Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kasus Bullying PPDS Undip, Sudah Begitu Parahkah Tradisi Bullying di Pendidikan Kita?

9 September 2024   07:28 Diperbarui: 9 September 2024   07:30 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus bullying yang terjadi di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (UNDIP) baru-baru ini menjadi sorotan nasional. Seorang dokter spesialis muda menjadi korban tindakan kekerasan dan perundungan yang dilakukan oleh seniornya. 

Ironisnya, perundungan ini terjadi dalam lingkungan akademik yang seharusnya mengedepankan profesionalisme, etika, dan rasa kemanusiaan. Sebagai calon dokter spesialis, para pelaku bullying tentu memahami betul tugas seorang dokter untuk melindungi nyawa dan menghormati martabat manusia. Namun, tindakan mereka justru mencerminkan kebalikannya.

Proses Penanganan Kasus: Respons Cepat Kemenkes dan Sikap UNDIP

Setelah kasus ini viral di media sosial, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) segera merespons. Kemenkes bertindak cepat dengan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku bullying, menunjukkan komitmen pemerintah dalam menindak tegas tindakan tidak etis di dunia kesehatan. Saat ini pun Kemendikbudristek yang juga membawahi perguruan tinggi sudah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus ini.

Langkah cepat ini patut diapresiasi karena mengirim pesan kuat bahwa perilaku bullying di dunia pendidikan dan profesi kesehatan tidak bisa ditoleransi.

Namun, sayangnya, ada kesan bahwa pihak UNDIP sendiri tidak sepenuhnya menerima sanksi tersebut. Beberapa indikasi menunjukkan adanya upaya dari pihak kampus untuk melawan sanksi yang diberikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah institusi pendidikan kita masih terjebak dalam budaya melindungi nama baik kampus, bahkan jika itu berarti mengabaikan kebenaran dan keadilan bagi korban?

Tradisi Bullying: Sebuah Fenomena yang Mengakar

Kasus bullying di PPDS UNDIP tampaknya bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Tradisi senioritas yang melibatkan perundungan terhadap junior di lingkungan akademik, terutama di bidang kesehatan dan kedokteran, sudah lama terdengar, namun sering kali tidak terungkap. Fenomena ini bisa diibaratkan sebagai puncak gunung es---apa yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang jauh lebih besar dan mendalam.

Senioritas, yang seharusnya berfungsi sebagai panduan bagi junior dalam proses belajar, malah sering kali disalahgunakan menjadi alat kontrol dan intimidasi. Junior dipaksa untuk tunduk dan patuh, bukan berdasarkan rasa hormat, melainkan karena takut akan konsekuensi yang bisa berupa kekerasan fisik, verbal, atau mental. Ketika kasus bullying di PPDS UNDIP ini terungkap, kita harus bertanya: sudah seberapa parah sebenarnya tradisi ini dalam pendidikan kita?

Kasus Lain yang Pernah Terjadi

Contoh kasus serupa juga pernah terjadi di berbagai institusi pendidikan lain. Di Fakultas Kedokteran beberapa universitas besar di Indonesia, tradisi bullying dalam bentuk kekerasan fisik atau tekanan mental terhadap mahasiswa junior kerap terjadi, meski jarang terekspos. Hal ini bukan hanya terjadi di lingkungan kedokteran, tetapi juga di berbagai fakultas lainnya dan bahkan di sekolah-sekolah umum.

Kasus lain yang sempat mencuat adalah perundungan di sekolah kedinasan seperti di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), di mana tradisi kekerasan oleh senior terhadap junior sudah menjadi rahasia umum selama bertahun-tahun. Banyak korban yang tidak berani bersuara karena khawatir akan pembalasan atau bahkan dikeluarkan dari institusi tersebut.

Akar Masalah Bullying di Pendidikan Indonesia

Lalu, apa yang menjadi akar dari masalah ini? Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab utama mengapa bullying terus terjadi dalam dunia pendidikan kita:

Budaya Senioritas yang Salah Kaprah: Banyak institusi pendidikan di Indonesia masih mempertahankan budaya senioritas yang tidak sehat. Senior dianggap memiliki hak untuk "mendidik" junior dengan cara apa pun, termasuk kekerasan dan intimidasi.
   
Kurangnya Penegakan Hukum dan Etika: Meskipun sudah ada aturan yang melarang kekerasan dan perundungan, penegakan hukum dan disiplin di institusi pendidikan masih lemah. Banyak kasus bullying yang ditutup-tutupi oleh pihak sekolah atau kampus demi menjaga citra mereka.

Ketakutan Korban untuk Melapor: Rasa takut akan pembalasan dari pelaku atau pihak institusi sering kali membuat korban enggan untuk melapor. Mereka memilih untuk diam dan menerima perlakuan buruk tersebut.

Minimnya Pendidikan Karakter: Sistem pendidikan kita terlalu fokus pada aspek akademik tanpa memberikan perhatian yang cukup pada pembinaan karakter. Padahal, etika dan moral harus menjadi pilar utama dalam membentuk generasi muda, terutama di bidang-bidang seperti kedokteran yang menuntut penghargaan terhadap kemanusiaan.

Solusi untuk Mengatasi Bullying di Pendidikan

Untuk mengatasi masalah ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat:

Penegakan Aturan yang Lebih Tegas: Pemerintah dan institusi pendidikan harus menegakkan aturan dengan lebih tegas terhadap kasus bullying. Sanksi yang jelas dan berat harus diterapkan kepada pelaku bullying, termasuk bagi pihak institusi yang berusaha menutupi kasus tersebut.

Pusat Pelaporan Khusus Bullying: Dibutuhkan pusat pelaporan khusus yang dapat menampung pengaduan korban bullying secara anonim. Dengan adanya pusat pelaporan ini, korban dapat melapor tanpa rasa takut akan pembalasan. Pusat ini juga dapat bekerja sama dengan pihak berwenang untuk memastikan pelaku mendapat sanksi yang sesuai.

Reformasi Budaya Senioritas: Institusi pendidikan harus melakukan reformasi dalam budaya senioritas. Senioritas yang sehat adalah yang berdasarkan bimbingan dan penghormatan, bukan kekerasan dan intimidasi. Program pelatihan karakter dan etika bagi senior bisa menjadi salah satu langkah untuk mengubah budaya ini.

Pendidikan Karakter yang Lebih Kuat: Sistem pendidikan harus mengedepankan pembentukan karakter yang kuat pada para siswa, terutama di institusi-institusi yang mencetak profesional di bidang kesehatan dan pelayanan publik lainnya. Penghormatan terhadap hak asasi manusia, rasa empati, dan sikap anti kekerasan harus ditanamkan sejak dini.

Peran Keluarga dan Masyarakat: Keluarga dan masyarakat juga memiliki peran penting dalam menangani bullying. Orang tua harus mendidik anak-anak mereka tentang pentingnya menghormati sesama dan tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, masyarakat harus lebih peka terhadap tanda-tanda bullying dan tidak ragu untuk membantu korban.

Kasus bullying di PPDS UNDIP bukanlah kasus yang terisolasi. Ini adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam sistem pendidikan kita. Tindakan tegas dari Kemenkes dan perhatian publik terhadap kasus ini menunjukkan bahwa kita berada di jalur yang benar untuk memperbaiki kondisi ini. 

Namun, masih banyak yang harus dilakukan untuk menghentikan tradisi bullying dalam pendidikan kita. 

Dengan reformasi budaya, penegakan aturan yang tegas, serta pendidikan karakter yang kuat, kita bisa menciptakan lingkungan akademik yang lebih sehat, di mana setiap individu merasa aman dan dihargai.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun