Bahlil Lahadalia. Bukan soal prestasinya yang berhasil meraih nilai cumlaude atau durasi studi yang terbilang singkat, yakni hanya empat semester. Tema disertasinya tentang hilirisasi nikel, yang relevan dengan perkembangan kebijakan pemerintah, juga tidak menjadi pokok bahasan utama. Justru yang menghebohkan adalah pertanyaan tentang proses yang dijalani Bahlil, yang dinilai "terlalu cepat".Â
Indonesia baru-baru ini diguncang oleh polemik seputar gelar doktoral yang diraih oleh Menteri Investasi,Spekulasi tentang adanya keistimewaan bagi pejabat publik seperti Bahlil kian merebak, memicu pertemuan khusus yang diadakan oleh para alumni dan Ikatan Guru Besar Universitas Indonesia (UI).
Namun, mengapa polemik ini begitu kuat menghantam Bahlil, sementara dalam waktu yang hampir bersamaan, figur publik lain seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Hasto Kristiyanto juga baru saja mempertahankan disertasi doktoral mereka tanpa kegaduhan yang serupa? Apakah ini benar-benar soal akademik, atau ada faktor politik yang bermain di balik sorotan publik terhadap Bahlil?
Fenomena Pejabat dan Gelar Akademik
Kritik terhadap gelar akademik pejabat publik bukanlah hal baru di Indonesia. Sebagian besar pejabat tinggi, terutama mereka yang menduduki posisi strategis di pemerintahan, sering kali mengejar gelar akademik sebagai bagian dari perjalanan karier mereka. Ada yang berpendapat bahwa gelar akademik, khususnya doktoral, menjadi alat untuk meningkatkan legitimasi dan kredibilitas di mata publik. Dalam banyak kasus, pejabat yang menyandang gelar doktor cenderung dianggap lebih kapabel, meskipun kualitas kerja mereka di lapangan belum tentu sepenuhnya terkait dengan capaian akademis tersebut.
Namun, polemik yang terjadi dalam kasus Bahlil menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pejabat yang sangat sibuk bisa benar-benar menjalani proses akademik secara jujur dan adil? Dengan tanggung jawab yang besar sebagai Menteri Investasi, apakah Bahlil dapat menjalani kehidupan akademik layaknya mahasiswa biasa, menyelesaikan tugas, penelitian, dan penulisan disertasi secara mandiri tanpa bantuan ekstra? Pertanyaan ini bukan hanya menyoal Bahlil secara pribadi, tetapi juga fenomena yang lebih luas mengenai bagaimana dunia akademik memperlakukan mereka yang berada dalam posisi kekuasaan.
Privilege Akademik untuk Pejabat: Fakta atau Spekulasi?
Bahlil tentu bukan pejabat pertama yang meraih gelar akademik di tengah kesibukan tugas kenegaraan. Banyak pejabat di Indonesia yang mengejar pendidikan tinggi sambil menjabat. Meski demikian, jarang sekali ada kritik atau pertanyaan yang diajukan mengenai proses akademik yang mereka jalani. Polemik ini bisa dilihat sebagai cerminan dari rasa skeptisisme publik terhadap dunia akademik yang kerap dianggap memberi keistimewaan bagi para pejabat.
Dalam konteks ini, timbul pertanyaan mendasar: apakah pejabat publik, terutama yang memegang jabatan strategis, mendapatkan perlakuan khusus dalam dunia akademik? Apakah mereka memiliki akses yang lebih mudah untuk menyelesaikan studi mereka, baik dalam bentuk waktu, fasilitas, maupun bimbingan akademik? Jika memang ada previlege, seberapa besar pengaruhnya terhadap kualitas hasil penelitian dan karya akademik mereka?
Kritik terhadap Bahlil dapat dilihat sebagai bagian dari kekhawatiran yang lebih luas mengenai integritas akademik di Indonesia. Jika publik meragukan kejujuran dalam proses pendidikan pejabat publik, maka ini bisa berdampak buruk pada kredibilitas dunia akademik secara keseluruhan. Bukan hanya soal satu kasus, tetapi bagaimana sistem pendidikan tinggi di Indonesia menjaga integritas dan keadilan bagi semua mahasiswa, tanpa memandang status sosial atau jabatan mereka.
Momen Refleksi untuk Dunia Akademik
Polemik ini hendaknya tidak dilihat sebagai serangan terhadap satu individu saja. Justru, ini bisa menjadi momen refleksi yang penting bagi dunia akademik di Indonesia. Apakah sistem pendidikan kita sudah cukup adil, transparan, dan akuntabel? Apakah proses akademik di perguruan tinggi telah menegakkan prinsip-prinsip kejujuran dan integritas dengan baik, atau ada celah yang memungkinkan penyalahgunaan oleh mereka yang memiliki kuasa atau pengaruh?
Dalam dunia akademik yang ideal, setiap mahasiswa, baik itu pejabat tinggi maupun warga biasa, harus diperlakukan sama di mata sistem. Mereka harus menjalani proses pendidikan yang setara, dengan tantangan dan kewajiban yang sama. Apabila ada indikasi bahwa pejabat publik mendapatkan perlakuan istimewa, hal ini tentu akan merusak kepercayaan terhadap institusi pendidikan tinggi.
Selain itu, fenomena "flexing intelektual" atau pamer gelar juga harus diwaspadai. Gelar akademik, terutama di tingkat doktoral, seharusnya mencerminkan dedikasi, penelitian mendalam, dan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan. Jika gelar tersebut hanya menjadi simbol status, maka hal ini akan merendahkan nilai pendidikan itu sendiri.
Apa yang Harus Diperbaiki?
Pertama-tama, perguruan tinggi harus memperketat pengawasan terhadap proses akademik, terutama bagi mereka yang memegang posisi penting di pemerintahan. Peraturan yang jelas dan transparan tentang waktu studi, syarat kelulusan, serta bimbingan disertasi harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Selain itu, evaluasi terhadap kinerja akademik pejabat publik harus dilakukan dengan ketat, dan tidak boleh ada toleransi terhadap pelanggaran integritas akademik.
Kedua, perlu ada penguatan pada mekanisme pengawasan eksternal terhadap proses akademik. Misalnya, lembaga-lembaga independen atau pengawas pendidikan dapat dilibatkan untuk memastikan bahwa proses pendidikan di perguruan tinggi bebas dari intervensi politik atau kepentingan pribadi.
Ketiga, pendidikan tinggi di Indonesia harus tetap berkomitmen untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan, integritas, dan akuntabilitas. Masyarakat juga perlu didorong untuk lebih kritis dalam menilai capaian akademik pejabat publik, bukan hanya dari gelar yang mereka peroleh, tetapi juga dari kualitas kontribusi mereka terhadap bidang ilmu yang mereka gelut.
Lebih dari Sekadar Gelar
Kasus Bahlil hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar dalam dunia akademik Indonesia. Ini adalah momen bagi kita semua untuk merenung dan bertanya: apakah pendidikan kita sudah mencerminkan nilai-nilai kejujuran dan integritas yang kita harapkan? Jika kita ingin dunia akademik kita menjadi pilar yang kuat bagi kemajuan bangsa, maka kita harus memastikan bahwa semua orang, tanpa terkecuali, menjalani proses pendidikan dengan adil dan jujur.
Lebih dari sekadar soal gelar, ini adalah tentang membangun kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan yang adil dan bermartabat.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H