Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) periode 2019-2024 hingga 2025 digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.Â
Baru-baru ini, keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang mengesahkan perpanjangan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP)Gugatan ini diajukan oleh empat kader PDIP, yakni Pepen Noor, Ungut, Ahmad, dan Endang Indra Saputra, yang merasa bahwa perpanjangan kepengurusan tersebut bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Tim advokasi mereka, Victor W Nadapdap, menegaskan bahwa alasan utama gugatan adalah karena perpanjangan tersebut dianggap tidak sesuai dengan aturan internal PDIP.
Kabar ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena PDIP selama ini dikenal sebagai partai yang memiliki disiplin internal tinggi dan loyalitas kader yang kuat terhadap Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri.Â
Namun, gugatan ini menunjukkan adanya ketidakpuasan di kalangan internal, yang bisa jadi merupakan indikasi awal adanya pergesekan dalam kepemimpinan partai. Apakah gugatan ini bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap hak prerogatif Megawati? Bagaimana PDIP seharusnya merespons gugatan ini, dan apakah ini menjadi ujian bagi sikap demokratis partai yang kerap mengklaim sebagai partai "wong cilik"?
Makna Gugatan: Ketidakpuasan Terhadap Proses Demokrasi Internal
Gugatan terhadap SK perpanjangan pengurus PDIP ini mengindikasikan adanya ketidakpuasan di kalangan kader terkait mekanisme regenerasi kepemimpinan dalam partai. Menurut AD/ART PDIP, masa kepengurusan seharusnya berakhir pada 2024, dan perpanjangan kepengurusan ini dianggap oleh beberapa kader sebagai pelanggaran terhadap aturan tersebut. Bagi mereka, keputusan Kemenkumham untuk memperpanjang kepengurusan tanpa proses yang jelas dan transparan mencerminkan kecenderungan sentralistik dalam pengambilan keputusan partai.
Perpanjangan kepengurusan tanpa adanya mekanisme pemilihan baru atau Musyawarah Nasional (Munas) atau Kongres yang biasanya menjadi arena demokratis untuk memilih pengurus baru, dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap aturan internal partai. Gugatan ini menjadi tanda bahwa sebagian kader PDIP menginginkan adanya proses demokrasi yang lebih terbuka dan akuntabel dalam tubuh partai, bukan sekadar keputusan yang diambil oleh elite partai tanpa partisipasi dari anggota partai secara luas.
Selain itu, gugatan ini juga bisa dibaca sebagai bentuk kekecewaan terhadap gaya kepemimpinan sentralistis yang selama ini dijalankan oleh Megawati Soekarnoputri. Selama ini, PDIP dikenal sebagai partai yang sangat terpusat pada figur Megawati sebagai Ketua Umum. Meskipun hal ini memberikan stabilitas jangka panjang bagi partai, ada kekhawatiran bahwa pengaruh yang terlalu besar dari satu individu dapat menghambat proses regenerasi dan mempersempit ruang bagi kader-kader muda untuk tampil.
Hak Prerogatif Megawati: Awal Perlawanan atau Dinamika Internal Biasa?
Sebagai Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri memiliki hak prerogatif yang sangat kuat, termasuk dalam mengambil keputusan penting terkait kepengurusan partai. Perpanjangan masa jabatan pengurus partai bisa jadi merupakan bagian dari strategi untuk menjaga stabilitas internal partai menjelang Pemilu 2024. Namun, gugatan ini menunjukkan bahwa hak prerogatif Megawati mulai dipertanyakan oleh sebagian kader.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah gugatan ini merupakan awal dari perlawanan terhadap dominasi Megawati di PDIP? Meskipun PDIP selama ini dikenal dengan loyalitas yang tinggi terhadap Ketua Umum, gugatan ini bisa jadi menandakan adanya desakan dari bawah untuk membatasi kekuasaan individu dan mengembalikan keputusan-keputusan penting kepada mekanisme demokrasi partai yang lebih inklusif.
Di sisi lain, gugatan ini juga bisa dilihat sebagai dinamika internal yang wajar di dalam partai politik besar seperti PDIP. Setiap partai besar tentu memiliki berbagai kelompok dengan kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda, dan ketidakpuasan terhadap perpanjangan kepengurusan ini mungkin hanya mencerminkan perbedaan pandangan tentang bagaimana partai seharusnya dikelola. Namun, jika gugatan ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, hal ini bisa berkembang menjadi potensi perpecahan di dalam tubuh partai.
Sikap PDIP terhadap Gugatan: Ujian Sikap Demokratis
Bagaimana PDIP seharusnya merespons gugatan ini? Sebagai partai yang selama ini sering menyatakan diri sebagai partai yang demokratis dan partai "wong cilik," PDIP harus berhati-hati dalam menangani isu ini. Gugatan ini bisa menjadi ujian bagi sikap demokratis PDIP, terutama dalam hal bagaimana partai menyikapi perbedaan pandangan di dalam tubuhnya sendiri.
Jika PDIP merespons gugatan ini dengan cara yang inklusif, misalnya dengan membuka ruang dialog dan mendengarkan aspirasi kader yang menggugat, maka hal ini bisa memperkuat citra partai sebagai organisasi yang benar-benar menghargai demokrasi internal. Di sisi lain, jika PDIP merespons gugatan ini dengan cara otoriter, misalnya dengan menekan kader yang menggugat atau mengabaikan tuntutan mereka, hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa PDIP hanya mementingkan demokrasi dalam retorika, tetapi tidak dalam praktik internal.
Partai politik yang sehat adalah partai yang mampu menampung perbedaan pandangan dan mengelola konflik internal dengan baik. Gugatan ini bisa menjadi kesempatan bagi PDIP untuk membuktikan bahwa mereka tidak hanya peduli pada demokrasi di luar, tetapi juga di dalam tubuh partai itu sendiri.
PDIP dan Klaim Sebagai Partai "Wong Cilik"
Salah satu identitas yang kuat melekat pada PDIP adalah klaim sebagai partai "wong cilik," partai yang memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dan kaum marjinal. Namun, gugatan ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah PDIP benar-benar menerapkan prinsip-prinsip yang sama dalam mengelola partai? Apakah partai ini benar-benar memberikan ruang bagi suara-suara dari bawah, termasuk kader-kader yang mungkin merasa tidak puas dengan kebijakan pimpinan partai?
Gugatan ini bisa menjadi ujian bagi klaim PDIP sebagai partai yang demokratis dan peduli pada suara kader di level bawah. Jika PDIP gagal merespons gugatan ini dengan cara yang demokratis dan inklusif, hal ini bisa merusak citra partai sebagai pembela rakyat kecil. Sebaliknya, jika PDIP berhasil menyelesaikan masalah ini dengan baik, hal ini bisa memperkuat posisi partai sebagai organisasi yang benar-benar demokratis dan inklusif.
Ujian Besar Bagi PDIP
Gugatan terhadap SK perpanjangan kepengurusan PDIP di PTUN merupakan ujian besar bagi partai ini, baik dari segi legalitas maupun dari segi demokrasi internal. Gugatan ini menunjukkan adanya ketidakpuasan di kalangan kader terkait bagaimana partai dikelola, terutama terkait dengan keputusan-keputusan penting yang diambil oleh pimpinan partai tanpa partisipasi yang luas dari anggota.
PDIP perlu merespons gugatan ini dengan bijaksana. Jika partai mampu menangani masalah ini dengan cara yang demokratis dan transparan, hal ini bisa memperkuat posisi PDIP sebagai partai yang tidak hanya kuat secara politik, tetapi juga memiliki sistem internal yang sehat. Namun, jika gugatan ini diabaikan atau ditangani dengan cara otoriter, hal ini bisa menjadi bumerang bagi partai dan merusak citra PDIP sebagai partai yang peduli pada demokrasi dan kepentingan rakyat kecil.
Pada akhirnya, gugatan ini bukan hanya soal perpanjangan masa jabatan pengurus, tetapi juga soal bagaimana PDIP memandang dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam tubuhnya sendiri.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H