Mulai dari pengalihan status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN), hingga pergantian pimpinan yang menuai kritik, KPK dinilai semakin kehilangan kekuatannya dalam membongkar kasus-kasus besar.Â
Tidak heran jika publik semakin meragukan kapasitas lembaga ini untuk memberantas korupsi di tingkat tinggi.
Ketidakseriusan yang Berulang: KPK dan Kasus-Kasus Besar
Kemenangan Sahbirin di praperadilan bukanlah yang pertama kali terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus serupa telah muncul, di mana tersangka kelas kakap berhasil lolos dari jeratan hukum karena lemahnya proses penyelidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK.Â
Kasus-kasus seperti ini menambah daftar panjang kelemahan KPK yang, ironisnya, semakin menguatkan dugaan bahwa lembaga ini tidak lagi menjadi simbol keberanian melawan korupsi.
Dalam beberapa kesempatan, kritik terhadap KPK ini juga datang dari kalangan akademisi dan pengamat hukum.Â
Mereka menilai bahwa lemahnya KPK dalam menangani kasus-kasus besar mencerminkan ketidakseriusan, bahkan ketidakberanian, lembaga ini dalam menghadapi para pelaku korupsi yang berada di lingkaran kekuasaan.Â
Publik, yang seharusnya bisa berharap pada KPK untuk memberantas korupsi, kini justru semakin skeptis.
Masa Depan KPK: Harapan atau Harapan Palsu?
Kasus Sahbirin Noor ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi KPK untuk segera berbenah diri. Keputusan praperadilan yang memenangkan pihak yang seharusnya diseret ke meja hijau adalah bukti nyata bahwa lembaga ini tidak boleh lagi menganggap enteng proses hukum.Â
KPK perlu meningkatkan kualitas penyelidikan dan memperketat prosedur agar kasus-kasus besar tidak kembali jatuh karena kesalahan teknis atau prosedural.
Jika KPK ingin kembali mendapatkan kepercayaan publik, pembenahan menyeluruh harus segera dilakukan. Dari segi internal, KPK perlu meninjau kembali mekanisme kerja mereka, khususnya dalam menangani tersangka korupsi kelas atas yang selama ini cenderung lolos.Â