Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Suap di Rutan KPK, Kok Bisa Ya?

24 September 2024   10:09 Diperbarui: 24 September 2024   10:09 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pertanyaan ini bukan hanya getir, tetapi juga menyentak kesadaran publik tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga yang seharusnya berdiri sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Bagaimana mungkin di tubuh lembaga ini justru terjadi praktek suap yang sangat memalukan? Praktek yang terungkap dalam persidangan penjaga rutan KPK, di mana muncul kisah tentang iuran wajib tahanan hingga suap untuk kepentingan pribadi petugas, mengguncang kepercayaan masyarakat.

Modus Operandi yang Terorganisir dan Rapi

Kasus suap di rutan KPK yang terungkap dalam persidangan para penjaga rutan KPK menunjukkan adanya modus operandi yang sudah berjalan selama bertahun-tahun. Suap yang dilakukan tidak sekadar terjadi secara individual, melainkan terorganisir dengan sangat rapi. Para narapidana korupsi yang ditahan di rutan KPK diduga harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkan perlakuan khusus, seperti kemudahan fasilitas atau bahkan kelonggaran aturan.

Dalam pengakuan yang terungkap, ada iuran wajib yang dikenakan pada tahanan, bahkan hingga kasus atap bocor di rumah penjaga rutan yang perbaikannya didanai oleh para narapidana. Ini bukan sekadar soal uang kecil, tetapi praktek suap yang sudah menjadi budaya di lingkungan yang seharusnya steril dari segala bentuk korupsi.

Contoh Suap dan Besaran Uang yang Disetorkan

Laporan dari persidangan menunjukkan besarnya suap yang harus disetorkan oleh narapidana korupsi agar mendapatkan kemudahan. Besaran uang suap bervariasi tergantung pada jenis fasilitas yang diinginkan. Dalam beberapa kasus, disebutkan bahwa para tahanan harus menyetorkan puluhan hingga ratusan juta rupiah kepada para penjaga rutan.

Sebagai contoh, seorang narapidana bisa saja membayar Rp50 juta hingga Rp100 juta untuk mendapatkan fasilitas khusus seperti telepon genggam, ruangan pribadi yang lebih nyaman, atau bahkan kunjungan keluarga yang lebih fleksibel. Jika tidak membayar, mereka diancam dengan hukuman tambahan, termasuk dipersulit dalam proses hukum atau dipindahkan ke sel yang lebih tidak nyaman.

Ini menunjukkan bahwa praktek suap ini bukan hanya soal pelanggaran aturan, tetapi juga tentang pemerasan sistematis yang dilakukan terhadap para tahanan. Fakta ini menciptakan ironi besar: di rutan KPK, di mana para koruptor seharusnya diawasi ketat, justru terjadi korupsi di balik jeruji besi.

Rutan KPK dan Penjara Lain: Fenomena yang Sama?

Pertanyaan besar yang muncul setelah terbongkarnya skandal suap di rutan KPK adalah: jika di lembaga anti-korupsi seperti KPK hal ini bisa terjadi, bagaimana dengan rutan-rutan lainnya? Sebenarnya, praktek suap di lembaga pemasyarakatan sudah bukan rahasia lagi. Kasus-kasus seperti narapidana yang bisa keluar-masuk penjara, memiliki akses telepon, bahkan berbisnis dari balik jeruji telah banyak diungkap.

Namun, skandal yang terjadi di rutan KPK lebih mengejutkan karena menyangkut institusi yang selama ini diharapkan menjadi simbol kebersihan dari korupsi. Jika di KPK saja ini terjadi, bagaimana kita bisa berharap bahwa lembaga pemasyarakatan lain di Indonesia bebas dari praktek serupa? Sistem pengawasan yang longgar dan mentalitas korup dalam tubuh birokrasi menjadi akar masalah yang harus segera diatasi.

Mengapa Hal Ini Terjadi di Rutan KPK?

Beberapa faktor bisa menjelaskan mengapa praktek suap ini bisa terjadi bahkan di rutan KPK. Pertama, ada masalah integritas individu. Para penjaga rutan KPK, meskipun bekerja di lembaga anti-korupsi, tetap manusia biasa yang rentan terhadap godaan uang. Kedua, ada masalah sistemik di mana mekanisme pengawasan internal yang lemah memungkinkan praktek-praktek suap ini berlangsung tanpa terdeteksi selama bertahun-tahun.

Ketiga, lingkungan yang korup juga memperbesar peluang terjadinya suap. Dalam hal ini, tahanan korupsi yang terbiasa dengan uang dan kekuasaan mungkin memanfaatkan kekayaan mereka untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Mereka tahu bahwa dengan memberikan sejumlah uang, mereka bisa mendapatkan keuntungan tertentu, dan penjaga yang tidak memiliki integritas kuat mungkin tergoda untuk mengambil suap tersebut.

Siapa yang Paling Bertanggung Jawab?

Tentu saja, tanggung jawab terbesar ada pada para individu yang terlibat langsung dalam praktek suap tersebut. Penjaga rutan yang menerima suap jelas melanggar hukum dan etika. Namun, tanggung jawab juga ada pada manajemen KPK secara keseluruhan, terutama mereka yang bertugas dalam pengawasan internal. Seharusnya, KPK memiliki sistem pengawasan yang kuat untuk mencegah praktek-praktek seperti ini terjadi.

Lebih luas lagi, tanggung jawab juga ada pada pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa lembaga-lembaga penegak hukum memiliki integritas yang tinggi, dan masyarakat harus terus mengawasi kinerja lembaga-lembaga ini. KPK bukanlah lembaga yang berdiri sendiri; keberhasilannya dalam memberantas korupsi juga bergantung pada dukungan dan pengawasan publik.

Bagaimana Mengatasi Masalah Ini?

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah suap di rutan KPK, serta mencegahnya terjadi di masa depan. Pertama, perkuat pengawasan internal di lingkungan KPK. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan teknologi pengawasan, seperti memasang kamera pengintai di seluruh area rutan, serta mengatur rotasi petugas secara berkala untuk mencegah terjadinya kolusi antara tahanan dan penjaga.

Kedua, tingkatkan sanksi bagi mereka yang terbukti melakukan suap, baik dari pihak penjaga rutan maupun narapidana. Sanksi yang tegas akan memberikan efek jera dan menurunkan insentif bagi pihak-pihak yang mencoba melakukan suap.

Ketiga, pendidikan dan pelatihan tentang integritas bagi para petugas rutan juga sangat penting. Mereka harus dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman yang kuat tentang bahaya korupsi serta dilengkapi dengan program-program yang mendukung integritas.

Apakah KPK Masih Layak Menyandang Status Lembaga Anti-Korupsi?

Kasus suap di rutan KPK memang mencoreng reputasi lembaga tersebut, tetapi ini tidak berarti bahwa KPK harus dibubarkan. Meski ada kelemahan di tubuh KPK, institusi ini masih memegang peran penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Membubarkan KPK bukanlah solusi, tetapi memperkuatnya dengan reformasi internal yang lebih tegas adalah langkah yang lebih baik.

KPK harus merefleksikan diri dan berbenah agar kejadian memalukan seperti ini tidak terulang. Dukungan masyarakat tetap penting untuk memastikan bahwa KPK bisa kembali berfungsi sesuai dengan tujuannya: memberantas korupsi tanpa pandang bulu, termasuk di dalam tubuhnya sendiri.

Kasus suap di rutan KPK adalah cerminan dari betapa seriusnya masalah korupsi di Indonesia, bahkan di lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir. Namun, ini juga menjadi momen penting bagi kita untuk memperkuat komitmen dalam memerangi korupsi. Perbaikan harus dimulai dari pengawasan internal yang ketat, pemberian sanksi yang tegas, dan pendidikan integritas bagi semua pihak yang terlibat. KPK masih patut dipertahankan, tetapi reformasi mendalam harus segera dilakukan untuk menjaga kepercayaan publik.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun