Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Koruptor Tobat

7 September 2024   13:48 Diperbarui: 7 September 2024   13:48 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Di sebuah negara yang terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya, berdirilah sebuah gedung megah yang dihuni oleh para petinggi negeri. Gedung itu berkilauan di bawah sinar matahari, mencerminkan kemakmuran yang diraih oleh segelintir orang yang beruntung. 

Di antara mereka, seorang pria bernama Pak Budi adalah tokoh paling disegani. Ia adalah pejabat yang telah lama bercokol di kursinya, berkat kecerdikannya dalam "mengelola" dana negara. Korupsi, bagi Pak Budi, sudah seperti hobi yang membawa keuntungan besar.

Namun, ada yang berbeda pagi itu. Di meja kantornya, Pak Budi duduk dengan wajah penuh perenungan. Tangannya memegang segelas kopi yang belum ia seruput, sementara pandangannya menerawang jauh ke luar jendela.

"Pak Budi, Bapak kelihatan murung hari ini," ujar asistennya, Bu Dina, yang sudah bertahun-tahun setia mendampingi.

"Ah, Dina, kau tidak akan percaya apa yang sedang terjadi padaku," kata Pak Budi dengan suara berat.

"Ada apa, Pak? Apakah ada masalah dengan proyek terbaru?" tanya Bu Dina sambil mengambil tablet elektroniknya, siap mencatat masalah baru yang mungkin muncul.

Pak Budi menggeleng. "Bukan soal proyek. Aku... aku mengalami pencerahan."

"Pencerahan, Pak?" Bu Dina tampak bingung.

"Ya. Semalam, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat diriku dikelilingi oleh tumpukan uang. Ada uang di mana-mana, Dina. Tapi, saat aku mencoba menyentuhnya, uang itu berubah menjadi pasir dan menghilang. Lalu, datanglah seseorang dengan jubah putih. Dia menatapku dalam-dalam dan berkata, 'Budi, sudah cukup. Tobatlah sebelum terlambat.'"

Bu Dina hampir terbatuk mendengar kata "tobat" keluar dari mulut Pak Budi. Ini pasti lelucon, pikirnya. Tapi wajah Pak Budi tetap serius.

"Pak Budi... apakah Bapak sedang bercanda?"

"Tidak, Dina. Aku sudah memutuskan. Aku ingin bertobat."

Bu Dina menatapnya dengan kaget. Bertahun-tahun bekerja untuk Pak Budi, ia tahu persis betapa dalamnya pria ini terjebak dalam dunia korupsi. Bagaimana mungkin seseorang seperti Pak Budi tiba-tiba ingin tobat?

"Aku akan mengembalikan semua uang yang sudah aku ambil. Semua asetku, rumah mewah, mobil, kapal pesiar... semuanya akan aku serahkan kepada negara. Aku ingin memulai hidup baru," lanjut Pak Budi dengan suara penuh tekad.

Bu Dina merasa seperti mendengar dongeng. "Pak, kalau boleh saya tanya, apa yang membuat Bapak tiba-tiba berpikir seperti ini?"

Pak Budi tersenyum tipis. "Dina, sudah lama aku hidup di dunia ini. Aku sudah tua. Sudah saatnya aku berhenti. Aku tidak mau mati dengan dosa sebesar gunung. Lagipula, uang yang aku kumpulkan selama ini... sejujurnya tidak pernah membuatku bahagia. Selalu ada ketakutan. Takut ketahuan, takut diselidiki, takut dipenjara. Dan semalam, mimpi itu menyadarkanku."

Bu Dina mencoba menahan tawanya, tapi ia tidak bisa. Akhirnya, ia terbahak-bahak. "Pak, ini sangat menghibur! Bapak, seorang koruptor, ingin tobat? Bagaimana caranya, Pak? Kalau semua koruptor bertobat, negeri ini pasti sudah makmur sejak dulu!"

Pak Budi menatap asistennya dengan tatapan serius. "Aku serius, Dina. Aku akan menggelar konferensi pers sore ini. Aku akan mengumumkan semuanya ke publik."

***

Sore itu, gedung mewah tempat Pak Budi bekerja dipenuhi oleh wartawan dari seluruh penjuru negeri. Mereka semua datang setelah mendengar kabar yang mengejutkan: seorang pejabat tinggi akan mengumumkan pertobatannya dan menyerahkan seluruh kekayaannya kepada negara. Di podium, Pak Budi berdiri dengan wajah tegas, siap menyampaikan pidatonya.

"Saudara-saudara sekalian," Pak Budi memulai. "Hari ini, saya ingin menyampaikan bahwa saya, Budi Santoso, dengan penuh kesadaran, memutuskan untuk bertobat. Saya akan menyerahkan seluruh harta hasil korupsi saya kepada negara dan memulai hidup baru sebagai warga negara yang bersih."

Tiba-tiba, sorakan dan tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Wartawan-wartawan yang biasanya sibuk menulis berita buruk kini terlihat kagum. Tapi, di sudut ruangan, ada sekelompok pejabat yang wajahnya berubah pucat.

"Pak Budi," seorang wartawan bertanya, "apa yang membuat Anda mengambil langkah besar ini?"

Pak Budi menghela napas panjang. "Saya telah hidup terlalu lama dalam dosa. Dan saya tidak ingin mati dengan membawa beban itu."

Tepuk tangan semakin meriah, tapi di balik sorakan itu, beberapa pejabat mulai gelisah. Mereka saling berbisik, mata mereka penuh kecemasan. Mereka tahu, jika Pak Budi benar-benar tobat dan membuka semua aib, mereka juga bisa terseret. Tak butuh waktu lama bagi salah satu dari mereka untuk bangkit dari kursinya dan berjalan cepat ke arah Pak Budi.

"Pak Budi, sebentar," kata seorang pejabat dengan wajah penuh senyum, tapi matanya menyiratkan ancaman. "Mungkin kita bisa bicara dulu di belakang?"

Pak Budi menatapnya, tersenyum, dan berkata lantang, "Tidak, saya tidak butuh bicara di belakang lagi. Semua akan saya ungkap di sini, di depan kalian semua!"

Kerumunan wartawan bersorak lagi, sementara wajah-wajah pucat semakin banyak di ruangan itu. Tapi sebelum Pak Budi bisa melanjutkan, tiba-tiba lampu ruangan mati. Gelap gulita menyelimuti semua orang. Suasana berubah kacau.

Setelah beberapa menit, lampu kembali menyala. Namun podium sudah kosong, dan Pak Budi menghilang entah ke mana. Wartawan kebingungan, para pejabat saling pandang, dan hanya tersisa satu pesan aneh yang ditinggalkan di mikrofon:

"Koruptor yang tobat? Ah, mungkin besok saja."

Dan begitulah cerita tentang Pak Budi, koruptor yang hampir bertobat, tapi sayangnya jalan menuju tobat penuh dengan rintangan---rintangan yang tak terhindarkan di negeri ini.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun