Pada tanggal 20 Oktober 2024, Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah politiknya. Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, dengan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebagai wakil presiden. Namun, ada satu momen yang menarik perhatian publik: absennya Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, dalam pelantikan tersebut. Resmi, Megawati dikabarkan tidak hadir karena alasan kesehatan setelah menempuh perjalanan panjang. Namun, dalam ranah politik, ketidakhadiran ini menyimpan sejumlah makna yang lebih dalam.
Bayangan Masa Lalu dan Ketegangan Politik
Megawati dan Prabowo pernah berbagi panggung politik dalam sejarah yang cukup panjang. Pada 2009, mereka bersama-sama maju sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden, meski hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Hubungan antara keduanya sejak saat itu disebut-sebut mengalami pasang surut, terutama setelah Prabowo memilih jalan berbeda dengan PDIP. Walaupun berulang kali dinyatakan bahwa tidak ada hambatan psikologis antara keduanya, ketidakhadiran Megawati pada momen penting ini bisa diartikan sebagai sinyal bahwa masih ada ganjalan, terutama dalam konteks hubungan antara Megawati dan Jokowi.
Prabowo mungkin tak punya masalah personal dengan Megawati, namun kehadiran Gibran sebagai wakil presiden bisa menjadi faktor yang membuat hubungan ini lebih rumit. Sebagai putra Jokowi, Gibran tetap terikat pada PDIP, meskipun banyak yang menilai bahwa langkah politiknya tak lagi sejalan dengan partai berlambang banteng tersebut. Di mata Megawati, ini bisa dianggap sebagai bentuk pengkhianatan, mengingat Jokowi dan Gibran secara formal masih menjadi kader PDIP.
Simbol Keengganan untuk Rekonsiliasi?
Ketidakhadiran Megawati juga dapat diartikan sebagai simbol dari sulitnya rekonsiliasi antara kelompok-kelompok politik yang selama ini berada dalam kubu berbeda. Pertemuan tokoh-tokoh besar politik di Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka adalah negarawan sejati yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas segala perbedaan politik. Namun, absennya Megawati bisa memperpanjang ketegangan politik, terutama di kalangan akar rumput.
Dalam politik, simbolisme seringkali lebih penting daripada kata-kata. Ketika tokoh sebesar Megawati tidak hadir dalam acara pelantikan seorang presiden, itu bukan hanya soal kesehatan, tapi juga sinyal kepada para pendukungnya dan rakyat Indonesia secara umum. Dalam konteks ini, ketidakhadiran Megawati dapat dilihat sebagai pernyataan diam yang sarat makna.
Makna Lebih Dalam bagi PDIP
Selain itu, ketidakhadiran ini juga bisa dipandang sebagai bentuk sikap PDIP terhadap pemerintahan yang baru. Meski Jokowi dan Gibran masih tercatat sebagai kader PDIP, partai tersebut kini berada di luar lingkaran kekuasaan. PDIP, yang selama satu dekade terakhir mendominasi panggung politik nasional, kini harus beradaptasi dengan perubahan lanskap politik di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Ketidakhadiran Megawati mungkin adalah tanda bahwa PDIP sedang menata langkah strategisnya, baik dalam hal oposisi maupun dalam menentukan arah kebijakan partai ke depan.
Bagi Gibran, ketidakhadiran Megawati juga bisa menjadi teguran halus. Meski secara politik ia kini berada di posisi penting, ketidakjelasan statusnya sebagai kader PDIP masih menjadi tanda tanya. Gibran dan Jokowi belum secara resmi dipecat atau mengundurkan diri dari PDIP, namun arah politik mereka sudah berbeda. Hal ini mungkin menjadi salah satu alasan Megawati merasa enggan untuk hadir, mengingat kompleksitas situasi ini.
Pentingnya Mendinginkan Suhu Politik
Ketegangan politik di Indonesia sering kali berakar pada pertarungan elite, yang kemudian merembet ke akar rumput. Polarisasi di masyarakat masih menjadi masalah serius. Para pendukung setia Prabowo, Jokowi, dan Megawati sering kali terlibat dalam perdebatan panas, baik di dunia nyata maupun media sosial. Di tengah situasi seperti ini, pertemuan tokoh-tokoh besar seperti Megawati dan Prabowo dapat menjadi simbol rekonsiliasi nasional yang sangat dinantikan oleh rakyat.
Ketidakhadiran Megawati pada pelantikan Prabowo-Gibran adalah kesempatan yang hilang untuk memperlihatkan kepada publik bahwa para pemimpin politik Indonesia mampu duduk bersama demi kepentingan bangsa. Pertemuan semacam itu bisa memberikan pesan yang jelas kepada rakyat bahwa perbedaan politik adalah hal yang wajar, namun kepentingan negara tetap harus diutamakan di atas segala perbedaan tersebut.
Apa yang Harus Dilakukan Megawati dan Tokoh Lainnya?
Dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan bukan hanya kehadiran fisik, tetapi juga sikap kenegarawanan yang mampu meredam ketegangan politik. Para tokoh bangsa, termasuk Megawati, seharusnya lebih aktif menunjukkan sikap yang bisa mempersatukan, bukan justru memperlebar jurang perbedaan. Meskipun Megawati tidak bisa hadir karena alasan kesehatan, seharusnya ada upaya lain yang lebih menonjol untuk menunjukkan dukungannya terhadap proses transisi kekuasaan yang damai dan stabil.
Di tengah tantangan global dan domestik yang semakin kompleks, Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu bekerja sama di atas segala perbedaan politik. Kehadiran dan pernyataan-pernyataan rekonsiliasi dari para tokoh bangsa sangat penting untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka mampu mengutamakan kepentingan negara di atas golongan dan pribadi.
Di masa depan, diharapkan para pemimpin Indonesia bisa lebih menunjukkan sikap kenegarawanan yang sejati. Sebab, di mata masyarakat, para pemimpin besar bukanlah mereka yang selalu menang dalam politik, tetapi mereka yang mampu merangkul semua pihak, bahkan lawan-lawan politiknya, demi kebaikan bangsa dan negara.
Tantangan di Masa Depan
Indonesia menghadapi tantangan besar di masa depan, mulai dari pemulihan ekonomi, krisis iklim, hingga polarisasi sosial-politik yang semakin tajam. Untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, diperlukan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya mementingkan kepentingan politik jangka pendek, tetapi juga kepentingan jangka panjang bangsa. Prabowo dan Gibran, sebagai pemimpin baru, akan menghadapi tugas berat dalam menjaga persatuan bangsa.
Dalam konteks ini, Megawati dan para tokoh politik lainnya diharapkan bisa memberikan dukungan penuh terhadap pemerintahan baru, bukan dalam artian mendukung secara politis, tetapi mendukung stabilitas politik dan keamanan nasional. Pada akhirnya, rakyat Indonesia mengharapkan keteladanan dari para pemimpin mereka---keteladanan dalam menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
Ketidakhadiran Megawati pada pelantikan Prabowo-Gibran memang disayangkan, tetapi hal ini bisa menjadi momentum untuk merefleksikan pentingnya sikap kenegarawanan di tengah persaingan politik yang ketat. Pada akhirnya, yang dibutuhkan Indonesia adalah para pemimpin yang bisa mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H