Berapa malang menjadi anak didik di negeri ini. Setiap pergantian Menteri Pendidikan, hampir selalu muncul wacana kurikulum baru. Seakan-akan anak-anak kita terus-menerus menjadi objek eksperimen untuk sistem yang belum teruji. Padahal, mereka semestinya dibantu untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, berkelanjutan, dan stabil---bukan dijadikan "kelinci percobaan" di setiap pergantian kebijakan.
Kurikulum Merdeka, yang diperkenalkan untuk memberikan ruang kepada peserta didik agar lebih mandiri dan kreatif, ternyata tidak berjalan mulus di lapangan.Â
Menteri Pendidikan yang baru kini mempertimbangkan menggantinya dengan pendekatan berbasis deep learning. Alasan utamanya?Â
Menurut evaluasi, banyak guru belum siap dan merasa kurang mendapatkan dukungan yang memadai, dan akibatnya, hasil belajar murid menurun.
Namun, tidakkah ini terdengar seperti deja vu? Setiap ada kurikulum baru, keluhan yang sama muncul: guru tidak siap, fasilitas tidak memadai, dukungan lemah.Â
Jika masalahnya tetap sama, bukankah yang seharusnya diperbaiki adalah kualitas pelatihan dan dukungan terhadap guru serta infrastruktur pendidikan yang memadai?Â
Mengganti kurikulum hanya akan menciptakan siklus perubahan tanpa penyelesaian mendasar.
Kurikulum Merdeka: Cita-cita dan Realita
Kurikulum Merdeka dicanangkan untuk membebaskan anak didik dari sistem yang rigid dan memberi kesempatan belajar sesuai minat dan bakat mereka.Â
Dalam konsep ini, guru diberi kebebasan untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih kreatif dan relevan. Namun, tanpa persiapan dan dukungan yang cukup, harapan ini sulit tercapai.
Evaluasi menunjukkan bahwa banyak guru merasa kesulitan menerapkan Kurikulum Merdeka karena mereka kurang memahami prinsip-prinsip dasarnya dan tidak mendapat pelatihan yang memadai.Â