Pertanyaannya, bagaimana dengan presiden pengganti Jokowi nanti? Apakah mereka akan memiliki ketahanan mental yang sama untuk menahan segala bentuk kritik dan hinaan? Ataukah mereka akan lebih memilih jalur hukum untuk melawan ujaran kebencian? Tidak dapat dipungkiri, undang-undang memberi hak bagi presiden dan keluarganya untuk menuntut mereka yang melakukan pencemaran nama baik atau fitnah.
Setelah era Jokowi, presiden yang baru mungkin tidak memiliki kesabaran atau pendekatan yang sama. Bukan tidak mungkin, jika kritik berubah menjadi ujaran kebencian atau penghinaan, presiden pengganti Jokowi akan lebih sering mengambil langkah hukum. Mengingat situasi ini, masyarakat perlu bersiap menghadapi perubahan dinamika hubungan antara penguasa dan yang dikritik.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah lanskap demokrasi dan ruang kritik secara signifikan. Presiden berikutnya mungkin harus menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dalam menangani kritik, fitnah, dan ujaran kebencian di era digital yang tak kenal batas. Di satu sisi, mereka perlu menjamin kebebasan berekspresi; di sisi lain, mereka juga harus melindungi diri dari serangan yang tidak adil.
Tanggung Jawab Pengkritik
Dalam demokrasi yang sehat, kritik memang merupakan bagian integral dari proses politik. Namun, yang menjadi penting adalah bagaimana kritik itu disampaikan. Kritik yang baik adalah kritik yang berbasis pada fakta, analisis yang matang, dan bertujuan untuk memperbaiki situasi. Namun, kritik yang berubah menjadi ujaran kebencian atau penghinaan pribadi jelas tidak produktif.
Tokoh masyarakat, politisi, maupun influencer media sosial yang memiliki suara berpengaruh seharusnya bisa memberikan contoh kritik yang konstruktif. Sayangnya, tidak jarang kita justru melihat mereka yang seharusnya menjadi panutan malah menyebarkan fitnah atau ujaran kebencian atas nama rakyat. Ini adalah fenomena yang memprihatinkan, karena seharusnya mereka menjadi penyeimbang yang memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Masa Depan Kritik di Indonesia
Era Jokowi mungkin akan tercatat sebagai salah satu momen di mana kritik kepada presiden menjadi sangat terbuka, bahkan terkadang brutal. Jokowi dan keluarganya mungkin memilih untuk menahan diri dan tidak menuntut para penghina mereka. Namun, presiden setelah Jokowi mungkin akan berbeda. Mereka yang menggantikan Jokowi harus siap menghadapi kritik yang sama, atau bahkan lebih keras, di tengah semakin berkembangnya media sosial.
Namun, jika para pengkritik tidak mampu menahan diri dan terus-menerus menyebarkan ujaran kebencian dan fitnah, kita mungkin akan melihat lebih banyak tuntutan hukum di masa depan. Kebebasan berekspresi memang penting, tetapi kebebasan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab dan rasa hormat terhadap orang lain. Sebagai masyarakat yang sedang berkembang dalam berdemokrasi, kita perlu belajar untuk menyampaikan kritik dengan cara yang benar dan beradab.
Akhirnya, era setelah Jokowi akan menjadi ujian besar bagi kita semua, apakah kita bisa mempertahankan kebebasan berekspresi tanpa mengorbankan rasa hormat dan martabat dalam berpolitik.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H