Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ekspor Sedimentasi Pasir: Kepentingan Ekonomi Versus Kelestarian Ekologi

18 September 2024   23:13 Diperbarui: 19 September 2024   05:05 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia menandatangani undang-undang baru yang memperbolehkan kembali ekspor sedimentasi pasir laut setelah 20 tahun larangan total. Kebijakan ini memicu perdebatan sengit antara keuntungan ekonomi dan ancaman terhadap ekologi. Di satu sisi, pemerintah berdalih bahwa sedimentasi laut, terutama di muara-muara sungai dan pelabuhan, mengganggu akses pelayaran dan ekonomi maritim. Namun, di sisi lain, banyak pihak mengkhawatirkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan laut dan biodiversitas yang terancam.Mengapa Pemerintah Mengeluarkan Kebijakan Ini?

Pemerintah menyatakan bahwa sedimentasi pasir laut di area strategis seperti pelabuhan dan muara sungai menjadi masalah serius. Endapan pasir tersebut mempersempit jalur pelayaran, menyebabkan kapal-kapal kesulitan berlabuh atau lewat. Dampaknya, aktivitas perdagangan di pelabuhan-pelabuhan penting terganggu, mempengaruhi distribusi barang baik dalam negeri maupun ekspor-impor.

Untuk menanggulangi sedimentasi yang dianggap sebagai penghambat ekonomi, pemerintah memutuskan bahwa pasir yang dikeruk dari proses ini dapat diekspor kembali, dengan asumsi bahwa penjualan pasir akan memberikan manfaat ekonomi bagi negara, terutama melalui devisa. Kebijakan ini juga menjadi cara bagi pemerintah untuk mempercepat pemulihan akses pelayaran tanpa perlu mengeluarkan anggaran besar untuk pengerukan.

Isi UU tentang Ekspor Sedimentasi Pasir

Undang-undang yang baru disahkan ini mengatur beberapa poin utama terkait ekspor sedimentasi pasir laut:

Sedimentasi Laut: Proses pengerukan yang dilakukan bertujuan untuk membersihkan jalur pelayaran yang terganggu oleh endapan pasir.

Ekspor Diperbolehkan: Pasir hasil pengerukan diperbolehkan untuk diekspor apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, dengan syarat ekspor ini harus melalui pengawasan ketat.

Pemanfaatan Ekonomi: Penjualan pasir diharapkan dapat menambah pemasukan negara melalui devisa, terutama dari negara-negara tetangga seperti Singapura, yang merupakan pembeli utama pasir laut Indonesia.

Pengawasan dan Evaluasi: Pemerintah menjanjikan akan ada pengawasan ketat dan evaluasi berkala untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak merusak lingkungan laut.

Kepentingan Ekonomi vs Kelestarian Ekologi

Meskipun pemerintah mengklaim kebijakan ini bertujuan untuk mendukung ekonomi maritim dan infrastruktur pelabuhan, banyak yang menentangnya. Sebagian besar kritik datang dari kelompok lingkungan, akademisi, dan aktivis yang menyoroti potensi kerusakan ekologi yang besar. Laut Indonesia merupakan ekosistem yang sangat beragam dan kaya, tempat bagi ribuan spesies yang hidup dan berkembang biak. Setiap gangguan terhadap habitat laut, termasuk pengambilan pasir, dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.

Sedimentasi laut memiliki peran penting dalam ekosistem, misalnya menjadi tempat bertelur bagi ikan dan biota laut lainnya. Pengambilan pasir dalam jumlah besar, meskipun dengan dalih sedimentasi, bisa merusak habitat-habitat penting ini dan mengurangi produktivitas laut. Lebih parah lagi, jika pengawasan tidak ketat, pasir-pasir yang diambil bisa berasal dari daerah yang bukan hanya sedimentasi, tapi juga dari ekosistem yang sensitif.

Kontroversi Ekspor Pasir ke Singapura

Salah satu alasan utama kritik terhadap kebijakan ini adalah fakta bahwa pasir yang diekspor kebanyakan akan dijual ke Singapura. Negara tetangga tersebut telah lama menjadi pembeli utama pasir laut Indonesia untuk proyek reklamasi besar-besaran yang memperluas daratan mereka. Reklamasi pantai Singapura secara signifikan memperluas garis pantainya, sementara Indonesia mengalami kerugian lingkungan karena hilangnya pasir laut. Para penentang kebijakan ini menilai bahwa Indonesia seperti "menjual" kekayaan alamnya hanya untuk memperkaya tetangganya.

Meskipun pemerintah berjanji bahwa ekspor hanya akan dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi, banyak pihak masih khawatir bahwa dengan pengawasan yang longgar, pasir laut akan lebih mudah "dibocorkan" untuk diekspor. Selain itu, catatan sejarah menunjukkan bahwa perijinan pengerukan dan ekspor pasir seringkali disalahgunakan, dengan praktik jual-beli izin yang merugikan kepentingan nasional.

Apa yang Harus Dilakukan untuk Mengantisipasi Kerusakan Ekologi?

Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk meminimalkan risiko kerusakan ekologi akibat kebijakan ini:

Pengawasan Ketat: Pemerintah harus memastikan bahwa setiap proses pengerukan pasir laut dilakukan dengan transparan dan diawasi secara ketat. Pengawasan independen oleh pihak ketiga, seperti LSM lingkungan atau universitas, perlu dilibatkan untuk memastikan bahwa pengerukan hanya dilakukan di lokasi sedimentasi yang memang mengganggu pelayaran.

Perizinan yang Ketat dan Terbatas: Izin pengerukan pasir harus diberikan dengan sangat selektif. Pemerintah harus memperbaiki sistem perijinan agar tidak mudah disalahgunakan dan memperketat syarat serta ketentuan bagi perusahaan yang ingin melakukan ekspor pasir. Perlu ada sanksi tegas bagi mereka yang melanggar aturan, termasuk pencabutan izin dan denda berat.

Evaluasi Berkala: Kebijakan ekspor sedimentasi pasir harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan dampaknya terhadap ekologi laut. Setiap kerusakan yang terdeteksi harus segera ditindaklanjuti, dengan menghentikan sementara kegiatan pengerukan di area yang terdampak hingga ekosistem dapat pulih.

Peningkatan Penelitian dan Edukasi: Penelitian lebih lanjut tentang dampak pengerukan pasir laut terhadap ekosistem perlu dilakukan, termasuk dampak jangka panjang pada ekosistem perairan. Hasil penelitian ini harus dijadikan acuan dalam pembuatan kebijakan yang lebih bijak di masa depan.

Keterlibatan Masyarakat: Masyarakat pesisir yang paling terdampak oleh aktivitas pengerukan pasir harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mereka bisa menjadi "mata dan telinga" yang membantu pemerintah dalam mengawasi kegiatan pengerukan dan ekspor pasir.

Masalah yang Sudah Terjadi

Sebelumnya, kegiatan ekspor pasir laut sering diwarnai dengan berbagai masalah, seperti pengawasan yang longgar, korupsi dalam pemberian izin, dan dampak lingkungan yang tidak terkontrol. Ada kasus-kasus di mana pengerukan dilakukan di luar area yang diizinkan, mengakibatkan hilangnya pulau-pulau kecil dan rusaknya ekosistem terumbu karang. Selain itu, praktik jual beli izin juga kerap ditemukan, di mana pihak yang tidak berwenang memperjualbelikan izin pengerukan untuk keuntungan pribadi.

Kebijakan ini seharusnya tidak hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi, tetapi juga perlu menimbang kepentingan kelestarian ekologi laut. Jika pemerintah gagal menerapkan pengawasan yang ketat dan menegakkan aturan secara konsisten, ekosistem laut yang kaya dan penting bagi kehidupan masyarakat pesisir akan menjadi korban. Keputusan untuk membuka kembali ekspor sedimentasi pasir adalah langkah yang kontroversial, namun dengan pengelolaan yang benar, Indonesia bisa mendapatkan manfaat ekonomi tanpa harus mengorbankan kelestarian lingkungan.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun