
Sikap partisan membuat orang mudah membenarkan ujaran kebencian selama itu sesuai dengan afiliasi politik, ras, atau agama mereka.
Mengapa Bahasa Negatif Merajalela?