Sahbirin Noor---akrab disapa Paman Birin---terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengguncang publik dan mengundang perdebatan panjang.Â
Kasus praperadilan yang dimenangkan Gubernur Kalimantan Selatan,Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Afrizal Hady, mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Sahbirin Noor, menyatakan bahwa penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK merupakan tindakan sewenang-wenang yang tidak sesuai prosedur.
Dalam keputusannya pada Selasa (12/11/2024), hakim Afrizal Hady menegaskan bahwa langkah KPK dalam menetapkan Sahbirin sebagai tersangka dinilai melanggar prosedur hukum. "Menyatakan perbuatan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka merupakan perbuatan yang sewenang-wenang karena tidak sesuai dengan prosedur yang bertentangan dengan hukum dan dinyatakan batal," tegas Afrizal.Â
Keputusan ini mengejutkan banyak pihak dan memunculkan kekecewaan besar pada lembaga antirasuah tersebut, yang belakangan kerap dianggap lemah dalam menangani kasus-kasus korupsi kelas kakap.
Rangkaian Kejanggalan dalam Kasus Sahbirin Noor
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang menyeret beberapa nama pejabat tinggi Kalimantan Selatan. Sahbirin Noor, meski tidak ditahan langsung pasca OTT, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Langkah tersebut disambut dengan skeptisisme publik, terutama karena Sahbirin sempat menghilang dan tidak diketahui keberadaannya.
Yang membuat publik semakin meragukan keseriusan KPK adalah sikap KPK yang tidak mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) ketika Sahbirin 'menghilang'. Padahal, penerbitan DPO adalah langkah standar dalam mengamankan tersangka yang diduga berusaha menghindari proses hukum.Â
Tidak adanya DPO ini memunculkan kesan bahwa KPK tidak bersungguh-sungguh, dan mempertanyakan apakah lembaga tersebut benar-benar ingin membawa Sahbirin ke pengadilan.
Kritik terhadap KPK: Ketidakseriusan yang Merugikan Publik
Kemenangan Sahbirin Noor dalam praperadilan semakin mempertegas citra ketidakseriusan KPK di mata publik. Pihak KPK mungkin bisa berdalih bahwa langkah hukum ini berada dalam koridor yang tepat.Â
Namun, bukti-bukti prosedural yang tidak terpenuhi, seperti tidak adanya DPO atau penahanan yang longgar terhadap Sahbirin, memperlihatkan lemahnya langkah lembaga tersebut dalam menangani kasus ini.
Kegagalan dalam menangani kasus ini juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai masalah internal di KPK, yang sejak beberapa tahun terakhir mengalami perubahan besar.Â
Mulai dari pengalihan status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN), hingga pergantian pimpinan yang menuai kritik, KPK dinilai semakin kehilangan kekuatannya dalam membongkar kasus-kasus besar.Â
Tidak heran jika publik semakin meragukan kapasitas lembaga ini untuk memberantas korupsi di tingkat tinggi.
Ketidakseriusan yang Berulang: KPK dan Kasus-Kasus Besar
Kemenangan Sahbirin di praperadilan bukanlah yang pertama kali terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus serupa telah muncul, di mana tersangka kelas kakap berhasil lolos dari jeratan hukum karena lemahnya proses penyelidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK.Â
Kasus-kasus seperti ini menambah daftar panjang kelemahan KPK yang, ironisnya, semakin menguatkan dugaan bahwa lembaga ini tidak lagi menjadi simbol keberanian melawan korupsi.
Dalam beberapa kesempatan, kritik terhadap KPK ini juga datang dari kalangan akademisi dan pengamat hukum.Â
Mereka menilai bahwa lemahnya KPK dalam menangani kasus-kasus besar mencerminkan ketidakseriusan, bahkan ketidakberanian, lembaga ini dalam menghadapi para pelaku korupsi yang berada di lingkaran kekuasaan.Â
Publik, yang seharusnya bisa berharap pada KPK untuk memberantas korupsi, kini justru semakin skeptis.
Masa Depan KPK: Harapan atau Harapan Palsu?
Kasus Sahbirin Noor ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi KPK untuk segera berbenah diri. Keputusan praperadilan yang memenangkan pihak yang seharusnya diseret ke meja hijau adalah bukti nyata bahwa lembaga ini tidak boleh lagi menganggap enteng proses hukum.Â
KPK perlu meningkatkan kualitas penyelidikan dan memperketat prosedur agar kasus-kasus besar tidak kembali jatuh karena kesalahan teknis atau prosedural.
Jika KPK ingin kembali mendapatkan kepercayaan publik, pembenahan menyeluruh harus segera dilakukan. Dari segi internal, KPK perlu meninjau kembali mekanisme kerja mereka, khususnya dalam menangani tersangka korupsi kelas atas yang selama ini cenderung lolos.Â
Pengawasan terhadap para pimpinan dan penyidik juga harus diperketat agar KPK dapat kembali pada jalurnya sebagai lembaga independen yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan mana pun.
Di sisi lain, publik juga memiliki peran penting dalam mengawal KPK. Dalam era digital seperti sekarang, suara publik melalui media sosial dan berbagai platform online menjadi instrumen penting untuk menjaga integritas KPK.Â
Jangan biarkan kasus seperti Sahbirin Noor ini berlalu begitu saja tanpa evaluasi kritis dari masyarakat.
Kasus praperadilan Sahbirin Noor menambah panjang daftar kritik terhadap kinerja KPK. Ketidakseriusan dalam penanganan kasus, khususnya terhadap tersangka korupsi berprofil tinggi, harus segera diperbaiki.Â
Jika tidak, KPK bisa kehilangan kepercayaan publik sepenuhnya, dan perjuangan melawan korupsi di Indonesia akan kembali terpuruk.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah KPK siap berbenah? Atau haruskah publik bersiap untuk menghadapi kenyataan bahwa lembaga yang pernah dianggap sebagai benteng terakhir antikorupsi kini tak lebih dari sekadar harapan palsu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H