Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Wacana Mengembalikan Ujian Nasional, Mengulangi Kesalahan yang Sama?

31 Oktober 2024   08:33 Diperbarui: 31 Oktober 2024   09:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: kiprispdr.org

Presiden baru, kabinet baru, menteri pendidikan baru, dan kebijakan pendidikan baru. Fenomena ini sudah terasa seperti deja vu di Indonesia. Kini, muncul wacana untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN). Tentu wacana seperti ini sah-sah saja, namun penting untuk memastikan agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama di masa lalu.

Sejarah UN dan Alasan Penghapusan

Ujian Nasional pertama kali diterapkan sebagai tolok ukur evaluasi kemampuan akademis siswa di seluruh Indonesia. Namun, sejak awal pelaksanaannya, UN menuai kritik dari berbagai kalangan. 

Kritikus berpendapat bahwa UN terlalu berfokus pada standar akademis seragam, kurang memperhatikan perbedaan kemampuan dan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta kerap menjadi sumber tekanan psikologis bagi siswa.

Pada 2020, keputusan untuk menghapus UN dilakukan berdasarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk guru, siswa, dan para ahli pendidikan. Alasan utama penghapusan UN adalah untuk mengurangi beban siswa, menghindari penilaian yang hanya mengandalkan hasil ujian satu kali, serta mengedepankan penilaian berbasis proses atau asesmen yang lebih menyeluruh. 

Selain itu, penghapusan UN juga bertujuan untuk mendorong kurikulum yang lebih fleksibel dan relevan dengan perkembangan kompetensi abad ke-21.

Permasalahan Mendasar: Bukan Sekadar Sistem dan Kurikulum

Jika UN dipertimbangkan untuk dikembalikan, para pembuat kebijakan harus menyadari bahwa permasalahan pendidikan Indonesia lebih dalam dari sekadar ujian atau kurikulum. Berbagai data menunjukkan bahwa masalah utama pendidikan Indonesia justru terletak pada ketidakmerataan akses pendidikan, kualitas pengajar yang tidak merata, serta infrastruktur pendidikan yang sangat bervariasi antar daerah.

Kualitas Guru: Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, pada tahun 2022, lebih dari 30% guru di Indonesia belum memenuhi standar kualifikasi minimum. Kondisi ini terjadi terutama di daerah pedalaman dan terpencil, di mana distribusi guru berkualitas sangat terbatas.

Fasilitas Pendidikan yang Tidak Merata: Data dari BPS menunjukkan bahwa masih banyak sekolah di daerah pedesaan yang belum memiliki akses terhadap fasilitas dasar, seperti perpustakaan atau laboratorium. Di beberapa provinsi, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, bahkan masih banyak sekolah yang belum memiliki bangunan layak.

Kesenjangan Teknologi dan Infrastruktur: Dalam era digital, kesenjangan infrastruktur teknologi menjadi penghambat besar bagi pendidikan di daerah terpencil. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, masih ada sekitar 12.000 desa di Indonesia yang tidak memiliki akses internet memadai pada tahun 2023. Tanpa akses internet yang merata, penerapan kurikulum berbasis teknologi tentu tidak bisa dijalankan dengan efektif di seluruh Indonesia.

Tantangan Pendidikan Indonesia: Lebih dari Sekadar Ujian Nasional

Mengembalikan UN tanpa menyelesaikan masalah mendasar ini ibarat memberi obat sementara tanpa menyentuh akar masalah. Sebaliknya, kebijakan pendidikan perlu disesuaikan dengan realitas yang dihadapi di lapangan. Misalnya, evaluasi pendidikan yang mengandalkan standar perkotaan hanya akan memperburuk ketimpangan di daerah-daerah yang memiliki akses terbatas.

Indonesia adalah negara dengan beragam situasi pendidikan, mulai dari sekolah di kota besar yang memiliki fasilitas lengkap, hingga sekolah di pedalaman yang masih kekurangan tenaga pengajar dan alat penunjang. Kebijakan pendidikan yang sentralistik akan menyulitkan daerah-daerah dengan kondisi pendidikan yang tertinggal untuk mengejar standar nasional yang seragam.

Mengapa UN Sering Jadi Kontroversi?

Jika UN dikembalikan, ada beberapa potensi permasalahan yang perlu diantisipasi:

Tekanan Psikologis bagi Siswa: UN kerap membuat siswa mengalami stres berat karena hasil ujian ini dianggap sangat menentukan masa depan mereka. Dalam riset yang dilakukan Universitas Indonesia pada 2019, 60% siswa mengaku mengalami kecemasan berlebih saat mengikuti UN.

Tidak Mencerminkan Kompetensi Menyeluruh: UN yang bersifat satu kali penilaian tidak sepenuhnya mampu menilai perkembangan kompetensi siswa, terutama soft skills yang tidak terukur dalam ujian tertulis. Pada kurikulum yang terbaru, penekanan diberikan pada kolaborasi, kreativitas, dan pemikiran kritis, yang sulit diukur hanya dengan ujian tertulis.

Biaya Pelaksanaan yang Tinggi: Biaya untuk menyelenggarakan UN di seluruh Indonesia juga tidak sedikit. Anggaran besar ini bisa dialokasikan untuk perbaikan fasilitas sekolah atau pelatihan guru yang akan memberikan dampak lebih panjang dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Langkah yang Lebih Efektif dari Sekadar Mengembalikan UN

Jika tujuan utama dari wacana mengembalikan UN adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka perlu ada pertimbangan strategi lain yang lebih mendasar, di antaranya:

Peningkatan Kualitas Guru: Program sertifikasi dan pelatihan berkelanjutan bagi guru sangat penting untuk memastikan kualitas pendidikan yang baik. Guru yang terlatih tidak hanya mampu menyampaikan materi akademik dengan baik, tetapi juga dapat menjadi motivator dan inspirator bagi siswa.

Pembangunan Infrastruktur Pendidikan: Pemerintah perlu berkomitmen untuk memperbaiki fasilitas pendidikan terutama di daerah-daerah tertinggal. Tidak hanya bangunan sekolah, namun juga akses terhadap perpustakaan, laboratorium, serta fasilitas olahraga yang layak.

Pengembangan Sistem Penilaian yang Fleksibel: Sistem penilaian perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah. Evaluasi berbasis proses, seperti asesmen kompetensi minimum (AKM), dapat menjadi alternatif untuk mengukur kompetensi siswa tanpa menimbulkan tekanan seperti pada UN.

Perluasan Akses Internet dan Teknologi: Di era digital, akses internet menjadi salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah perlu berinvestasi lebih untuk memastikan bahwa sekolah-sekolah di daerah terpencil dapat terhubung dengan jaringan internet.

Bijak dalam Mengambil Kebijakan Pendidikan

Mengembalikan UN adalah wacana yang perlu ditimbang secara matang. Kebijakan pendidikan tidak boleh hanya menjadi eksperimen tanpa dasar yang kuat. Pendidikan menyangkut masa depan generasi muda, dan setiap perubahan yang dibuat harus mempertimbangkan dampak jangka panjang serta mengutamakan pemerataan kualitas pendidikan.

Indonesia membutuhkan kebijakan pendidikan yang tidak hanya berfokus pada hasil ujian, tetapi juga pada proses pembelajaran yang holistik. 

Para pengambil kebijakan perlu lebih berfokus pada upaya menuntaskan kesenjangan kualitas pendidikan, ketimbang terus mengganti-ganti sistem yang hanya akan membebani siswa dan sekolah. Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa sistem pendidikan Indonesia benar-benar berfungsi untuk mencerdaskan bangsa.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun