Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Skenario Menggoyang Gibran, Mengapa Bukan Prabowo?

19 September 2024   07:10 Diperbarui: 19 September 2024   07:21 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar: kompas.com

Saat ini, serangan terhadap Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo sekaligus putra Presiden Jokowi, semakin intensif, seiring mendekatnya hari pelantikan. Banyak pihak yang menduga-duga ada skenario di balik semua ini. Salah satunya adalah upaya memecah hubungan baik antara Gibran dan Prabowo Subianto, sang presiden terpilih. Tapi tunggu dulu, mengapa Gibran yang jadi sasaran, bukan Prabowo?

Mari kita lihat beberapa drama absurd yang sudah kita saksikan bersama. Dimulai dengan isu jet pribadi Kaesang. Ya, Kaesang, adik Gibran, tiba-tiba dikaitkan dengan kerjasama Gibran sebagai walikota Solo yang katanya punya kontrak dengan yang punya pesawat. Sungguh sebuah langkah cerdik -- atau mungkin lebih tepat disebut kreatif tanpa dasar? Bagaimana caranya Kaesang naik jet pribadi, tapi yang dipermasalahkan malah Gibran? Ini seperti menuduh supir bus kota karena penumpangnya naik angkot. Logika yang memusingkan, bukan?

Lalu, muncul lagi cerita soal akun Kaskus misterius dengan nama samaran "Fufufafa." Akun ini entah bagaimana diseret ke dalam pusaran Gibran. Dan inilah saat ketika sang "ahli segala hal" Roy Suryo melangkah ke depan panggung, mengklaim bahwa Gibran adalah pemilik akun ini. Mungkin Roy Suryo mendapat inspirasi dari Sherlock Holmes (atau lebih tepatnya, Scooby-Doo?). Menggunakan apa yang disebutnya sebagai "keahlian telematika," ia berusaha meyakinkan publik bahwa Gibran-lah orang di balik akun tersebut. 

Tapi jika ditelaah lebih dalam, argumen ini lebih cocok masuk ke rubrik teori konspirasi daripada investigasi serius. Metode yang dipakai Roy lebih mengarah ke seni "gatuk-gatuk", alias cocoklogi---ketika sesuatu yang tampak tak terhubung dipaksa untuk saling berkaitan. Bayangkan dia berdiri dengan selembar peta besar, jarum pentul, dan benang merah, mencoba merajut benang antara Fufufafa dan Gibran.

Yang lebih menarik lagi adalah media mainstream yang ikut-ikutan mengangkat isu ini. Sepertinya, ada daya tarik tersendiri dalam melempar nama Gibran ke kolam rumor yang keruh ini. Semuanya terlihat seperti upaya untuk menggoyang hubungan Gibran dan Prabowo. Tapi apakah sesederhana itu?

Pertanyaan Besar: Mengapa Bukan Prabowo?

Kita tahu, dalam politik Indonesia, Prabowo bukanlah sosok yang mudah digoyang. Saking kerasnya, mungkin batu kali pun bisa minder di hadapannya. Jadi, mengapa Gibran yang jadi target, dan bukan Prabowo? Jawabannya bisa jadi sederhana: takut.

Pertama, karakter Prabowo sangat berbeda dengan Gibran. Jika Gibran dikenal santai dan sering tampil kalem, Prabowo lebih dikenal sebagai sosok yang tegas dan meledak-ledak. Ini seperti membandingkan air sungai yang tenang dengan gunung berapi yang siap meletus. Menyerang Gibran mungkin dianggap lebih mudah, lebih "aman." Lagipula, mereka yang menyerang mungkin merasa ada peluang untuk mengadu domba. Siapa tahu, Gibran yang masih muda bisa terbawa emosi? Sayangnya, skenario ini tampaknya gagal. Alih-alih pecah, hubungan Gibran dan Prabowo justru semakin kuat---seperti kopi hitam dan gorengan yang saling melengkapi di sore hari.

Kedua, ada dugaan lain: takut dengan pendukung Prabowo. Ya, ini masuk akal. Pendukung Prabowo terkenal militan dan solid, seperti pahlawan super yang selalu siap membela idola mereka. Siapa yang mau mengambil risiko berhadapan dengan mereka? Kalau menyerang Gibran, ya paling-paling hanya memancing simpati dari netizen yang sudah bosan dengan drama politik.

Gibran: Sasaran Empuk atau Tokoh Masa Depan?

Sejauh ini, semua serangan yang diarahkan ke Gibran tampak seperti angin sepoi-sepoi yang berusaha menumbangkan pohon beringin. Alih-alih meruntuhkan karier politiknya, isu-isu yang dilempar justru bisa jadi memperkuat posisi Gibran di mata publik. Seperti yang sering kita lihat, makin diserang, makin kuat seseorang dalam dunia politik Indonesia. Jadi, jika skenario yang mereka rancang adalah untuk membuat Gibran lemah, mereka mungkin harus segera menyusun rencana baru.

Seberapa besar pun upaya memecah hubungan antara Gibran dan Prabowo, skenario ini terasa terlalu berlebihan. Ini seperti mencoba memisahkan duo superhero yang sudah terbukti solid. Dan alih-alih berhasil, mereka malah memberi lebih banyak bahan lelucon kepada publik. Di penghujung hari, mungkin yang mereka lupa adalah: politik bukan hanya soal rumor dan teori konspirasi, tapi juga tentang kualitas dan kepercayaan.

Kesimpulannya? Gibran mungkin menjadi sasaran, tetapi jangan salah. Ia bukan sosok lemah yang mudah dipermainkan. Justru, semakin keras serangan, semakin kuat ia akan muncul di panggung politik nasional. Dan sementara itu, Prabowo tetap berdiri kokoh di belakangnya, tersenyum lebar dengan segala kekuatan yang ia miliki. Jadi, jika pertanyaannya mengapa bukan Prabowo yang diserang, mungkin jawabannya ada di wajah para penyerang: mereka tahu, terlalu berbahaya untuk mencoba.

Jadi mari kita nikmati drama ini dengan secangkir kopi dan senyum kecil di sudut bibir, sambil menyaksikan bagaimana Gibran dan Prabowo terus berlayar melewati badai tanpa goyah.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun