Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Macet Parah Lagi di Puncak: Apakah Tidak Ada Solusinya?

17 September 2024   10:44 Diperbarui: 18 September 2024   07:47 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: kompas.com

Setiap kali libur panjang atau akhir pekan, kawasan Puncak selalu menjadi destinasi favorit bagi warga Jabodetabek yang mencari udara segar dan pemandangan hijau. Namun, di balik pesonanya yang memikat, ada satu masalah yang seolah tidak pernah ada habisnya: kemacetan parah. 

Bahkan, pada weekend panjang ini, kemacetan yang terjadi sangat parah sampai harus terjebak 17 jam dan bahkan menyebabkan tragedi meninggalnya seorang pengendara. Ini bukan pertama kalinya, dan tampaknya masalah ini sudah menjadi momok tahunan. Pertanyaannya, apakah benar tidak ada solusi untuk masalah kemacetan ini?

Berbagai Upaya yang Sudah Ditempuh

Pemerintah dan pihak berwenang sebenarnya sudah mencoba berbagai cara untuk mengurai kemacetan di kawasan Puncak. Mulai dari sistem lalu lintas bergantian satu arah, penerapan kebijakan ganjil-genap, hingga pembatasan jumlah kendaraan. Pada hari-hari tertentu, lalu lintas diatur untuk hanya mengalir satu arah, yakni dari Jakarta menuju Puncak pada pagi hari dan sebaliknya pada sore hari. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi penumpukan kendaraan, namun sayangnya belum memberikan hasil yang signifikan.

Kebijakan ganjil-genap pun diterapkan untuk membatasi jumlah kendaraan yang bisa naik ke Puncak berdasarkan angka terakhir plat nomor kendaraan. Meskipun kebijakan ini sempat memberikan dampak positif, kemacetan tetap menjadi masalah akut terutama saat volume kendaraan melonjak pada libur panjang.

Titik Kritis Kemacetan: Simpang Empat dan Pasar

Bagi mereka yang sering berlibur ke Puncak, ada satu titik yang selalu menjadi biang kemacetan, yakni area sebelum simpang menuju Taman Safari. Di sini, terdapat simpang empat dan pasar tumpah yang kerap kali memicu kemacetan bahkan di hari biasa. Hal ini menjadi semakin parah saat volume kendaraan meningkat.

Pada simpang ini, kendaraan yang datang dari berbagai arah bertemu dan sering kali terjadi penumpukan yang tak terhindarkan. Sayangnya, meski masalah ini sudah lama dikenal, tampaknya tidak ada langkah konkret yang diambil untuk memperbaiki tata kelola lalu lintas di sini. Tidak ada rekayasa lalu lintas yang memadai, seperti flyover atau underpass, yang bisa mengurangi kemacetan. Lebih ironis lagi, di saat kemacetan parah, justru tidak tampak petugas resmi yang mengatur lalu lintas di lokasi tersebut.

Fenomena "Pak Ogah" dan Oknum Petugas

Dalam situasi kemacetan, "Pak Ogah" seringkali mengambil alih peran petugas resmi. Mereka membantu mengatur lalu lintas dengan cara yang tidak selalu efektif, dan bahkan kadang memicu konflik dengan pengendara. Ini adalah indikasi kurangnya kehadiran otoritas yang seharusnya bertugas mengelola lalu lintas.

Selain itu, ada fenomena lain yang juga memperparah situasi, yakni praktik pengawalan kendaraan-kendaraan pribadi oleh oknum petugas. Mereka menggunakan sirene dan lampu rotator layaknya mengawal pejabat, padahal seharusnya kendaraan tersebut tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Raungan sirene di tengah kemacetan bukan hanya tidak membantu, tetapi juga menambah keresahan pengendara lainnya yang sudah lelah terjebak macet selama berjam-jam.

Jalan Tol Puncak: Solusi yang Belum Terwujud

Salah satu solusi yang sudah lama diusulkan adalah pembangunan jalan tol alternatif menuju Puncak. Jalan tol ini diharapkan bisa mengurangi volume kendaraan di jalur utama dan menyediakan akses yang lebih cepat dan efisien. Namun, progres pembangunan jalan tol ini sangat lambat dan tampaknya tidak lagi menjadi prioritas utama.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah lebih fokus pada pembangunan infrastruktur besar lainnya, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek strategis lainnya. Meskipun pembangunan tol Puncak seharusnya menjadi prioritas untuk mengatasi kemacetan, kenyataannya proyek ini berjalan stagnan.

Penertiban Pedagang Pinggir Jalan: Langkah yang Tepat?

Baru-baru ini, pemerintah daerah melakukan langkah tegas dengan membebaskan Puncak dari para pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan. Warung-warung mereka dirobohkan dengan tujuan memberikan ruang lebih luas bagi kendaraan. Langkah ini tentu saja menuai pro dan kontra. Di satu sisi, penertiban ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan yang disebabkan oleh kendaraan yang parkir sembarangan untuk berbelanja. Namun, di sisi lain, langkah ini belum tentu menjadi solusi jangka panjang.

Kemacetan di Puncak bukan semata-mata soal pedagang kaki lima, melainkan juga soal volume kendaraan yang terlalu besar dan kurangnya infrastruktur pendukung yang memadai. Tanpa perbaikan signifikan pada simpul-simpul kemacetan dan sistem manajemen lalu lintas yang lebih baik, penertiban pedagang mungkin hanya memberikan efek sementara.

Lalu, Apa Solusinya?

Jika kita ingin benar-benar menanggulangi kemacetan di Puncak, langkah yang diambil haruslah komprehensif dan melibatkan berbagai pihak. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:

1. Rekayasa Lalu Lintas di Titik Kritis: Perbaikan infrastruktur di simpang empat yang menjadi biang kemacetan mutlak diperlukan. Pembangunan flyover atau underpass bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengurai pertemuan arus kendaraan di titik tersebut.

2. Optimalisasi Penggunaan Teknologi: Sistem pemantauan lalu lintas berbasis teknologi seperti kamera CCTV dan sensor lalu lintas harus lebih diperbanyak. Selain itu, aplikasi pemantau lalu lintas yang memberikan informasi real-time kepada pengendara juga perlu dioptimalkan.

3. Pembangunan Jalan Alternatif: Jalan tol alternatif menuju Puncak harus menjadi prioritas utama. Pembangunan jalur baru akan mengurangi beban jalan utama yang sudah sangat padat.

4. Pengawasan Ketat Terhadap Petugas dan "Pak Ogah": Diperlukan pengawasan lebih ketat terhadap petugas yang melakukan pengawalan kendaraan pribadi secara ilegal. Selain itu, kehadiran petugas resmi yang lebih banyak di titik-titik rawan juga bisa mengurangi ketergantungan pada "Pak Ogah."

5. Peningkatan Transportasi Publik: Pengembangan transportasi publik menuju Puncak perlu dipertimbangkan. Kereta api atau bus khusus wisata bisa menjadi alternatif bagi wisatawan yang ingin menghindari kemacetan.

6. Sosialisasi dan Edukasi kepada Masyarakat: Pemerintah harus lebih aktif melakukan sosialisasi terkait waktu terbaik untuk bepergian, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menggunakan transportasi umum atau berbagi kendaraan (carpooling).

Jangan Biarkan Kemacetan Jadi Masalah Abadi

Kemacetan di Puncak adalah masalah yang kompleks, namun bukan berarti tidak ada solusinya. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, pengembangan infrastruktur yang tepat, dan partisipasi aktif dari masyarakat, kita bisa mengurai simpul-simpul kemacetan yang selama ini menjadi momok. Jangan sampai kemacetan di Puncak menjadi masalah abadi yang terus berulang tanpa penyelesaian yang jelas. Kita semua berharap, Puncak bisa kembali menjadi destinasi yang nyaman untuk dikunjungi, tanpa harus dibayangi oleh kemacetan yang menyiksa.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun