Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kasus Bullying PPDS UNDIP: Setelah Minta Maaf, Apa yang Lebih Mendesak?

14 September 2024   11:41 Diperbarui: 14 September 2024   11:41 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar merdeka.com

Sebulan telah berlalu sejak kematian tragis dr. ARL, calon dokter spesialis dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP), yang ditemukan tak bernyawa di kamar kostnya pada 12 Agustus 2024. Tragedi ini mengguncang dunia pendidikan dan kesehatan Indonesia, terutama karena ARL diduga bunuh diri setelah menjadi korban perundungan selama menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di prodi anestesi.

Kasus ini menjadi titik balik bagi kita semua, menyadarkan akan adanya masalah serius yang selama ini mungkin tersembunyi di balik dinding-dinding institusi pendidikan elit kita. Walau permintaan maaf dari pihak universitas akhirnya diucapkan, langkah ini, meskipun terlambat, patut diapresiasi. Namun, meminta maaf saja tidak cukup. Ada kebutuhan mendesak yang jauh lebih besar: perubahan sistematis agar kejadian serupa tak lagi berulang.

Fenomena Gunung Es

Kasus dr. ARL hanyalah satu dari banyak kasus bullying di dunia pendidikan yang akhirnya terungkap. Fenomena ini bak puncak gunung es---yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari masalah yang jauh lebih besar di bawah permukaan. Bullying di lingkungan pendidikan, terutama di program-program pendidikan profesional seperti PPDS, adalah isu yang meluas namun sering kali tertutupi.

Banyak korban tidak berani melapor, baik karena takut akan dampak sosial, takut gagal dalam studi, atau bahkan karena tekanan dari lingkungan yang mendukung hierarki yang keras. Dalam kasus-kasus lain yang jarang terekspos, korban merasa terjebak dalam sistem yang tidak memberi mereka perlindungan atau jalan keluar. Masyarakat mungkin tidak menyadari bahwa di balik kesuksesan akademik yang terlihat, banyak mahasiswa yang tertekan secara psikologis dan emosional.

Menurut data yang dikumpulkan oleh sejumlah lembaga konseling mahasiswa, perundungan dan tekanan berlebihan di dunia pendidikan tinggi, terutama pada jenjang profesi seperti dokter, pengacara, atau insinyur, seringkali dikaitkan dengan pola "senioritas" dan "tradisi keras" yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tekanan ini tidak hanya datang dari tugas akademik yang berat, tetapi juga dari hubungan yang hierarkis antara senior dan junior, menciptakan atmosfer yang bisa berbahaya bagi kesehatan mental.

Permintaan Maaf: Langkah Awal, Bukan Akhir

Permintaan maaf dari pihak UNDIP patut dihargai karena mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem mereka. Namun, lebih dari sekadar permintaan maaf, yang kita butuhkan adalah tindakan konkret. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak lagi terulang, tidak hanya di UNDIP, tetapi juga di seluruh sistem pendidikan kita?

Tantangan terbesar adalah mengubah budaya. Di banyak institusi pendidikan, bullying sudah menjadi bagian yang hampir "normal" dari pengalaman mahasiswa, terutama di program-program profesional. Untuk menghentikan siklus ini, diperlukan upaya yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Bullying: Sebuah Masalah Sistemik

Kasus bullying tidak hanya soal interaksi individu; ini adalah masalah yang jauh lebih kompleks, melibatkan aspek sosial, budaya, dan bahkan struktural dalam dunia pendidikan kita. Senioritas, tekanan akademik, dan kurangnya sistem dukungan psikologis yang memadai semuanya berkontribusi pada lingkungan yang memungkinkan bullying terjadi.

Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan menangani kasus per kasus. Diperlukan perubahan sistemik yang mencakup:

Sistem Pelaporan yang Aman dan Terpercaya: Banyak korban bullying enggan melapor karena takut akan dampak negatif terhadap karier atau studi mereka. Institusi pendidikan harus menyediakan mekanisme pelaporan yang independen dan aman, di mana korban dapat merasa terlindungi dan yakin bahwa laporan mereka akan ditindaklanjuti dengan serius.

Pendidikan Anti-Bullying yang Serius: Pendidikan anti-bullying harus menjadi bagian integral dari kurikulum, tidak hanya di tingkat sekolah dasar dan menengah, tetapi juga di perguruan tinggi. Program pendidikan seperti PPDS harus mengajarkan tentang empati, komunikasi yang sehat, dan etika profesional, bukan hanya keterampilan teknis.

Pendampingan Psikologis yang Berkelanjutan: Mahasiswa, terutama di program-program yang penuh tekanan seperti PPDS, memerlukan akses mudah dan berkelanjutan ke layanan konseling dan pendampingan psikologis. Program ini harus dianggap sebagai bagian dari kesejahteraan mahasiswa, bukan sekadar pilihan opsional.

Penegakan Aturan yang Tegas: Institusi harus memiliki kebijakan yang jelas dan tegas terhadap segala bentuk perundungan. Aturan ini harus diterapkan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap dosen atau senior yang mungkin terlibat dalam perundungan.

Pengawasan dan Evaluasi Berkala: Selain menegakkan aturan, diperlukan pengawasan rutin terhadap program-program pendidikan. Evaluasi eksternal dapat membantu memastikan bahwa budaya bullying tidak berkembang dan bahwa semua mahasiswa mendapatkan perlakuan yang adil dan manusiawi.

Belajar dari Kasus Sebelumnya

Kasus dr. ARL bukan yang pertama terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Beberapa tahun terakhir, kita telah mendengar kasus serupa di berbagai perguruan tinggi, namun banyak yang luput dari perhatian publik. Ini menandakan adanya pola yang perlu dipecahkan. Salah satu masalah utama adalah ketidaksiapan sistem dalam mendeteksi dan menangani kasus-kasus seperti ini sebelum mencapai tahap yang fatal.

Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, kita harus bertanya: berapa banyak lagi nyawa yang harus hilang sebelum kita benar-benar bertindak? Dunia pendidikan, terutama yang seharusnya mencetak profesional berkualitas tinggi, tidak boleh menjadi medan yang merusak mental dan emosi para pesertanya.

Semoga Kasus Terakhir

Kita berharap bahwa kasus dr. ARL adalah yang terakhir. Namun, harapan saja tidak cukup. Kita memerlukan tindakan nyata dan komitmen dari semua pihak---pemerintah, institusi pendidikan, mahasiswa, serta masyarakat---untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan aman bagi semua.

Jika masih ada kasus-kasus bullying yang berlangsung hingga hari ini, harus segera diidentifikasi dan ditangani sebelum ada korban baru. Tidak ada yang lebih mendesak dari memastikan bahwa dunia pendidikan kita benar-benar bebas dari bullying. Dan ini bukan hanya tanggung jawab satu institusi, tetapi tanggung jawab kita semua.

Kasus dr. ARL seharusnya menjadi cermin bagi kita untuk melihat ke dalam dan bertanya, apa yang bisa kita lakukan agar tidak ada lagi nyawa yang hilang karena perundungan. Kita harus bergerak cepat dan tegas, memastikan bahwa sistem pendidikan kita melindungi, bukan menghancurkan, generasi muda yang berada di dalamnya.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun