Kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini kembali menuai kontroversi. Setelah berbagai perubahan yang sempat melemahkan institusi antikorupsi ini, kini Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, melayangkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar, terutama karena yang digugat adalah Pasal 36 ayat a Undang-Undang (UU) KPK---pasal yang mengatur bahwa pimpinan KPK dilarang berhubungan dengan pihak yang sedang berperkara. Gugatan ini tak hanya diajukan oleh Alex, tetapi juga dua pegawai KPK, yaitu Lies Kartika Sari dan Maria Fransiska.
Motivasi di Balik Gugatan Alex Marwata
Gugatan ini diajukan oleh Alex Marwata pada 4 November lalu, dengan dalih bahwa pasal tersebut "menghambat kewajiban hukum dan tugas serta tanggung jawab pimpinan KPK".Â
Pernyataan dari pengacara Alex, Periati BR Ginting, menyiratkan bahwa norma ini kontradiktif dan tidak relevan dengan tanggung jawab yang diemban oleh pimpinan KPK.Â
Tetapi, melihat tujuan UU KPK yang ada saat ini, gugatan ini justru memunculkan keraguan publik terhadap integritas pimpinan KPK, terutama di tengah sorotan terhadap rekam jejak Alex yang pernah bertemu dengan pihak berperkara, yang kini tengah diproses hukum.
Bagi publik, Pasal 36 bukanlah sekadar aturan. Pasal ini adalah simbol yang menjaga KPK dari kongkalikong dan risiko kompromi dalam penegakan hukum.Â
Jika pimpinan KPK bisa berhubungan bebas dengan pihak yang sedang diperiksa, dikhawatirkan batasan etik dan independensi institusi bisa terkikis. Tidak heran jika publik mempertanyakan, apakah langkah Alex ini benar-benar untuk "memperbaiki" KPK atau justru demi kepentingan pribadi?
Pasal 36: Penjaga Integritas KPK yang Diuji
Pasal 36 ayat a UU KPK melarang pimpinan berhubungan dengan pihak yang terlibat perkara untuk menjaga independensi dan integritas lembaga ini.Â
Pasal ini adalah ciri khas yang membedakan KPK dari institusi hukum lain dan menekankan komitmen untuk menempatkan lembaga antikorupsi ini di atas kepentingan pribadi maupun politik.Â
Justru di saat KPK sedang menghadapi tantangan dalam memperkuat kewibawaan dan marwahnya, upaya untuk menggugat pasal ini adalah preseden yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap KPK.
Sebagai salah satu pemimpin lembaga yang dipercayakan publik, Alex seharusnya menunjukkan sikap tegas dalam menjaga marwah institusi, bukan justru mencoba melemahkan pasal yang menjaga kredibilitas KPK.Â
Bila pasal ini diubah atau bahkan dihapus, apakah yang akan mencegah pimpinan KPK berikutnya melakukan hal serupa, atau bahkan lebih parah?
Mengapa Pimpinan KPK Terkesan Lebih Mementingkan Diri?
Gugatan Alex Marwata ini bukanlah kali pertama pimpinan KPK mengajukan perubahan peraturan yang dianggap melemahkan KPK.Â
Beberapa waktu lalu, pimpinan KPK juga mengajukan permintaan untuk memperpanjang masa jabatan mereka, yang kemudian disetujui.Â
Langkah-langkah semacam ini menciptakan kesan bahwa pimpinan KPK saat ini lebih fokus pada kepentingan pribadi dibanding memperkuat kelembagaan dan tujuan utama KPK dalam memberantas korupsi.
Alih-alih memperjuangkan kebijakan yang menguatkan integritas institusi, tampaknya yang menjadi prioritas justru kebijakan yang lebih menguntungkan posisi pimpinan secara personal.Â
Ini tentu sangat kontras dengan semangat para pendiri KPK, yang mencanangkan KPK sebagai lembaga yang tidak hanya memberantas korupsi, tetapi juga menjaga integritas lembaga dengan sangat ketat.
Bagaimana Seharusnya?
Jika benar-benar ingin memperbaiki sistem, alih-alih menghapus Pasal 36, aturan ini harusnya diperkuat. Misalnya, bisa dilakukan dengan menambahkan pengawasan ketat dalam setiap pertemuan pimpinan KPK dengan pihak luar.Â
Hal ini akan memberikan perlindungan ekstra bagi pimpinan KPK dan memastikan bahwa pertemuan semacam itu terjadi hanya dalam konteks yang sepenuhnya profesional dan transparan.
Di samping itu, sangat penting bagi pimpinan KPK untuk membangun kembali kepercayaan publik. Tanpa kepercayaan dari masyarakat, KPK tidak akan memiliki kekuatan penuh untuk menjalankan tugasnya.Â
Pimpinan KPK, seperti Alex Marwata, perlu menyadari bahwa setiap tindakannya akan diawasi dengan sangat ketat oleh masyarakat. Maka, setiap langkah haruslah ditujukan untuk memperkuat KPK, bukan melemahkan.
Pelajaran dari Jeruk Makan Jeruk
Ungkapan "jeruk makan jeruk" menggambarkan bagaimana pimpinan KPK justru berupaya mengubah aturan yang dibuat untuk menjaga kredibilitas institusinya sendiri.Â
Jika langkah ini berhasil, maka KPK bisa kehilangan salah satu pilar yang membuatnya dihormati sebagai lembaga penegak hukum yang independen.Â
Adalah ironis bahwa di tengah keadaan yang terpuruk, institusi ini justru terancam oleh orang-orang yang dipercayakan untuk memimpinnya.
Publik berharap agar pimpinan KPK memiliki dedikasi yang tak tergoyahkan dalam memberantas korupsi.Â
Sikap memanfaatkan kekuasaan untuk mengubah aturan demi kepentingan pribadi bukanlah jalan yang benar.Â
Sebaliknya, ini adalah pengkhianatan terhadap harapan rakyat yang mendambakan KPK sebagai lembaga yang bersih dan berintegritas.Â
Di saat negara ini tengah berjuang untuk memberantas korupsi, KPK justru butuh pemimpin yang menjunjung tinggi etika dan integritas, bukan yang mencari celah untuk melemahkan marwah lembaga.
Dengan segala kontroversi ini, kini saatnya bagi masyarakat untuk lebih kritis dan berani dalam menuntut transparansi.Â
Hanya dengan begitu, lembaga antikorupsi ini akan kembali ke jalur yang benar, menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi, dan menjaga kepercayaan rakyat yang telah lama digantungkan pada bahu KPK.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI