Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bisakah Pilkada Bebas dari Black Campaign, Hoax, Ujaran Kebencian dan SARA?

14 September 2024   17:17 Diperbarui: 14 September 2024   17:26 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: kompas.com

Pilkada, singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah, merupakan momen penting bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah yang dipercaya mampu membawa perubahan dan kemajuan. Seharusnya, Pilkada menjadi ajang persaingan gagasan, visi, dan misi para calon, yang disampaikan dengan cara yang bijak dan beradab. 

Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari harapan. Pilkada kerap diramaikan oleh isu-isu negatif seperti black campaign, hoax, ujaran kebencian, bahkan politik identitas yang mengadu domba masyarakat. Mengapa hal ini terus terjadi, dan apakah ada jalan keluar dari lingkaran setan ini?Mengapa Black Campaign dan Hoax Selalu Muncul?

Ada beberapa alasan mengapa kampanye hitam, hoax, dan ujaran kebencian sering mewarnai Pilkada. Salah satunya adalah keinginan kuat untuk menang dengan segala cara. Persaingan politik sering kali tidak hanya mengenai program dan visi, tetapi juga bagaimana menyingkirkan lawan dengan serangan pribadi atau isu-isu sensitif seperti SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).

Hoax dan ujaran kebencian mudah menyebar di era digital. Media sosial menjadi alat utama untuk menyebarkan informasi, namun juga sering disalahgunakan untuk menyebar berita bohong. Hoax yang menyerang calon tertentu dapat dengan cepat menurunkan elektabilitasnya, terutama jika masyarakat tidak bijak dalam menyaring informasi. Ditambah lagi, berita hoax seringkali memanfaatkan sentimen emosional masyarakat, sehingga lebih mudah menyebar dibandingkan berita yang berbasis fakta.

Selain itu, rendahnya literasi media dan politik menjadi faktor penting. Masyarakat yang kurang teredukasi cenderung lebih mudah terpengaruh oleh informasi yang salah. Tanpa kemampuan untuk memverifikasi berita, mereka menjadi target empuk dari penyebaran hoax. Politikus yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan celah ini untuk meraih dukungan.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Beban tanggung jawab dalam mengatasi fenomena ini tentu tidak hanya terletak pada satu pihak. Semua pihak yang terlibat dalam Pilkada memiliki peran dan tanggung jawab yang sama besar untuk menjaga proses demokrasi yang sehat.

Politikus dan Calon Kepala Daerah. Para calon kepala daerah dan tim suksesnya memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk tidak menggunakan cara-cara negatif dalam berkampanye. Mereka seharusnya menyadari bahwa memenangkan hati masyarakat dengan menyebarkan fitnah atau ujaran kebencian tidak hanya merusak integritas Pilkada, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri. Komitmen dari para calon untuk berkompetisi secara sehat sangat penting. Mereka harus bersikap tegas menegur para pendukung atau relawannya yang melakukan hal-hal negatif, alih-alih membiarkan tindakan tersebut demi memenangkan kontestasi.

Pendukung dan Relawan. Dalam berdemokrasi, pendukung atau relawan sering kali menjadi ujung tombak dalam menyebarkan narasi kampanye. Fanatisme berlebihan terhadap calon tertentu bisa menyebabkan munculnya tindakan-tindakan yang merugikan demokrasi, seperti menyebarkan hoax atau ujaran kebencian. 

Pendukung yang cerdas dan kritis tidak akan mengorbankan etika hanya demi kemenangan semu. Oleh karena itu, pendidikan politik kepada masyarakat luas menjadi sangat penting agar setiap warga negara memiliki pemahaman yang dewasa dalam mendukung kandidat.

Penyelenggara Pemilu: KPU dan Bawaslu. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengatur dan mengawasi jalannya Pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki peran kunci dalam mencegah kampanye negatif. KPU dan Bawaslu harus memastikan bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan, baik oleh calon, tim sukses, maupun pendukung, ditindak secara tegas dan adil.

Tidak boleh ada pembiaran terhadap pelanggaran yang terjadi. Pembiaran hanya akan memperburuk keadaan dan membuat kampanye negatif semakin marak. Konsistensi dan ketegasan dari lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan agar Pilkada dapat berjalan dengan jujur dan adil.

Penegak Hukum. Penegak hukum juga memegang peranan penting. Undang-undang yang mengatur kampanye sudah ada, namun penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten tanpa kompromi. Siapa pun yang melanggar hukum, baik dari pihak calon maupun pendukung, harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tidak boleh ada perlakuan khusus hanya karena mereka adalah bagian dari elit politik. Hal ini penting untuk memberikan efek jera dan menunjukkan bahwa dalam demokrasi, semua orang sama di hadapan hukum.

Bagaimana Mengatasi Isu Ini?

Untuk memastikan Pilkada bebas dari isu negatif seperti black campaign, hoax, dan ujaran kebencian, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

Pendidikan Politik yang Berkelanjutan. Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya literasi politik dan media. Mereka harus dibekali dengan kemampuan untuk memilah informasi yang benar dan tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Dengan pendidikan politik yang baik, masyarakat bisa menjadi pemilih yang kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh kampanye negatif.

Penegakan Aturan yang Tegas.KPU, Bawaslu, dan penegak hukum harus lebih tegas dalam menindak setiap pelanggaran kampanye. Jangan ada toleransi bagi mereka yang menyebarkan hoax atau ujaran kebencian. Setiap pelanggaran harus ditindak secara adil dan transparan agar semua pihak merasa bahwa aturan ditegakkan dengan baik.

Komitmen dari Para Calon dan Politikus.Komitmen untuk berkompetisi secara sehat harus datang dari para calon sendiri. Mereka harus memberikan contoh yang baik kepada pendukungnya dan menolak setiap bentuk kampanye hitam. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas demokrasi, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan publik terhadap para calon.

Peran Media yang Lebih Bertanggung Jawab. Media juga memiliki tanggung jawab besar dalam Pilkada. Media yang berperan sebagai penyebar informasi harus memastikan bahwa informasi yang mereka sebarkan akurat dan tidak bias. Selain itu, mereka juga harus lebih aktif melawan hoax dan tidak memberikan ruang bagi kampanye negatif.

Apakah Harapan Ini Masih Bermakna?

Harapan untuk Pilkada yang bersih tentu masih ada, meskipun tantangannya besar. Demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika semua pihak---masyarakat, politikus, lembaga penyelenggara pemilu, media, dan penegak hukum---bersama-sama menjaga integritas proses politik. Tentu akan sulit menghapus sepenuhnya kampanye hitam, hoax, atau ujaran kebencian, namun dengan upaya yang konsisten dan komitmen dari setiap pihak, kita bisa memperkecil ruang bagi tindakan-tindakan negatif tersebut.

Pilkada adalah kesempatan emas bagi setiap warga untuk memilih pemimpin yang mereka percayai. Jangan sampai kesempatan ini dirusak oleh mereka yang hanya ingin menang dengan segala cara, tanpa memedulikan etika dan moralitas. Sudah saatnya kita bersama-sama menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi, agar Pilkada benar-benar menjadi ajang persaingan gagasan, bukan persaingan kebencian.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun