Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Era Jokowi, Kritik Kepada Presiden Tidak akan Sama Lagi

7 September 2024   11:51 Diperbarui: 7 September 2024   11:55 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: tribunjatim.com

Bagi mereka yang saat ini sudah memasuki usia kepala lima, melihat perkembangan kritik yang dialamatkan kepada Presiden Jokowi mungkin sering membuat geleng-geleng kepala. Terlebih bagi yang pernah hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan Orde Baru. Di masa Soeharto, kritik terhadap pemerintah jarang terdengar, apalagi di ruang publik. Jika ada, kritik itu dibungkam atau dibatasi oleh ketatnya kontrol negara atas media dan kebebasan berpendapat. Namun kini, kritik terhadap presiden tampak tak lagi mengenal batas, sering kali berubah menjadi hujatan, caci maki, bahkan ujaran kebencian.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana era pasca-Jokowi nanti? Apakah kritik kepada presiden penggantinya akan seintens atau bahkan lebih keras dari yang diterima oleh Jokowi? Atau mungkin justru lebih lunak? Hal ini penting untuk dipikirkan, mengingat sifat kritik dan batasannya telah berubah secara signifikan di era demokrasi digital ini.

Dari Kritik hingga Penghinaan

Presiden Jokowi dan keluarganya telah menjadi sasaran berbagai kritik, mulai dari yang berbentuk saran konstruktif hingga yang lebih kasar berupa penghinaan. Tentu kritik adalah bagian dari demokrasi. Namun, ketika kritik berubah menjadi penghinaan, fitnah, dan ujaran kebencian, situasi menjadi berbeda. Dalam beberapa kasus, kritik kepada Presiden Jokowi bahkan telah melewati batas yang wajar, sehingga tampak lebih sebagai serangan pribadi dibandingkan kritik terhadap kebijakan atau pemerintahan.

Bagi mereka yang hidup di era Soeharto, kritik tajam kepada pemimpin negara adalah hal yang tak terbayangkan. Kala itu, Presiden Soeharto jarang sekali, atau bahkan tidak pernah, menjadi target kritik publik yang keras. Media dikontrol ketat, dan ruang untuk berbicara kritis hampir tidak ada. Mereka yang berani mengkritik pemerintah bisa menghadapi ancaman serius, baik itu penjara, pengucilan sosial, atau sanksi lainnya. Namun, kini kita melihat bahwa kritik terhadap presiden, meski kadang tak terarah, justru menjadi sangat terbuka dan sering kali vulgar.

Jokowi Memilih Diam

Dalam menghadapi semua kritik, hinaan, dan ujaran kebencian, Jokowi sering kali memilih diam. Sikap diam ini mungkin bisa dilihat sebagai bentuk kebijaksanaan atau toleransi atas dinamika demokrasi yang semakin berkembang. Namun, bukan berarti Jokowi tidak memiliki pilihan untuk menuntut para pelaku ujaran kebencian tersebut. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang direvisi atas permintaan Jokowi, memberikan peluang kepada individu yang merasa difitnah atau dihina untuk melakukan tuntutan hukum.

Sebenarnya setelah direvisi UU ITE ini sudah mengurangi secara signifikan UU karet yang memungkinkan siapapun yang tidak suka akan kritik dan dianggap menyerang secara personal untuk menuntut,  walaupun bukan sebagai keluarga yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan. Sehingga sebelumnya memang ada banyak tuntutan yang mengarah pada pencemaran nama baik yang diminta oleh para pendukung atau pengikut dari pejabat atau politikus.

Dalam hal ini, kasus Roy Suryo yang sampai masuk penjara karena dianggap menghina Jokowi, sebenarnya bukan Jokowi yang menuntut, tapi karena Roy Suryo menyebarkan photo patung Budha yang diganti kepalanya dengan kepala Jokowi, sehingga yang membawa ke ranah hukum saat itu adalah perwakilan umat Budha yang tidak terima simbol keagamaan Budha digunakan secara salah. Dan kasus ini menjadi kasus penghinaan agama.

Dengan UU yang baru, Jokowi tampaknya memilih untuk tidak memanfaatkan celah hukum ini. Padahal kalau dirinya atau keluarganya yang menuntut, masih bisa diproses secara hukum. Mungkin ia ingin menghindari persepsi bahwa dirinya anti-kritik atau mengekang kebebasan berekspresi. Tindakan ini bisa dimaknai sebagai upaya untuk menjaga ruang demokrasi tetap terbuka. Namun, di sisi lain, hal ini juga memunculkan dilema: jika penghinaan dibiarkan tanpa tindakan, apa yang membedakan kritik yang konstruktif dari ujaran kebencian yang merugikan?

Masa Depan Kritik terhadap Presiden

Pertanyaannya, bagaimana dengan presiden pengganti Jokowi nanti? Apakah mereka akan memiliki ketahanan mental yang sama untuk menahan segala bentuk kritik dan hinaan? Ataukah mereka akan lebih memilih jalur hukum untuk melawan ujaran kebencian? Tidak dapat dipungkiri, undang-undang memberi hak bagi presiden dan keluarganya untuk menuntut mereka yang melakukan pencemaran nama baik atau fitnah.

Setelah era Jokowi, presiden yang baru mungkin tidak memiliki kesabaran atau pendekatan yang sama. Bukan tidak mungkin, jika kritik berubah menjadi ujaran kebencian atau penghinaan, presiden pengganti Jokowi akan lebih sering mengambil langkah hukum. Mengingat situasi ini, masyarakat perlu bersiap menghadapi perubahan dinamika hubungan antara penguasa dan yang dikritik.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah lanskap demokrasi dan ruang kritik secara signifikan. Presiden berikutnya mungkin harus menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dalam menangani kritik, fitnah, dan ujaran kebencian di era digital yang tak kenal batas. Di satu sisi, mereka perlu menjamin kebebasan berekspresi; di sisi lain, mereka juga harus melindungi diri dari serangan yang tidak adil.

Tanggung Jawab Pengkritik

Dalam demokrasi yang sehat, kritik memang merupakan bagian integral dari proses politik. Namun, yang menjadi penting adalah bagaimana kritik itu disampaikan. Kritik yang baik adalah kritik yang berbasis pada fakta, analisis yang matang, dan bertujuan untuk memperbaiki situasi. Namun, kritik yang berubah menjadi ujaran kebencian atau penghinaan pribadi jelas tidak produktif.

Tokoh masyarakat, politisi, maupun influencer media sosial yang memiliki suara berpengaruh seharusnya bisa memberikan contoh kritik yang konstruktif. Sayangnya, tidak jarang kita justru melihat mereka yang seharusnya menjadi panutan malah menyebarkan fitnah atau ujaran kebencian atas nama rakyat. Ini adalah fenomena yang memprihatinkan, karena seharusnya mereka menjadi penyeimbang yang memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Masa Depan Kritik di Indonesia

Era Jokowi mungkin akan tercatat sebagai salah satu momen di mana kritik kepada presiden menjadi sangat terbuka, bahkan terkadang brutal. Jokowi dan keluarganya mungkin memilih untuk menahan diri dan tidak menuntut para penghina mereka. Namun, presiden setelah Jokowi mungkin akan berbeda. Mereka yang menggantikan Jokowi harus siap menghadapi kritik yang sama, atau bahkan lebih keras, di tengah semakin berkembangnya media sosial.

Namun, jika para pengkritik tidak mampu menahan diri dan terus-menerus menyebarkan ujaran kebencian dan fitnah, kita mungkin akan melihat lebih banyak tuntutan hukum di masa depan. Kebebasan berekspresi memang penting, tetapi kebebasan tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab dan rasa hormat terhadap orang lain. Sebagai masyarakat yang sedang berkembang dalam berdemokrasi, kita perlu belajar untuk menyampaikan kritik dengan cara yang benar dan beradab.

Akhirnya, era setelah Jokowi akan menjadi ujian besar bagi kita semua, apakah kita bisa mempertahankan kebebasan berekspresi tanpa mengorbankan rasa hormat dan martabat dalam berpolitik.***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun