Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hilirisasi Hal Sederhana, Mengapa Baru Sekarang Terlaksana?

21 September 2024   07:59 Diperbarui: 21 September 2024   09:28 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia akhirnya mulai serius mengimplementasikan hilirisasi industri. Pertanyaannya adalah, mengapa butuh waktu begitu lama untuk sampai pada titik ini? Apakah hilirisasi benar-benar serumit itu, atau ada faktor lain yang menghalangi terlaksananya kebijakan ini sebelumnya? Jika hilirisasi merupakan konsep sederhana, mengapa presiden-presiden terdahulu tidak berani melangkah sejauh ini? 

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, agenda hilirisasi kini menjadi salah satu tonggak utama dalam perekonomian Indonesia, dengan harapan membalikkan kutukan yang sering dialami oleh negara-negara kaya sumber daya alam.

Kutukan Sumber Daya Alam: Kaya SDA, Miskin Kemakmuran

Negara-negara yang memiliki sumber daya alam melimpah sering kali justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Fenomena ini dikenal sebagai resource curse atau kutukan sumber daya alam. Meskipun diberkahi dengan tambang emas, minyak bumi, gas alam, atau bijih nikel, banyak negara dengan SDA besar tidak mampu mencapai tingkat kesejahteraan yang sebanding dengan kekayaan alamnya. Alasannya sederhana: mereka hanya menjual bahan mentah.

Ketika negara hanya mengekspor bahan mentah, nilai tambah dari komoditas tersebut sangatlah rendah. Misalnya, negara-negara industri seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman yang tidak memiliki sumber daya alam sebanyak Indonesia, mampu mengolah bahan mentah yang mereka impor menjadi barang jadi yang dijual kembali dengan harga yang berkali-kali lipat. Mereka menikmati hasil hilirisasi yang seharusnya bisa dinikmati negara asal bahan mentah.

Mengapa Baru Sekarang?

Hilirisasi sebenarnya bukanlah konsep baru dalam ekonomi. Di berbagai negara maju, industri hilir menjadi mesin utama perekonomian, mengubah bahan mentah menjadi produk bernilai tinggi. Namun, di Indonesia, kebijakan hilirisasi kerap kali terbentur berbagai tantangan, mulai dari minimnya infrastruktur, ketergantungan pada investor asing, hingga masalah regulasi yang belum mendukung secara optimal.

Presiden-presiden sebelum Jokowi, meski memahami pentingnya hilirisasi, tampaknya belum siap menghadapi tantangan besar ini. Kebijakan mereka lebih banyak difokuskan pada menjaga stabilitas ekonomi jangka pendek dengan memanfaatkan hasil ekspor SDA mentah untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Belum ada upaya serius untuk membangun industri yang mampu mengolah SDA dalam negeri menjadi produk jadi.

Namun, Presiden Joko Widodo mengambil langkah berbeda. Ia memahami bahwa tanpa hilirisasi, Indonesia akan terus menjadi negara yang kaya SDA tetapi miskin kemakmuran. Jokowi menyadari, jika Indonesia tidak berani memulai hilirisasi sekarang, negara ini akan terus terjebak dalam ketergantungan pada negara-negara maju yang menikmati hasil dari bahan mentah kita.

Contoh Sumber Daya Alam yang Bernilai Berlipat Ganda

1. Nikel: Sebelum diolah, harga bijih nikel per ton hanya sekitar $40-$50. Namun setelah diolah menjadi stainless steel atau komponen baterai untuk kendaraan listrik, nilainya bisa melonjak hingga $20,000 per ton. Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar nikel di dunia kini sedang menggenjot hilirisasi untuk mendukung industri kendaraan listrik global.

2. Karet: Harga karet mentah per kilogram hanya sekitar $1-$2. Setelah diolah menjadi ban atau produk berbasis karet lainnya, harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan dolar per kilogram, tergantung pada jenis produk yang dihasilkan.

3. Kelapa Sawit: Harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) per ton berkisar antara $500-$700. Namun setelah diolah menjadi biodiesel atau produk turunan lainnya seperti kosmetik dan makanan, nilainya bisa mencapai ribuan dolar per ton.

4. Tembaga: Harga tembaga mentah per ton sekitar $8,000-$9,000. Namun setelah diolah menjadi kabel listrik atau komponen elektronik, nilainya bisa meningkat berkali-kali lipat, terutama di tengah tingginya permintaan akan teknologi dan energi terbarukan.

Dengan hilirisasi, Indonesia memiliki potensi untuk mengubah bahan mentah menjadi produk jadi, sehingga menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan negara, dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

Tantangan Global: Tekanan dari Negara-Negara Penikmat SDA

Meski demikian, upaya hilirisasi ini tidak datang tanpa hambatan. Negara-negara maju yang selama ini menikmati keuntungan dari bahan mentah Indonesia tentu tidak tinggal diam. Mereka mengajukan gugatan di pengadilan internasional, memprotes kebijakan Indonesia yang mulai membatasi ekspor bahan mentah untuk mendukung hilirisasi. Salah satu contohnya adalah Uni Eropa yang menggugat Indonesia ke WTO terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel.

Namun, Presiden Jokowi tidak gentar. Meskipun ada tekanan dari luar, ia tetap pada pendiriannya bahwa hilirisasi adalah jalan terbaik bagi Indonesia untuk keluar dari ketergantungan pada negara asing dan meningkatkan daya saing global.

"Kita mungkin kalah di meja hijau, tapi kita tidak akan pernah kalah dalam semangat untuk mengubah Indonesia menjadi negara industri yang kuat," demikian sering kali Jokowi menegaskan. Bagi Jokowi, hilirisasi adalah sebuah langkah strategis yang harus diambil untuk mewujudkan mimpi besar Indonesia sebagai negara industri yang mandiri dan kaya.

Tantangan dari Dalam Negeri

Anehnya, tantangan terhadap hilirisasi tidak hanya datang dari luar negeri. Di dalam negeri sendiri, ada kelompok-kelompok yang skeptis terhadap upaya ini. Mereka menganggap bahwa hilirisasi hanya akan meningkatkan biaya produksi dan mempersulit ekonomi nasional. Beberapa bahkan menuding bahwa langkah Jokowi ini terlalu ambisius dan berisiko tinggi.

Namun, Jokowi tetap teguh pada keyakinannya. Bagi dia, tantangan ini adalah bagian dari perjalanan besar yang harus dihadapi jika Indonesia ingin keluar dari bayang-bayang kutukan sumber daya alam. Ia tidak peduli dengan berbagai kritik yang menyebutnya "planga-plongo" atau tidak tegas. Yang penting bagi Jokowi adalah hasil jangka panjang yang bisa diraih dari kebijakan ini.

Masa Depan Indonesia di Tangan Hilirisasi

Jika kita melihat potensi yang bisa dihasilkan dari hilirisasi, masa depan Indonesia bisa sangat cerah. Dengan mengolah sendiri sumber daya alamnya, Indonesia dapat meningkatkan pendapatan negara, menciptakan lapangan kerja baru, dan mengurangi ketergantungan pada negara-negara asing. Hilirisasi juga memungkinkan Indonesia untuk mengekspor produk jadi yang bernilai tinggi, bukan hanya bahan mentah yang harganya fluktuatif di pasar global.

Ini adalah langkah besar yang memerlukan dukungan penuh dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat luas. Dengan hilirisasi, Indonesia bukan hanya menjadi negara yang kaya sumber daya alam, tetapi juga negara industri yang kuat, mandiri, dan sejahtera.

Hilirisasi memang tampak sebagai hal sederhana, namun realisasinya membutuhkan tekad besar, kepemimpinan yang kuat, dan keberanian menghadapi tekanan. Pertanyaannya, apakah kita siap untuk mendukung langkah besar ini? Jika iya, maka Indonesia siap menyongsong era baru yang lebih makmur.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun