Jokowi) meninggalkan banyak jejak dalam sejarah politik Indonesia. Sebagai pemimpin yang meraih kursi kepresidenan melalui dua Pilpres paling panas dalam sejarah, Jokowi berhasil membawa bangsa ini menuju berbagai kemajuan, namun juga menyisakan tantangan yang tak kalah besar, terutama terkait polarisasi politik dan fanatisme pendukungnya maupun lawan politiknya.Â
Satu dekade pemerintahan Joko Widodo (Polarisasi ini, yang begitu terasa sejak Pilpres 2014 dan 2019, terus berlanjut meski rival utamanya, Prabowo Subianto, telah bergabung dalam kabinetnya.Dalam kehidupan demokrasi yang ideal, perbedaan pandangan dan kritik merupakan elemen penting. Namun, apa yang terjadi di era Jokowi menimbulkan pertanyaan: apakah polarisasi dan fanatisme cocok dengan kehidupan demokrasi kita? Bagaimana fenomena ini mempengaruhi kualitas demokrasi Indonesia?
Polarisasi yang Tak Terhindarkan
Polarisasi di tengah masyarakat Indonesia pasca Pilpres 2014 dan 2019 memang menjadi topik perbincangan yang tidak bisa diabaikan. Persaingan sengit antara Jokowi dan Prabowo Subianto telah menciptakan dua kubu yang saling berseberangan, bahkan hingga ke akar rumput. Ketika dua tokoh ini bertarung, perbedaan bukan hanya sebatas pilihan politik, melainkan berubah menjadi identitas yang mendefinisikan banyak aspek kehidupan masyarakat.
Media sosial, yang seharusnya menjadi alat untuk memperkaya wacana demokrasi, justru memperparah polarisasi ini. Informasi yang dibagikan cenderung terkotak-kotak, memperkuat bias yang ada di antara pengguna. Setiap isu politik, sekecil apa pun, menjadi medan pertarungan sengit di dunia maya, dengan ujaran kebencian, hoaks, dan disinformasi sebagai senjata utama.
Bahkan setelah Prabowo menerima tawaran Jokowi untuk bergabung sebagai Menteri Pertahanan, polarisasi tidak mereda. Kubu-kubu yang terbentuk tetap kokoh, dengan sebagian masyarakat tetap menolak rekonsiliasi politik di level elit. Munculnya tokoh-tokoh politik baru tidak lantas meredakan ketegangan di tingkat bawah, yang semakin dalam terbagi antara pro-Jokowi dan anti-Jokowi. Fenomena ini menunjukkan bahwa polarisasi politik di Indonesia telah berakar kuat, bahkan di luar konteks pemilu.
Fanatisme: Musuh Demokrasi
Sikap fanatisme, baik dari pendukung Jokowi maupun lawan-lawan politiknya, adalah salah satu masalah besar yang dihadapi demokrasi Indonesia saat ini. Fanatisme, pada dasarnya, adalah musuh rasionalitas. Ketika seseorang menjadi terlalu fanatik, mereka cenderung menolak kebenaran yang objektif, hanya melihat dari perspektif yang sempit dan penuh emosi. Akibatnya, kritik yang sehat dan konstruktif terhadap pemerintah atau tokoh politik menjadi sulit diutarakan.
Dalam konteks pendukung fanatik, kita sering melihat bagaimana kritik terhadap Jokowi disambut dengan balasan yang tidak proporsional dari pengikut setianya, begitu pula sebaliknya. Media sosial menjadi medan pertempuran yang sengit, di mana penghinaan, caci maki, hingga ujaran kebencian kerap dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat. Namun, pada akhirnya, hal ini merusak demokrasi itu sendiri. Kritik yang seharusnya menjadi sarana untuk memperbaiki kebijakan atau kinerja pemerintah berubah menjadi serangan personal yang tidak berdasar.
Salah satu contoh ekstrem dari disinformasi yang menggerogoti demokrasi kita adalah isu palsu mengenai ijazah Jokowi. Meski telah berkali-kali dibantah secara formal oleh pihak Universitas Gadjah Mada (UGM), masih ada sekelompok orang yang terus menyebarkan hoaks bahwa ijazah Jokowi adalah palsu. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam situasi di mana fanatisme dan polarisasi telah menguasai wacana publik, fakta objektif seringkali kalah oleh narasi yang dibangun berdasarkan kebencian atau kepentingan politik sempit.
Media Sosial: Tempat Anonimitas dan Kebebasan yang Tidak Terkendali
Media sosial berperan besar dalam memperburuk situasi polarisasi di Indonesia. Anonimitas yang ditawarkan platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram memberikan kebebasan bagi para penggunanya untuk menyebarkan informasi tanpa tanggung jawab yang jelas. Kebebasan ini sering disalahgunakan oleh segelintir pihak untuk menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan disinformasi.
Fenomena ini semakin menguat di era Jokowi, di mana hampir setiap hari warganet terlibat dalam perdebatan panas, saling serang, dan bahkan menghina pribadi Jokowi dan keluarganya. Bagi mereka yang terjebak dalam fanatisme politik, caci maki dan penghinaan seringkali dianggap sebagai bentuk kritik. Padahal, kritik yang sehat harus berlandaskan fakta dan disampaikan secara konstruktif. Tanpa ini, kritik justru merusak dan memperlemah demokrasi.
Yang menarik, Jokowi sendiri terlihat enggan untuk terlalu menanggapi berbagai serangan pribadi yang diarahkan kepadanya, seolah ia mengedepankan sikap membiarkan kebebasan berekspresi tumbuh. Di satu sisi, hal ini mencerminkan komitmen Jokowi pada kebebasan berbicara di alam demokrasi. Namun, di sisi lain, sikap tersebut juga memicu semakin maraknya hoaks dan ujaran kebencian. Di negara dengan sistem hukum yang tegas, tindakan penghinaan pribadi dapat diganjar sanksi pidana, namun di Indonesia, sering kali tindakan semacam ini dibiarkan.
Demokrasi yang Sehat: Menerima Obyektivitas dan Kebenaran
Salah satu pelajaran terbesar dari polarisasi di era Jokowi adalah pentingnya menjaga demokrasi yang sehat dengan mengutamakan objektivitas dan kebenaran. Demokrasi akan hancur jika masyarakat menolak fakta dan memilih untuk berpegang pada narasi yang hanya menguntungkan pihak mereka. Hoaks dan disinformasi harus dilawan dengan fakta, sementara kritik harus dibangun berdasarkan analisis yang rasional, bukan emosi atau kebencian.
Di sinilah peran pendidikan politik bagi masyarakat menjadi sangat penting. Publik perlu diajarkan untuk bisa membedakan antara kritik yang sehat dan ujaran kebencian, antara fakta dan hoaks. Jika masyarakat bisa lebih kritis dalam menyikapi informasi dan lebih objektif dalam melihat realitas politik, maka fanatisme bisa diredam dan polarisasi dapat diminimalkan.
Apa Lagi yang Harus Diperhatikan?
Melihat refleksi 10 tahun Jokowi, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan ke depan. Pertama, penting bagi para pemimpin politik untuk terus mendorong persatuan dan meredam polarisasi, bukan justru memanfaatkannya demi keuntungan politik jangka pendek. Jokowi, dengan segala kebijakannya yang inklusif, telah memberi contoh dengan merangkul lawan politiknya demi kepentingan bangsa. Namun, pemimpin selanjutnya harus mampu melanjutkan warisan ini dan terus mendorong rekonsiliasi politik yang nyata.
Kedua, peran media, baik media sosial maupun media konvensional, harus semakin diperkuat untuk melawan disinformasi. Kebebasan berbicara memang penting dalam demokrasi, tetapi kebebasan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab. Media harus lebih tegas dalam memoderasi konten-konten yang mengandung hoaks, ujaran kebencian, dan penghinaan.
Ketiga, masyarakat perlu lebih aktif dalam menjaga kesehatan demokrasi. Demokrasi bukan hanya soal kebebasan memilih pemimpin setiap lima tahun, tetapi juga soal bagaimana kita berpartisipasi dalam wacana publik secara sehat dan bertanggung jawab.
Polarisasi dan fanatisme pendukung politik adalah tantangan besar bagi demokrasi Indonesia di era Jokowi. Meskipun demokrasi memberikan kebebasan berbicara, namun tanpa adanya tanggung jawab dalam menyampaikan kritik, kebebasan tersebut bisa berujung pada perpecahan yang merugikan bangsa. Pada akhirnya, refleksi 10 tahun Jokowi mengajarkan bahwa demokrasi yang sehat harus dibangun di atas fondasi objektivitas, kebenaran, dan sikap saling menghormati di tengah perbedaan. Kita semua memiliki peran untuk menjaga dan memperkuat demokrasi Indonesia, demi masa depan bangsa yang lebih baik.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI