Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pimpinan KPK Nurul Gufron Melawan Dewas KPK: Kasus Pelanggan Etik dan Drama yang Menghancurkan KPK

7 September 2024   08:51 Diperbarui: 7 September 2024   09:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: m.kumparan.com

Kasus pelanggaran etik yang menjerat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Gufron, menjadi babak baru dalam perjalanan lembaga antirasuah yang pernah begitu disegani ini. Gufron dituduh melanggar wewenang karena membantu proses mutasi seorang pegawai negeri sipil (PNS). 

Dewan Pengawas (Dewas) KPK akhirnya memutuskan bahwa Gufron bersalah dan menjatuhkan hukuman sedang atas pelanggaran tersebut. Namun, alih-alih menerima keputusan tersebut, Gufron justru melawan, memicu drama hukum yang berlarut-larut dan semakin memperburuk citra KPK.

Kasus Gufron dan Upaya Melawan Dewas KPK

Kasus ini bermula ketika Gufron diduga menggunakan wewenangnya untuk mengintervensi mutasi seorang PNS.  Dewas KPK menilai tindakan ini sebagai pelanggaran etik, karena dianggap menyalahi fungsi dan tugas seorang pimpinan KPK yang seharusnya menjaga integritas dan netralitas lembaga.

Namun, Gufron tidak terima dengan putusan Dewas. Ia mengambil langkah dramatis dengan membawa kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), meminta agar pemeriksaan Dewas ditunda. Langkah ini memunculkan tanda tanya besar di kalangan publik, seolah Gufron ingin menyeret Dewas ke ranah yang seharusnya berada di bawah kewenangan internal lembaga. Tidak cukup sampai di situ, Gufron bahkan melaporkan Dewas KPK ke pihak kepolisian, menuduh bahwa Dewas telah melampaui wewenangnya.

Meski demikian, Dewas tetap teguh pada putusan mereka. Setelah sidang panjang yang disertai drama, Dewas menjatuhkan hukuman sedang kepada Gufron. Meskipun hukuman ini tidak sampai mengguncang kinerja pemerintahan secara langsung, kasus ini jelas merusak citra KPK yang sudah lama kehilangan kepercayaan publik. Lembaga yang dulu disegani sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi kini kian kehilangan wibawa.

Kasus-kasus yang Mencoreng Nama KPK

Kasus Nurul Gufron hanyalah salah satu dari rangkaian panjang skandal di KPK yang telah meruntuhkan kepercayaan publik. Beberapa tahun terakhir, KPK menjadi sorotan tidak hanya karena kasus korupsi yang mereka tangani, tetapi juga karena ulah para pimpinan dan pegawainya sendiri. Kasus suap yang melibatkan petugas penjara KPK, korupsi anggaran perjalanan oleh pegawai KPK, hingga pimpinan KPK yang dipecat karena menjadi tersangka menerima suap dari koruptor, semuanya turut andil dalam menjatuhkan reputasi lembaga ini.

Mengapa KPK Begitu Terpuruk?

Apa yang menyebabkan lembaga yang dulu dianggap sebagai simbol pemberantasan korupsi ini terpuruk? Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan Undang-Undang KPK pada tahun 2019. Revisi UU tersebut secara fundamental melemahkan KPK, terutama dalam hal independensi. Para pegawai KPK yang sebelumnya berstatus independen kini dijadikan pegawai negeri sipil (PNS), yang artinya mereka tidak lagi bebas dari pengaruh institusi lain dalam pengangkatan dan pemberhentiannya. Hal ini membuka celah bagi intervensi dari pihak eksternal, termasuk pemerintah.

Juga UU baru KPK memangkas wewenang KPK serta membuka pintu KPK bisa melakukan penghentian kasus yang sudah diproses, di mana sebelumnya KPK tidak boleh melakukan itu. Dengan membolehkan penghentian kasus, KPK menjadi kurang cermat dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga para koruptor bisa melawan. Seperti baru - baru ini 2 kasus korupsi diberhentikan oleh KPK.

Selain itu, proses pemilihan pimpinan KPK yang semakin kurang transparan juga menjadi faktor penentu. Pimpinan yang terpilih sering kali bukan yang terbaik atau paling berintegritas, melainkan sosok yang mampu memenuhi kepentingan politik tertentu. Akibatnya, mereka yang memegang kendali di KPK tidak lagi memiliki dedikasi penuh dalam pemberantasan korupsi, melainkan lebih condong pada agenda politik.

Bagaimana Memperbaiki KPK?

Untuk memperbaiki KPK, langkah pertama yang perlu diambil adalah mengembalikan UU KPK ke bentuk semula, yaitu sebelum revisi 2019. Dengan begitu, KPK bisa kembali menjadi lembaga independen yang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan politik atau institusi lain. Selain itu, proses pemilihan pimpinan dan Dewas KPK harus lebih transparan, sehingga hanya sosok-sosok yang berintegritas dan berkomitmen pada pemberantasan korupsi yang terpilih.

Status pegawai KPK juga harus dikembalikan seperti semula, bukan sebagai PNS yang rentan terpengaruh oleh aturan birokrasi pemerintahan. Pegawai KPK harus bebas dari pengaruh politik dan dapat menjalankan tugasnya dengan independen, tanpa ada tekanan dari luar.

Langkah Lain yang Bisa Diambil

Selain itu, KPK juga perlu memperkuat mekanisme pengawasan internal. Pimpinan dan pegawai KPK harus diawasi dengan ketat oleh Dewas, namun dengan syarat bahwa Dewas juga harus independen dan profesional. Reformasi dalam tata kelola internal KPK sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Selain itu, perlu ada sinergi antara KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, tanpa mengorbankan independensi KPK. Langkah ini akan memastikan bahwa KPK tidak terisolasi dan dapat bekerja sama secara efektif dalam pemberantasan korupsi.

Apakah Ini Mungkin?

Tentu saja, reformasi semacam ini tidak mudah. Mengembalikan UU KPK ke bentuk semula berarti melawan kepentingan banyak pihak yang diuntungkan oleh melemahnya lembaga ini. Namun, jika langkah-langkah tersebut tidak dilakukan, maka lebih baik KPK dibubarkan dan dibentuk lembaga baru yang benar-benar independen dan profesional. Membiarkan KPK dalam kondisi seperti ini hanya akan memperparah krisis kepercayaan publik dan mengancam masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Proses Pemilihan Pimpinan dan Dewas yang Sunyi Senyap

Saat ini, proses pemilihan pimpinan dan Dewas KPK sedang berlangsung, namun ironisnya, proses ini terkesan sunyi senyap. Mengapa? Jika proses ini kembali dilakukan tanpa transparansi, maka kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Pemilihan pimpinan yang tidak layak dan proses yang tidak terbuka hanya akan memperdalam krisis di KPK dan semakin menjauhkan lembaga ini dari cita-citanya sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi.

Dalam kesunyian ini, kita patut waspada, karena KPK yang dulu merupakan institusi yang didukung penuh oleh masyarakat, kini tengah berada di titik nadir. Jika tidak ada perubahan signifikan, KPK akan terus tenggelam, dan korupsi di negeri ini akan semakin merajalela.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun