Pilkada serentak telah usai, dan hasil quick count telah menyita perhatian publik. Meskipun bukan hasil resmi, pengalaman menunjukkan bahwa quick count jarang meleset dari real count. Pilkada kali ini menjadi sorotan, bukan hanya karena kepentingannya dalam menentukan arah pembangunan daerah, tetapi juga karena persaingan unik antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan partainya sendiri, PDIP, di kandang ko ko Banteng: Jawa Tengah dan Solo.
Quick count menunjukkan bahwa calon yang didukung Jokowi berhasil menang di Jawa Tengah dan Solo, dua wilayah yang merupakan basis tradisional PDIP. Fenomena ini mengangkat pertanyaan penting: siapa sebenarnya yang lebih dominan dalam memengaruhi pemilih, mesin partai atau endorsement individu?
Dukungan Jokowi Masih Kuat, Mengapa?
Survei sebelum Pilkada mengindikasikan bahwa popularitas Jokowi tetap tinggi, bahkan di tengah berbagai kritik dan dinamika politik nasional. Menurut survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) awal tahun ini, sekitar 70% responden di Jawa Tengah dan Solo menilai bahwa Jokowi adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat dan hasil kerjanya nyata. Ini menjadi modal besar bagi Jokowi untuk tetap memengaruhi pilihan politik masyarakat, meski dirinya tak lagi mencalonkan diri.
Ada beberapa alasan mengapa dukungan Jokowi masih berpengaruh:
1. Figur yang Merakyat
Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang sederhana dan dekat dengan rakyat. Gaya komunikasinya yang egaliter membuat masyarakat merasa "dekat" dengannya, bahkan di tengah pro-kontra kebijakan nasional.
2. Track Record Positif di Wilayah Basis
Sebagai mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, dan presiden rekam jejak Jokowi dalam pembangunan infrastruktur dan program pro-rakyat menjadi nilai jual kuat.
3. Ketidakpuasan terhadap Strategi PDIP
Masyarakat mungkin melihat bahwa kandidat PDIP lebih merupakan "pilihan elit partai" daripada representasi aspirasi rakyat. Dalam hal ini, sosok Jokowi tampil sebagai alternatif.
Mengapa Mesin Politik PDIP Tidak Efektif?
Meski PDIP dikenal sebagai partai dengan infrastruktur politik yang kuat, Pilkada kali ini menunjukkan bahwa mesin partai tidak berjalan optimal. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini:
Salah Strategi dalam Penempatan Kandidat
PDIP kerap mengandalkan loyalitas kader tanpa mempertimbangkan popularitas dan elektabilitas kandidat di lapangan. Di Solo, misalnya, calon PDIP dianggap kurang merepresentasikan keinginan masyarakat lokal.
Retorika Internal yang Melemahkan
Pernyataan Megawati dan Hasto Kristiyanto yang sering menyudutkan Jokowi, baik secara langsung maupun implisit, justru merugikan PDIP. Basis pendukung Jokowi, yang juga besar di PDIP, merasa bahwa kritik ini tidak adil dan malah menggerus dukungan partai.
Minimnya Konsolidasi Internal
Hubungan yang kurang harmonis antara Jokowi dan PDIP di tingkat pusat mungkin berpengaruh pada tingkat daerah. Mesin partai yang seharusnya solid justru terpecah.
Apakah PDIP Salah Strategi?
Tidak dapat disangkal bahwa ada kekeliruan strategi di tubuh PDIP. Dalam Pilkada kali ini, PDIP terlihat lebih mengutamakan kepentingan internal partai dibandingkan membaca aspirasi masyarakat.
Kurangnya Pemilihan Kandidat yang Tepat
Alih-alih memilih kandidat yang populer di masyarakat, PDIP tampaknya lebih memprioritaskan kader yang dekat dengan elit partai.
Melemahkan Dukungan Jokowi secara tidak langsung justru merugikan PDI-P. Sikap kritis Megawati dan Hasto terhadap Jokowi, yang sering dianggap sebagai upaya mempertahankan dominasi partai, justru menjadi bumerang. Publik menangkap kesan bahwa PDIP lebih sibuk bersaing dengan Jokowi daripada bekerja untuk rakyat.
Pelajaran dari Pilkada: Sinergi Lebih Penting daripada Rivalitas
Pilkada kali ini memberikan pelajaran berharga bagi partai politik dan politisi:
1. Bersinergi untuk Kemenangan Bersama
Rivalitas internal hanya akan merugikan partai. PDIP dan Jokowi, yang seharusnya bekerja sama sebagai representasi aspirasi rakyat, justru terlibat dalam persaingan yang tidak produktif.
2. Mengutamakan Kandidat Berkualitas
Pemilih semakin cerdas dan tidak mudah terpengaruh oleh branding partai semata. Pemilihan kandidat harus berdasarkan kapasitas, integritas, dan rekam jejak.
3. Menghormati Kontribusi Individu dalam Politik
Meski mesin partai penting, figur individu tetap memiliki daya tarik besar di mata pemilih. Jokowi adalah contoh bagaimana sosok pemimpin bisa menjadi penentu utama dalam Pilkada, bahkan melampaui kekuatan partai.
Ke Depan, Apa yang Harus Dilakukan?
Bagi PDIP, momen ini adalah alarm untuk introspeksi. PDIP harus kembali memperkuat konsolidasi internal dan memperbaiki hubungan dengan Jokowi, yang masih menjadi figur penting di mata publik. Dukungan rakyat terhadap Jokowi adalah aset berharga yang seharusnya dikelola dengan bijak, bukan dilihat sebagai ancaman.
Bagi Jokowi, hasil Pilkada ini menunjukkan bahwa ia tetap menjadi sosok yang dicintai. Namun, ia perlu menjaga netralitas dan fokus pada tugas-tugas nasional dimasa sudah tidak lagi menjadi Presiden ini sebagai Bapak Bangsa.
Pilkada ini mengingatkan semua pihak bahwa politik bukan hanya soal memenangkan kursi, tetapi juga soal memenangkan hati rakyat. Jika partai dan politisi mampu menjaga kepercayaan publik, maka kemenangan politik sejati dapat diraih tanpa harus mengorbankan prinsip dan persatuan.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H